Bara menuntun Indah yang berjalan sedikit kaku. "Aku gendong ya?" "Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri," tolak Indah membuat Bara mendengus."Tadi udah sepakat buat panggil aku dengan sebutan 'Mas', terus kenapa sekarang balik lagi jadi Bapak?" Bara protes--merasa tidak suka dengan Indah yang terus mengulangi kesalahan yang sama dalam memanggil namanya. Indah menyengir kuda---merasa bersalah. "Lupa terus, Mas.""Masih muda udah pelupa!" cetus Bara sambil terus menuntun Indah. Tiba di kamar pengantin, Bara langsung meminta Indah untuk duduk di sofa. Tidak ada penolakan dari Indah--karena memang ia sudah merasa pegal sejak tadi menyambut tamu yang begitu banyak. Indah terkesiap ketika tiba-tiba Bara berjongkong di hadapannya. "Ma-mas mau apa?" tanya Indah tergagap. "Mau buka sepatu kamu." Saat Bara akan menyentuh kaki Indah, dengan cepat Indah menarik kakinya. Sehingga Bara belum sempat menyentuhnya. Jelas tindakan itu membuat Bara langsung mendongak--menatap Indah dengan satu a
"Sini, biar aku bantu." Bara mencoba mengalihkan pembahasan."Enggak mau jawab masalah yang tadi, Mas?"Dengan cepat menggeleng. "Sekarang belum waktunya, mending aku bantu kamu buka kerudungnya." "Iya, Mas." Indah merasa heran, tetapi ia memilih untuk memperpanjang.Perempuan itu berdiri lalu melangkah menuju meja rias. Ia duduk di depan cermin dan mulai membuka peniti yang tersemat di kerudungnya. Bara tidak tinggal diam--ia langsung mengikuti Indah dan melakukan hal yang sama."Kenapa banyak sekali jarum? Kalau sampai jarumnya nyakitin kamu gimana?" Bara protes, tetapi Indah hanya membalas dengan senyuman.Cukup lama hanya untuk membuka kerudung, sampai akhirnya mereka selesai. Bara tertegun ketika melihat surai hitam kelam milik Indah yang tergulung. Sehingga menampilkan leher jenjang Indah. Tanpa sadar Bara menelan ludahnya kasar. "Em ... Mas, mau Mas dulu atau aku dulu yang bersih-bersih?" tanya Indah membuyarkan lamunan mesum Bara. "Ah, katanya perempuan kalau mandi lama. Ja
Indah tidak bisa mengelak ketika Bara daratkan bibirnya tadi. Kini, jarak keduanya sedikit menjauh karena Bara mundur agar bisa melihat wajah Indah yang cantik. Sorot mata Bara sangat sayu--menatap Indah dengan dalam. "Indah, bolehkah aku melakukannya sekarang?" Pertanyaan itu membuat Indah gugup. Sungguh, Indah tidak pernah membayangkan jika Bara akan secepat itu meminta. Indah sebagai istri tentu tidak bisa menolak keinginan suaminya. Sehingga dengan perlahan Indah mengangguk. Membuat mata Bara berbinar saat melihatnya. "Aku janji akan melakukannya dengan hati-hati." Setelah mengatakan itu, Bara mulai melakukan tugasnya. Sementara Indah hanya pasrah menerima. Sesekali Indah membalas perbuatan Bara dengan ragu. *** "Indah!" Pagi-pagi Bara sudah memanggil Indah. Pria itu kaget ketika bangun tidur dan tidak menemukan Indah di sisinya. Segera Bara turun dari ranjang. Hanya dengan menggunakan celana pendek Bara mencari Indah. Pria itu membuka pintu kamar mandi. Namun, tidak menem
"Pagi, Ma, Pa," sapa Bara ketika mereka baru saja tiba di restoran untuk sarapan. "Pagi juga, gimana malam kalian?" tanya Dona sambil mengerlingkan mata kepada Bara dan Indah. Indah menunduk dalam--menyembunyikan wajahnya yang merona. Sementara Bara tersenyum lebar ketika mengingat kejadian semalam. "Menyenangkan, Ma!" Sontak ucapan Bara mengundang Dona dan Roki untuk tertawa. Mereka merasa jika Bara terlalu terang-terangan. Sangat berbeda dengan Indah. "Bara, kamu pasti menikmatinya?" Roki bukannya berhenti, tetapi malah semakin gencar menggoda anaknya. Terang saja, tindakan itu membuat Roki mengaduh karena Dona tiba-tiba mencubit pinggangnya. Roki menoleh ke arah Dona. "Sakit, Ma!" "Habisnya, Papa enggak liat wajah Indah udah merah banget?" Pertanyaan Dona membuat Bara dan Roki melihat ke arah Indah. "Indah, kenapa malu seperti itu? Kita udah bisa bebas melakukannya," ujar Bara. Dona dan Roki menggeleng. "Bara, udah. Lebih baik kamu ajak Indah duduk, dia pasti lapar." Mende
Sudah dua hari Bara dan Indah menikah. Mereka sekarang dalam perjalanan pulang menuju rumah yang sudah diurus oleh Zulfi. Iya, dengan cepat Zulfi mengurus rumah yang akan Bara dan Indah tempati. Tiba di rumah, Bara dan Indah disambut oleh Zulfi yang sudah menunggu sejak tadi. "Selamat siang, Tuan, Nona," sapa Zulfi. "Siang juga, Zulfi. Apa kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanya Bara langsung pada intinya. "Sudah, Tuan. Anda tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, karena semua sudah diurus. Termasuk data kepindahan Anda dan Nona, hanya saja untuk suratnya tidak bisa selesai dalam satu hari." "Enggak masalah, yang penting semua sudah diurus. Jadi aku dan Indah tidak perlu repot-repot memikirkan hal itu." "Iya, Tuan. Kalau begitu apa Anda ingin saya bimbing untuk melihat-lihat?" "Enggak usah, biar aku dan Indah yang lakukan sendiri. Kamu bisa pergi sekarang," ujar Bara yang langsung diangguki oleh Zulfi. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi," ujar Zulfi pamit undur diri.Setelah ke
Bara terkekeh kecil sambil mengancingkan kemejanya. Senang saja rasanya menggoda Indah. Entah perasaan apa, tetapi Bara selalu berdebar saat bersama Indah. "Kamu lucu sekali, Indah." Bara berguman pelan. Pria itu meraih dasi yang disimpan di atas meja kaca. Setelahnya ia membawa langkahnya keluar kamar. Ia mencari keberadaan Istrinya yang ternyata sedang ada di ruang makan. "Aku cari ke mana-mana, ternyata ada di sini." Bara langsung melingkarkan lengannya pada perut ramping Indah dari belakang. Sontak tindakan Bara membuat Indah berjingkat kaget. Piring yang ia pegang hampir saja terjatuh andai Indah tidak sigap menahannya. "Mas!" pekik Indah. "Apa?" tanya Bara tanpa merasa bersalah. Indah menyimpan piring di atas meja, kemudian melepaskan belitan tangan Bara di perutnya. Setelahnya Indah membalik badan menghadap ke arah Bara. Indah harus mendongak untuk melihat wajah Bara yang posisinya jauh lebih tinggi. "Mas udah ngagetin barusan! Hampir aja piringnya jatuh," keluh Indah sa
Setelah berhasil memasangkan dasi dengan berbagai dram yang Bara buat, Indah langsung menyiapkan sarapan untuk mereka. Hanya roti panggang dengan selai srikaya kesukaan Bara juga dengan segelas susu, karena Indah tidak sempat membuat hal yang lain. Itu terjadi karena Bara yang sejak tadi terus saja mengodanya. "Ini, Mas." Indah menyerahkan dua lembar roti tawar yang sudah diolesi selai srikaya kepada Bara. Dengan senang hati pria itu menerimanya. "Makasih, Indah." Indah mengangguk seraya tersenyum tipis. "Sama-sama, Mas." "Kamu makan yang banyak," ujar Bara sebelum ia melahap rotinya. "Iya, Mas." Keduanya khusyuk sarapan, meski kadang kala Bara terus saja mengoda. Membuat Indah yang ingin menahan tawa malah jadi tersendak. Buru-buru Bara mengambil air putih untuk Indah lalu menyerahkannya. "Makanya kalau makan pelan-pelan, Indah." Bara bersikap seperti tidak bersalah setelah Indah selesai minum. Jelas saja Indah kesal dengan sikap Bara barusan. Perempuan itu mendengus kesal. "I
Tiba di kantor, Bara dan Indah menjadi pusat perhatian. Hal itu jelas karena mereka adalah pasangan pengantin baru yang sudah selesai berbulan madu. Sekarang waktunya Bara dan Indah kembali berkutat dengan pekerjaan. Banyak ucapan selamat yang mereka dapatkan. Meski masih saja ada segelintir ucapan nyelekit yang membuat kuping Indah panas. "Kamu jangan dengerin, yang penting kita bahagia." Bara yang tahu perasaan Indah pun berbisik ketika mereka sedang berada di dalam lift. Indah tersenyum simpul lalu mengangguk patuh. "Iya, Mas." Benar apa yang dikatakan Bara. Mereka lebih harus fokus pada kebagian. Biarkan orang-orang mengatakan apa pun selama tidak merugikan. "Selamat pagi, Tuan, Nona." Zulfi menyambut kedatangan Indah dan Bara. "Hemm, pagi. Zulfi, apa semua berjalan dengan lancar ketika aku cuti?" Bara langsung menanyakan masalah pekerjaan. Ada rasa khawatir terjadi kerugian seperti saat Bara koma dulu. Iya, meski hanya ditinggal satu minggu, tetapi Bara merasa patut waspada