“Indah.” Bara terus mengulang nama itu sambil melihat ke arah Indah dengan berbinar.
"Jadi, apa yang membuat kamu beranggapan jika Indah adalah penyelamat hidupmu, Nak?" tanya Dona lebih lembut.Setelah bersitegang karena Bara yang tidak mau melepaskan tangan Indah tadi, pria itu akhirnya dengan berat hati melepaskan saat Indah yang memintanya. Kini, mereka tengah duduk di sofa dengan saling berhadapan. "Ayo Bara, jawab." Dona kembali berkata ketika Bara hanya diam saja.Bara melihat sekilas ke arah Indah lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena dia yang menolongku saat kecelakaan itu." Sontak jawaban Bara membuat semua orang yang tengah duduk itu menatap Bara dengan tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Bara bisa tahu kalau Indahlah yang menolongnya. Namun, bagaimana bisa pria tersebut mengetahuinya? "Ka-kamu, bagaimana bisa mengetahuinya?" "Aku mengenal suaranya.”"Jadi, saat itu kamu dalam keadaan sadar?" tanya Dona."Aku enggak tahu, karena yang aku ingat hanya suaranya.” Bara menjawab sambil melihat ke arah Indah."Baiklah, Mama mengerti. Tapi, kamu jangan panggil Indah dengan sebutan penyelamat hidup terus.""Iya tahu, tapi bagiku Indah memang penyelamat hidupku," ujar Bara dengan sorot mata yang sangat sulit diartikan saat menatap Indah."Apa itu karena dia yang menolongmu?""Tentu saja, Ma!"Mendengar jawaban Bara membuat Dona dan Roki bernapas lega. Setidaknya, Bara menganggap Indah sebagai penyelamat hidup karena perempuan tersebut sudah menolongnya. Bukan karena sesuatu yang buruk terjadi pada pola pikir Bara. Meski begitu, mereka harus mengkonsultasikan kembali dengan dokter."Baiklah, tapi sepertinya Indah tidak nyaman dengan panggilan yang kamu berikan. Jadi, Mama minta jangan panggil Indah dengan sebutan seperti itu, hemm?"Bara tidak langsung menjawab permintaan Dona. Ia kembali melihat ke arah Indah yang sejak tadi hanya diam dengan kepala menunduk. "Baiklah, tapi aku mau Indah jadi sekretarisku." "Apa?!""Yang benar saja!"Dona dan Roki berkata bersamaan begitu mendengar ucapan Bara. Sementara Indah langsung menegakkan kepala lalu menatap pria di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa ia menjadi sekretaris, jika pendidikannya saja hanya sampai SMA? Dia hanya pegawai biasa di sini!"Ada apa dengan reaksi kalian?" tanya Bara dengan wajah tanpa dosa."Itu tidak mungkin terjadi, Bara.""Kenapa? Pokoknya aku mau Indah, dan kalau bukan Indah yang menjadi sekretarisku, aku enggak akan terjun ke perusahaan!" Bara berkata dengan keyakinan penuh."Bara! Kamu jangan main-main," bentak Roki.Sepertinya pria paruh baya itu sudah kehilangan rasa sabarnya. Terbukti, dengan wajahnya yang berubah merah padam. Sangat menyeramkan, tetapi tidak bagi Bara."Aku enggak main-main, Pa. Aku ingin Indah terus ada di sampingku."Dona yang mendengar ucapan anaknya sampai geleng-geleng. Ia tidak percaya dengan sikap Bara yang tetap menyebalkan meski sedang kehilangan ingatan.Ya, Bara yang dulu dan yang sekarang sama saja, sama-sama jika memiliki keinginan harus terpenuhi."Kali ini, alasan apa yang akan kamu berikan?" Dona lebih bisa mengontrol diri, sehingga cara bertanya pun masih dengan lembut."Karena aku yakin kalau Indah orang yang baik. Terbukti, dia mau menolongku meski nyawa sebagai taruhannya. Dan, aku membutuhkan orang baik dan jujur untuk berada di sampingku saat ini."Terdiam, Dona dan Riko sepertinya setuju dengan ucapan Bara kali ini. Lagi pula, memang mereka harus waspada dengan kondisi Bara yang hilang ingatan. Ditambah dengan kenyataan jika kecelakaan yang menimpa anaknya bukan murni kecelakaan. Meski belum ada kejelasan, tapi dari laporan terkini ada sesuatu yang janggal pada mobil anaknya malam itu."Apa ada alasan lain, Bara?" Kali ini, Roki yang bertanya.Bara tidak langsung menjawab, pria itu kembali melihat ke arah Indah sebentar. "Enggak ada," jawabnya."Ya sudah, Papa kabulkan permintaanmu."Mendengar ucapan Roki membuat Bara mengepalkan tangan lalu menariknya ke bawah sebagai tanda jika ia sedang bereuforia. Sementara Indah langsung menatap Roki dengan tatapan tidak percaya. Ia benar-benar terkejut dengan keputusan Roki yang tanpa dipikirkan terlebih dahulu."Maaf, Pak. Tapi ...." Setelah sekian lama hanya diam memperhatikan, akhirnya Indah bersuara. Namun, harus berhenti ketika Dona memotongnya. "Apa kamu keberatan?""Kalau boleh jujur ... iya, Bu.""Mau keberatan atau pun enggak, aku enggak peduli! Aku mau kamu jadi sekretarisku. Kamu lupa aku ini atasanmu?" cetus Bara tiba-tiba.Berbeda dengan tadi, sikap Bara tampak seperti dahulu–tegas dan mendominasi.Indah sampai mendesah lirih mendengar ucapan Bara yang tidak mau dibantah. Dengan berat, perempuan itu mengangguk. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut karena ia hanya bawahan yang masih membutuhkan pekerjaan."Nah, dari tadi, dong!" Bara senang dengan keputusan Indah."Kalau begitu, kamu bisa kembali ke divisimu, Indah. Bereskan semua barang-barang, karena mulai besok kamu sudah mulai bekerja menjadi sekretaris Bara," ujar Dona memberi perintah."Baik, Bu." Indah pun menunduk dan izin keluar dari ruangan itu.Namun, saat Indah akan melangkah, suara berat milik Bara kembali menginterupsi untuk berhenti, “Indah!”Dengan refleks, Indah menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan menghadap ke Bara yang ternyata ternyat sudah berdiri. "Iya, Pak?""Mana nomor ponsel kamu?""Ponsel?" Indah bertanya untuk meyakinkan jika yang didengarnya tidak salah.Dengan segera, Bara membawa langkah lebarnya menghampiri Indah. Tangannya menengadah seolah tengah meminta sesuatu."Ponselnya mana?" ujarnya tanpa beban. Namun, Indah hanya diam saja."Ayo," ujar Bara lagi.Sedikit ragu, Indah memberikan ponsel yang sejak tadi ada di dalam saku roknya. "Ini, Pak. Tapi untuk apa?""Aku cuman mau nomor ponsel kamu karena ada yang harus dibahas nanti." Bara menjawab asal sambil menerima ponsel Indah. Ia mengotak-atik ponsel Indah lalu menyimpan nomornya di sana."Nih," ujar Bara menyerahkan ponsel kepada pemiliknya. "Kamu boleh pergi," sambungnya ketika Indah sudah mengambil ponselnya."Baik, Pak. Assalamu'alaikum."*****Indah melangkah cepat setelah keluar dari ruangan. Dia ingin segera sampai di ruang administrasi, tempatnya bekerja. Namun, ponsel yang ada di dalam genggamannya tiba-tiba bergetar. Satu alis milik Indah terangkah saat melihat siapa yang mengirim pesan."Bos tampan?" gumamnya merasa bingung karena merasa tidak pernah menyimpan nomor dengan nama kontak seperti itu. [ Bos Tampan: Besok pagi, kamu harus ke rumahku. ]Belum sempat memproses semuanya, sebuah pesan kembali muncul, hingga membuat Indah bergedik ngeri.
[ Bos Tampan: Awas kalau terlambat! ]
Meski memikirkan bahwa pengirim pesan tersebut adalah Bara, tetapi tangan Indah segera bergerak untuk melihat foto profil dari nomor tersebut. Dia ingin memastikannya lagi. Namun, betapa kagetnya, ia saat gambar Bara terpampang jelas di sana. "Ja-jadi, ini nomor Pak Bara?" gumam Indah lirih.Meski pelan, ternyata Rosi yang memang mejanya berdekatan dengan Indah, dapat mendengar gumaman Indah barusan. "Kamu SMS-an sama Pak Bara, Indah?" pekik Rosi dengan keras.Sontak semua orang yang sejak tadi memperhatikan Indah pun menatapnya menjadi penuh selidik. Bagaimana tidak? Kejadian Bara yang tanpa sengaja menabrak Indah sudah menyebar luas di kalangan para pegawai.Bahkan, selentingan gosip yang tidak benar sudah sampai di telinga semua orang. Lalu, sekarang mereka mengetahui jika Indah berkirim pesan dengan Bara. Bukankah itu terlalu mencurigakan? "Ini ... aku—""--Indah dipindahkan tugaskan jadi sekretaris pribadi Pak Bara," potong Kepala Administrasi sebelum Indah selesai berbicara.
Ucapan Bara membuat Indah terdiam dan heran. Ia merasa tidak percaya jika pria yang ada di hadapannya bisa mengatakan hal itu tanpa beban. Apa ia pikir pernikahan itu hanya main-main? "Kenapa diam aja? Kamu mau enggak?" Bara tampaknya tidak sabar ingin tahu jawaban lndah.Indah mengerjap beberapa kali saat Bara menatapnya penuh harap. Ia merasa bingung harus menjawab apa. "Saya tidak ...." Belum selesai Indah menyelesaikan kalimatnya, Bara sudah lebih dulu menyela dengan menarik tangan Indah. Langkahnya sangat lebar dan cepat. Sehingga Indah hampir terseret andai tidak bisa menyeimbangkan."Ma! Pa!" Bara memanggil kedua orang tuanya begitu masuk ke dalam rumah. Memang jarak antara gerbang dan rumah cukup jauh. Hal itu dikarenakan halaman yang begitu luas. Dona dan Roki yang berada di kamar pun segera keluar ketika mendengar Bara yang memanggil mereka. "Ada apa, Bar?" tanya Roki dengan napas yang terengah-engah–khawatir sang putra kembali terkena musibah."Aku mau menikah dengan I
Dona dan Roki hanya bisa mendesah lirih ketika Bara mengatakan kalau dirinya tidak ingat dengan siapa yang sudah melakukan kejahatan tersebut. Ya, meski mereka kecewa, tetapi mereka paham kalau Bara tidak mungkin mengingat dengan mudah."Jadi bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bara menatap Indah dengan penuh harap.Mendapatkan tatapan seperti itu, Indah ikut mendesah. Pada akhirnya ia pun menjawab dengan jujur meski rasanya berat. "Saya belum menikah, Pak." Terang saja Bara senang mendengar itu. Ia bahkan dengan refleks memeluk Indah. "Aku senang, itu artinya kita bisa menikah." Tubuh Indah menegang. Perlakuan Bara yang tiba-tiba membuat Indah tidak nyaman. Menyadari itu, Dona pun meminta Bara untuk melepaskan pelukannya."Bara, bukankah udah Mama katakan untuk tidak berbuat seenaknya kepada Indah?" Teguran Dona membuat Bara melepaskan pelukannya dengan berat. Ada rasa nyaman saat memeluk Indah. "Aku selalu tidak bisa mengontrol diri saat bersamamu, Penyelamat hidup." "
Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar."Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift. Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak. "Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit." Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang. "P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift
Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid
Indah mengabaikan pertanyaan Bara. Perempuan itu terus melangkah meninggalkan kantin.Tidak tinggal diam, Bara mengejar Indah. "Indah, jangan tinggalin aku!" Terus melangkah, Indah masuk ke dalam lift yang kebetulan tengah terbuka. Segera Bara mengulurkan tangannya ketika pintu lift akan tertutup dengan sempurna. "Indah," lirih Bara dengan napas yang terengah-engah karena mengejar Indah. Bara menatap Indah yang memalingkan wajah. Pria itu mendesah lalu memilih diam. Sepertinya Bara mengerti jika Indah tidak nyaman dengan sikapnya yang berlebihan. Tiba di lantai 12--tempat ruangan Bara berada, Indah melangkah menuju mejanya. Baru saja Indah akan duduk, tiba-tiba lengannya ditarik Bara. "Ikut aku!" Indah yang tidak siap sedikit terhuyung, sehingga tidak bisa melawan ketika Bara terus menarik menuju ruangannya. "Pak! Sakit," lirih Indah ketika pintu ruangan Bara sudah ditutup. Sontak Bara melepaskan cekalannya. Bara melihat pergelangan Indah yang merah akibat cekalannya yang terl
"Indah, ada apa?" Mega yang melihat anaknya merenung pun menghampiri. Indah tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, Bun."Mega mengusap pundak Indah lalu berkata, "Bunda tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa ini ada hubungannya dengan kamu yang tadi berangkat ke rumah Pak Bara?" Terdiam, Indah bimbang antara memberitahu atau tidak tentang permintaan Dona dan Roki. "Indah," tegur Mega karena Indah hanya diam saja. "Kayaknya emang susah kalau nyembuyiin sesuatu sama, Bunda.""Ya, bagaimanapun ibu dan anak memiliki ikatan yang kuat." Indah mengangguk mengerti. "Em ... tapi Indah belum bisa cerita, Bunda enggak apa-apa 'kan?" "Iya, enggak apa-apa. Kalau belum bisa jangan dipaksa, tapi ingat ... Bunda akan selalu ada buat kamu." "Iya, Bun. Makasih." Karena malam yang semakin larut, Indah putuskan untuk masuk ke kamarnya. Perempuan itu merebahkan tubuhnya setelah melepaskan kerudung instan yang tadi dikenakan. "Apa aku harus terima? Tapi bagaimana dengan Mas Dirga?" ***Hari
Indah mengerjap ketika mendengar jika Bara akan menjemputnya setiap hari. "Kenapa diam saja? Ayo kita berangkat," tegur Bara. "Sa-saya pamit dulu sama Bunda." Indah berdiri lalu berniat masuk ke dalam rumah untuk berpamitan. Namun, Bara dengan cepat menahannya. "Ada apa, Pak?" "Aku juga harus pamitan sama mertua." Ucapan Bara jelas membuat Indah terkejut. "Maksud, Bapak?" "Kita akan segera menikah, yang aku tahu orang tua kamu jadi orang tuaku juga." Mata Indah memincing. "Aku liat dari ponsel," ujar Bara menjelaskan. Indah mendesah lirih. Memang dari mana lagi Bara akan mengetahui hal seperti itu jika bukan dari ponsel? "Tapi saya belum memutuskan, Pak." "Tinggal dua hari aku akan dengar kamu terima aku." Tidak bisa berkata-kata, Indah memilih melongos masuk ke rumah. Segera Bara mengikuti dari belakang. "Bun, Indah pergi dulu ya." Indah berpamitan setelah memanggil Mega yang ada di dapur.Mega sontak mengerutkan dahi ketika melihat pria tinggi nan gagah yang berada di b
“Mohon maaf, Pak, tapi keinginan Anda tidak bisa saya lakukan,” ujar Dokter Kristi yang membuat Bara murka.“Kenapa tidak bisa? Bukankah teknologi semakin maju!” “Itu karena akan membahayakan janin dan ibunya, Pak. Terlebih dengan kondisi Nona Indah yang kurang baik.” Dokter Kristi mencoba memberi pengertian agar Bara tidak memaksakan kehendak.“Aku tidak peduli! Lakukan atau karirmu hancur,” cetus Bara membuat Dokter Kristi ketakutan.Bagaimanapun bagi Bara akan mudah menghancurkan karirnya. “Pak, tolong pertimbangkan kembali,” ujarnya mulai goyah. “Tidak, keputusanku sudah bulat!”Mendengar perdebatan suaminya dengan Dokter Kristi membuat Indah kecewa. Perempuan yang sejak tadi hanya diam itu bangkit membuat Bara dan Dokter Kristi langsung menoleh ke arahnya. “Mau ke mana kamu?” tanya Bara.“Sudah cukup, Mas. Kalau memang kamu tidak mempercayai aku hamil anakmu tidak apa-apa. Anggap saja aku memang melakukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mas.” Terang saja ucapan Indah memancing
Berita tentang Mawar dan Zulfi yang dibawa oleh polisi sudah menyebar di kalangan karyawan dan kolega bisnis Bara, termasuk kedua orang tuanya. Karena itulah kini Bara dimintai Roki untuk datang ke rumahnya.“Apa yang sebenarnya terjadi? Coba jelaskan,” pinta Riko dan Diana.Tidak langsung menjawab, Bara lantas mengembuskan napas dengan kasar terlebih dahulu. “Sebenarnya ingatanku sudah kembali,” ujar Bara membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.“Jadi kamu sudah mengingat semuanya, Bara?”“Iya, Mam.” “Lalu kenapa tidak menceritakannya kepada kami?” Roki menuntut penjelasan lebih.“Karena aku ingin mengungkap lebih dulu pelaku dibalik kecelakaan yang kualami.”“Artinya kamu kembali bersama Mawar itu juga bagian dari rencana?” “Iya, Pap.” Bara mengangguk membenarkan membuat Roki mengusap wajahnya kasar. “Kamu keterlaluan, Bara!”Bentakan dari Roki membuat Bara terkejut. Ia pikir pria paruh baya itu akan senang karena ingatannya sudah kembali.“Keterlaluan bagaimana?” “Kamu sud
Bara pulang dalam keadaan mabuk parah, membuat Indah yang sedang terlelap tersentak ketika tiba-tiba Bara menjatuhkan diri di sampingnya. “Mas, Bara,” ucap Indah lantas bangkit.Bau menyengat yang menguar dari tubuh Bara membuat Indah mual. Meski begitu, Indah tetap membantu Bara melepaskan sepatu juga jas yang masih melekat di tubuh tegap suaminya. “Kenapa senang sekali minum minuman terlarang?” gumam Indah.*** Mata setajam elang itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya dibuka dengan sempurna. Bara mengedarkan pandangannya dan mendapati jika dirinya sudah berada di kamar. Ia bangkit sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Mas, Bara,” ucap Indah yang baru saja masuk kamar.Bara lantas menoleh sebentar lalu membuang muka ketika ingatannya kembali pada saat kemarin ia mendapati Indah di mushola bersama Dirga. “Kau, dari mana kemarin?” tanyanya.Pria itu sudah tidak tahan lagi dengan praduganya selama ini. Pria itu menatap Indah nyalang. Membuat Indah menelan ludahnya kasar
Bara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain yang sekiranya menghalangi jalan bagi dirinya. Pria itu bahkan mengabaikan protes yang dilakukan oleh pengguna jalan lain. Tidak peduli klaksonan atau pun umpatan yang terdengar. Dalam pikirannya ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Indah dengan tega melakukan hal tercela di kantor dengan pria lain. Sungguh, pria itu tidak menyangka jika Indah sampai hati melakukan hal tersebut. Padahal ia pernah berpikir jika perempuan yang menjadi penyelamat hidupnya merupakan perempuan baik-baik. “Haha … hahaha ….” Pria itu tertawa seperti kesetanan. Ia merasa bodoh karena berhasil dibodohi oleh wajah polos Indah. Ternyata di balik wajah lugu Indah tersimpan sebuah kenyataan yang membuat Bara tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada dalam benak Bara sekarang. Pertanyaan mengenai Indah yang bisa-bisanya malah melakukan hal seperti itu terus berputar di pikiran Bara. Sampai pria itu tidak sadar ji
Bara yang berjalan tergesa tentu menjadi pusat perhatian semua orang. Meski begitu tidak ada yang berani bertanya atau sekedar menyapa. Semuanya memilih menyingkir–memberikan jalan untuk pria tersebut. Sampai akhirnya Bara tiba di ruangannya. Dengan keras ia membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Sehingga Mawar yang berniat masuk untuk menyusul pun mengurungkan niat kala ia akan masuk, tetapi pintu dengan keras tertutup. Wanita itu hanya mampu berdiri mematung sambil memegang dadanya dengan kedua tangan. Sementara matanya melebar dengan napas yang terengah akibat berlari menyusul Bara. Dengan kasar ia mendengus kemudian berbalik–berniat ke meja kerjanya. Namun, Mawar malah dikagetkan dengan kehadiran Zulfi yang sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Sepertinya ada hal penting yang sedang dilakukan Pak Bara,” ujar Zulfi yang dibalas delikan oleh Mawar. “Hemm, aku tau! Tapi entah apa itu. Bisakah kamu menyeledikinya?” Permintaan itu ditanggapi Zulfi dengan mengangkat satu
Tiba di rumah Indah lantas turun dari mobil setelah membayar ongkosnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang yang menjulang tinggi. Tidak perlu banyak bicara, penjaga rumah pun sudah mengetahui jika Indah adalah nyonya di rumah tersebut. Sehingga dengan sedikit keheranan karena tidak biasanya Indah pulang sangat cepat pun membukakan gerbang. “Siang, Nyonya,” sapa Pak satpam yang berjaga. Dengan seulas senyum yang sangat tipis Indah membalas sapaan satpam tersebut. Bukan karena ia tidak ramah, tetapi ia yang lelah membuat Indah ingin segera tiba di kamar. Setelahnya Indah masuk rumah kemudian menaiki anak tangga untuk tiba di kamar.Begitu tiba, Indah membuka kerudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Lantas setelahnya ia merebahkan diri di atas ranjang. Meringkuk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Sementara di tempat lain, Bara sedang melakukan pertemuan dengan lawan bisnisnya di salah satu restoran. Mereka melakukannya di sana sekalian untuk makan sia
Raut wajah Dirga nampak khawatir ketika melihat Indah yang malah melamun. Meski terkejut dan sedikit tidak terima karena perempuan yang ia cintai mengandung anak dari pria lain, tetapi Dirga tetap mengkhawatir andai sesuatu terjadi dengan calon anak Indah. “Apakah kandungannya baik-baik saja?” Pertanyaan itu membuat Indah tersenyum miris. Ia berharap pria yang menanyakan hal itu adalah Bara, bukan Dirga. Namun, ia sadar diri karena Bara belum mengetahui kehamilannya.Lagi pula andai tahu, apakah Bara akan menerimanya? Atau sebaliknya, dan menuduh dirinya yang tidak-tidak karena pernah mendapati sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang pria pada malam hari. Yang tidak lain adalah Dirga. “Kandungannya baik-baik aja, Mas. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Indah dengan seulas senyum untuk menyembunyikan kerisauan dalam dirinya. Mendengar jawaban Indah seharusnya membuat Dirga bisa bernapas lega, tetapi pria itu malah semakin khawatir lantaran melihat dari ekspr
Tiba di rumah sakit Indah diarahkan oleh Dirga untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu di bagian resepsionis. Baru setelahnya mereka menunggu di depan ruang dokter kandung. Agak heran bagi Dirga karena Indah malah memilih dokter kandungan dan bukan dokter umum.“Mas, Kayaknya aku masih lama, apa enggak sebaiknya Mas kembali ke kantor? Aku yakin Ibu Santi sekarang sedang mencari-cari, Mas.” Indah merasa tidak enak lantaran Dirga malah menemaninya di rumah sakit, sedangkan pekerjaan pria itu diabaikan begitu saja. “Enggak masalah, Indah. Aku di sini aja temani kamu,” ujar Dirga yang kukuh ingin menemani Indah. “Tapi–” “Udah, kamu enggak maksa. Di sini aku yang mau, jadi enggak perlu enggak enak.” Dirga dengan cepat menyela ucapan Indah. Sehingga Indah tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Karena Indah sedang merasa lemas dan kesakitan, sehingga ia memilih untuk diam dan tidak lagi banyak bicara. Perempuan itu memilih mencoba menghilangkan rasa sakit, meski rasanya mustahil. Sementara D
Selama pertemuan berlangsung di salah satu restoran Bara tidak bisa fokus karena dalam benaknya terus berputar nama Indah yang tidak dapat ia liat di ruangan. Rasanya ingin segera menyelesaikan pertemuan. Namun, sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan karena ini merupakan pertemuan penting yang tidak semua orang bisa dapatkan.Semetara di tempat lain, Indah nampak meringkuk di mushola sambil memeluk perutnya yang sakit. Tadi saat perempuan itu ke ruangannya, ia meminta izin kepada Santi untuk beristirahat terlebih dahulu di mushola karena perutnya yang melilit. Tentu saja Santi yang melihat wajah pucat Indah pun memilih membiarkan. “Indah, apa baik-baik saja?” Dirga yang merasa khawatir memilih menyusul Indah untuk memastikan keadaan tambatan hatinya.Perlahan Indah yang memejamkan mata, tetapi tidak tertidur pun membuka matanya. Nampak manik yang biasanya memancarkan keindahan kini terlihat sangat sayu, membuat semua orang yang melihatnya akan merasa iba. “Iya, Mas,” sahutnya pelan.