Tiba di kantor, Bara dan Indah menjadi pusat perhatian. Hal itu jelas karena mereka adalah pasangan pengantin baru yang sudah selesai berbulan madu. Sekarang waktunya Bara dan Indah kembali berkutat dengan pekerjaan. Banyak ucapan selamat yang mereka dapatkan. Meski masih saja ada segelintir ucapan nyelekit yang membuat kuping Indah panas. "Kamu jangan dengerin, yang penting kita bahagia." Bara yang tahu perasaan Indah pun berbisik ketika mereka sedang berada di dalam lift. Indah tersenyum simpul lalu mengangguk patuh. "Iya, Mas." Benar apa yang dikatakan Bara. Mereka lebih harus fokus pada kebagian. Biarkan orang-orang mengatakan apa pun selama tidak merugikan. "Selamat pagi, Tuan, Nona." Zulfi menyambut kedatangan Indah dan Bara. "Hemm, pagi. Zulfi, apa semua berjalan dengan lancar ketika aku cuti?" Bara langsung menanyakan masalah pekerjaan. Ada rasa khawatir terjadi kerugian seperti saat Bara koma dulu. Iya, meski hanya ditinggal satu minggu, tetapi Bara merasa patut waspada
Bara menatap Indah satu alis yang terangkat karena Indah tidak juga duduk di pahanya. "Indah, kenapa diam saja?" "Emm ... Pak, saya duduk di sofa saja." Dengan cepat Bara menggeleng--tidak setuju dengan Indah. "Aku ingin kamu duduk di sini, Indah.""Tapi ... ini di kantor, Pak." Indah berusaha untuk bersikap layaknya seorang bawahan terhadap atasan."Justru itu, kamu harus nurutin kemauanku. Sebagai bawahan kamu enggak bisa nolak perintah atasan." Terang saja ucapan Bara membuat Indah melebarkan mata. Bara memang benar, tetapi ia merasa perintah Bara terlalu berlebihan. Duduk di pangkuan Bara? Mana bisa! "Indah, ini perintah. Kamu enggak bisa menolaknya," ujar Bara kala melihat respon dari Indah. "Tapi, Pak--" Ucapan Indah terpotong begitu saja karena dengan cepat Bara berdiri lalu berjalan dan menarik lengan Indah. Indah yang tidak siap terhuyung. Saat itulah Bara duduk kembali di kursi kebesarannya lalu dengan satu gerakan Indah sudah duduk di pangkuannya. "Mas!" pekik Indah
Bara terkekeh kecil melihat ekspresi wajah Indah yang kesal karena perbuatannya. Sementara Indah semakin mencebik karena Bara malah menertawakannya. "Mas, enggak ada yang lucu!" "Masa sih? Kok aku ngerasa kamu lucu ya?" balas Bara semakin membuat Indah kesal bukan main. "Mas! Ini lagi serius kerja, jangan ganggu dulu bisa 'kan?" "Enggak bisa, kamu terlalu menggoda buat aku anggurin gitu aja." Bara mengerlingkan matanya dengan nakal. "Ck! Kalau kayak gitu terus aku keluar aja deh, mending kerja di mejaku." Indah berniat turun dari pangkuan Bara, tetapi dengan cepat pria itu menahan tubuhnya. "Kok gitu? Kamu lupa kalau ini perintah?" "Aku enggak lupa, cuman kesel aja. Mas ganggu terus, gimana mau selesai kerjaannya. Nanti kalau lembur enggak aku temenin!" Terang saja ancaman Indah membuat Bara kalang kabut. Pria itu dengan segera menggeleng. Tidak mengizinkan itu terjadi. "Enggak bisa gitu dong, Indah.""Abisnya Mas enggak bisa diajak serius." Dalam waktu sekejap mata, raut waj
Bara menatap Indah dengan tatapan yang tidak dapat perempuan itu artikan. "Indah, kenapa diam?"Pertanyaan Bara semakin membuat Indah yang sedang bingung kalang kabut. Pria itu menanyakan alasan kenapa dirinya menerima Bara sebagai suaminya. "Indah."Lagi-lagi Bara menegur membuat Indah terdesak. "Sebenarnya aku enggak suka saat Mas bilang kalau aku nerima Mas karena terpaksa."Satu alis Bara terangkat. "Maksudnya, kamu nerima aku apa adanya, hemm?" "Enggak bisa dibilang gitu juga sih, Mas."Terang saja ucapan Indah semakin membuat Bara bingung. Jadi apa alasannya? Apa karena dirinya yang memaksa membuat Indah akhirnya mau menerima? Pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Bara. Membuat Bara semakin penasaran dengan alasan sebenarnya. "Jadi tepatnya dibilang apa, hemm?" "Emm ... awalnya enggak mau, tapi lama-lama setelah melakukan salat malam aku jadi yakin kalau Mas yang udah Allah siapkan buat aku." Hati Bara langsung meleleh. Ia senang dan lega dengan jawaban Indah. Senyum men
Bara diam, membuat Indah mendesah lirih karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Ada rasa kecewa dalam hati, tetapi Indah tidak mampu mendesak jika Bara diam saja. Karena pelukan Bara yang longgar membuat Indah bisa dengan leluasa turun dari pangkuan Bara. "Sepertinya enggak ada lagi yang perlu dibahas, Mas. Aku izin ke meja kerjaku lagi." Untuk masalah data yang tidak sesuai harusnya dikerjakan oleh Bara. Tadi ia hanya membantu Bara menyamakannya. Indah sendiri tidak terlalu mengerti, terlebih ia baru di posisinya sekarang. Karena tidak ada balasan dari Bara, Indah memilih beranjak. Namun, baru saja berbalik tiba-tiba lengannya dicekal oleh Bara. Sehingga langkahnya terhenti dan tubuh Indah secara otomatis berbalik karena tarikan yang dilalukan Bara. "Mas--" Indah yang akan protes mengurungkan niatnya ketika Bara tiba-tiba saja memeluk pinggangnya. Membuat tubuhnya tertarik dan kepala Bara berakhir di perutnya. "Aku takut, Indah. Untuk alasannya aku juga enggak tau kenapa
[Mas, aku mau makan siang sama Rosi, ya?]Sebuah pesan masuk dari nomor Indah. Bara yang membacanya itu segera menggeser ikon hijau untuk menghubungi istrinya. Menunggu beberapa saat, akhirnya panggilan itu tersambung juga. "Assalamu'alaikum, Mas," salam Indah dari seberang sana. "Wa'alaikumussalam," balas Bara dengan sedikit kaku. Pria itu belum terbiasa dengan hal itu. Hanya saja, Indah selalu cerewet untuk membalas salamnya. Membuat Bara mencoba membiasakan diri. "Emm ... Mas, apa udah baca pesan dari aku?" tanya Indah hati-hati."Udah." "Terus gimana, diizinin enggak?""Enggak." Sontak terdengar dengusan lirih dari seberang sana. Bara yang mendengar itu terkikik kecil. "Kenapa mau makan sama temen kamu?" "Ya ... udah lama aja enggak ngobrol. Mumpung Mas lagi ada di luar." Memang tadi Bara memberitahu Indah ada pertemuan dengan seorang kenalannya. Namun, yang membuat Indah merasa heran karena Bara tidak memintanya ikut. Biasanya jika Bara ada pertemuan di luar, ia akan sela
"Kenapa, Indah?" tanya Rosi saat melihat raut wajah Indah yang tidak seperti biasa.Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, mending makan aja." Rosi mengangguk mengetujui. "Emm ... tumben Pak Bara enggak kurung kamu, biasanya selalu enggak boleh kalau kamu pergi jauh darinya." Indah memelankan kunyahannya lalu menegakkan kepala. Ada rasa getir karena jika dipikir-pikir memang biasanya begitu. Bara selalu memintanya berada di samping dirinya, tetapi kali ini Bara malah sengaja tidak mengajaknya saat akan bertemu dengan seseorang. Ada apa sebenarnya? Apa perasaan Bara mulai berubah seiring dengan ingatannya yang mungkin akan pulih? Memikirkan hal itu langsung membuat bulu-bulu halus Indah berdiri, rasanya tidak siap jika itu terjadi karena dirinya mulai jatuh cinta kepada pria yang sudah ia tolong.Iya, lambat laun perasaan Indah berkembang dengan baik kepada Bara. Terlebih setelah pernikahan terjadi, sikap Bara yang perhatian membuat Indah merasa nyaman
"Untuk masalah laporan waktu itu apa sudah mendapatkan pencerahan, Mas?" tanya Indah ketika ia dan Bara baru saja duduk di kursi penumpang untuk pulang."Hemm, udah."Satu alis Indah terangkat--menatap Bara dengan heran. Pasalnya Bara tidak memberitahu masalah tersebut kepadanya. Padahal sebelumnya Baralah yang meminta bantuan kepada Indah. "Jadi, yang bener yang mana?" "Tentu saja yang di web, Sayang." Bara mengusap ujung kepala Indah dengan sayang. Tidak lupa senyumnya yang merekah menghiasi wajah pria itu.Indah mengangguk paham. "Oh, jadi Zulfi salah kasih laporan?" Air wajah Bara seketika berubah. Membuat Indah yang melihatnya menautkan kedua alis. "Kok gitu banget ekspresinya?" Segera Bara menormalkan raut wajahnya. Ia tersenyum tipis sambil menggeleng. "Enggak ada apa-apa, cuman kesel aja sama Zulfi karena salah buat laporan. Bikin kerjaan jadi dua kali capenya!" Perempuan itu terkekeh ketika melihat Bara yang bersungut kesal. Ia mengusap pundak Bara dengan lembut. "Udah,
“Mohon maaf, Pak, tapi keinginan Anda tidak bisa saya lakukan,” ujar Dokter Kristi yang membuat Bara murka.“Kenapa tidak bisa? Bukankah teknologi semakin maju!” “Itu karena akan membahayakan janin dan ibunya, Pak. Terlebih dengan kondisi Nona Indah yang kurang baik.” Dokter Kristi mencoba memberi pengertian agar Bara tidak memaksakan kehendak.“Aku tidak peduli! Lakukan atau karirmu hancur,” cetus Bara membuat Dokter Kristi ketakutan.Bagaimanapun bagi Bara akan mudah menghancurkan karirnya. “Pak, tolong pertimbangkan kembali,” ujarnya mulai goyah. “Tidak, keputusanku sudah bulat!”Mendengar perdebatan suaminya dengan Dokter Kristi membuat Indah kecewa. Perempuan yang sejak tadi hanya diam itu bangkit membuat Bara dan Dokter Kristi langsung menoleh ke arahnya. “Mau ke mana kamu?” tanya Bara.“Sudah cukup, Mas. Kalau memang kamu tidak mempercayai aku hamil anakmu tidak apa-apa. Anggap saja aku memang melakukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mas.” Terang saja ucapan Indah memancing
Berita tentang Mawar dan Zulfi yang dibawa oleh polisi sudah menyebar di kalangan karyawan dan kolega bisnis Bara, termasuk kedua orang tuanya. Karena itulah kini Bara dimintai Roki untuk datang ke rumahnya.“Apa yang sebenarnya terjadi? Coba jelaskan,” pinta Riko dan Diana.Tidak langsung menjawab, Bara lantas mengembuskan napas dengan kasar terlebih dahulu. “Sebenarnya ingatanku sudah kembali,” ujar Bara membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.“Jadi kamu sudah mengingat semuanya, Bara?”“Iya, Mam.” “Lalu kenapa tidak menceritakannya kepada kami?” Roki menuntut penjelasan lebih.“Karena aku ingin mengungkap lebih dulu pelaku dibalik kecelakaan yang kualami.”“Artinya kamu kembali bersama Mawar itu juga bagian dari rencana?” “Iya, Pap.” Bara mengangguk membenarkan membuat Roki mengusap wajahnya kasar. “Kamu keterlaluan, Bara!”Bentakan dari Roki membuat Bara terkejut. Ia pikir pria paruh baya itu akan senang karena ingatannya sudah kembali.“Keterlaluan bagaimana?” “Kamu sud
Bara pulang dalam keadaan mabuk parah, membuat Indah yang sedang terlelap tersentak ketika tiba-tiba Bara menjatuhkan diri di sampingnya. “Mas, Bara,” ucap Indah lantas bangkit.Bau menyengat yang menguar dari tubuh Bara membuat Indah mual. Meski begitu, Indah tetap membantu Bara melepaskan sepatu juga jas yang masih melekat di tubuh tegap suaminya. “Kenapa senang sekali minum minuman terlarang?” gumam Indah.*** Mata setajam elang itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya dibuka dengan sempurna. Bara mengedarkan pandangannya dan mendapati jika dirinya sudah berada di kamar. Ia bangkit sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Mas, Bara,” ucap Indah yang baru saja masuk kamar.Bara lantas menoleh sebentar lalu membuang muka ketika ingatannya kembali pada saat kemarin ia mendapati Indah di mushola bersama Dirga. “Kau, dari mana kemarin?” tanyanya.Pria itu sudah tidak tahan lagi dengan praduganya selama ini. Pria itu menatap Indah nyalang. Membuat Indah menelan ludahnya kasar
Bara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain yang sekiranya menghalangi jalan bagi dirinya. Pria itu bahkan mengabaikan protes yang dilakukan oleh pengguna jalan lain. Tidak peduli klaksonan atau pun umpatan yang terdengar. Dalam pikirannya ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Indah dengan tega melakukan hal tercela di kantor dengan pria lain. Sungguh, pria itu tidak menyangka jika Indah sampai hati melakukan hal tersebut. Padahal ia pernah berpikir jika perempuan yang menjadi penyelamat hidupnya merupakan perempuan baik-baik. “Haha … hahaha ….” Pria itu tertawa seperti kesetanan. Ia merasa bodoh karena berhasil dibodohi oleh wajah polos Indah. Ternyata di balik wajah lugu Indah tersimpan sebuah kenyataan yang membuat Bara tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada dalam benak Bara sekarang. Pertanyaan mengenai Indah yang bisa-bisanya malah melakukan hal seperti itu terus berputar di pikiran Bara. Sampai pria itu tidak sadar ji
Bara yang berjalan tergesa tentu menjadi pusat perhatian semua orang. Meski begitu tidak ada yang berani bertanya atau sekedar menyapa. Semuanya memilih menyingkir–memberikan jalan untuk pria tersebut. Sampai akhirnya Bara tiba di ruangannya. Dengan keras ia membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Sehingga Mawar yang berniat masuk untuk menyusul pun mengurungkan niat kala ia akan masuk, tetapi pintu dengan keras tertutup. Wanita itu hanya mampu berdiri mematung sambil memegang dadanya dengan kedua tangan. Sementara matanya melebar dengan napas yang terengah akibat berlari menyusul Bara. Dengan kasar ia mendengus kemudian berbalik–berniat ke meja kerjanya. Namun, Mawar malah dikagetkan dengan kehadiran Zulfi yang sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Sepertinya ada hal penting yang sedang dilakukan Pak Bara,” ujar Zulfi yang dibalas delikan oleh Mawar. “Hemm, aku tau! Tapi entah apa itu. Bisakah kamu menyeledikinya?” Permintaan itu ditanggapi Zulfi dengan mengangkat satu
Tiba di rumah Indah lantas turun dari mobil setelah membayar ongkosnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang yang menjulang tinggi. Tidak perlu banyak bicara, penjaga rumah pun sudah mengetahui jika Indah adalah nyonya di rumah tersebut. Sehingga dengan sedikit keheranan karena tidak biasanya Indah pulang sangat cepat pun membukakan gerbang. “Siang, Nyonya,” sapa Pak satpam yang berjaga. Dengan seulas senyum yang sangat tipis Indah membalas sapaan satpam tersebut. Bukan karena ia tidak ramah, tetapi ia yang lelah membuat Indah ingin segera tiba di kamar. Setelahnya Indah masuk rumah kemudian menaiki anak tangga untuk tiba di kamar.Begitu tiba, Indah membuka kerudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Lantas setelahnya ia merebahkan diri di atas ranjang. Meringkuk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Sementara di tempat lain, Bara sedang melakukan pertemuan dengan lawan bisnisnya di salah satu restoran. Mereka melakukannya di sana sekalian untuk makan sia
Raut wajah Dirga nampak khawatir ketika melihat Indah yang malah melamun. Meski terkejut dan sedikit tidak terima karena perempuan yang ia cintai mengandung anak dari pria lain, tetapi Dirga tetap mengkhawatir andai sesuatu terjadi dengan calon anak Indah. “Apakah kandungannya baik-baik saja?” Pertanyaan itu membuat Indah tersenyum miris. Ia berharap pria yang menanyakan hal itu adalah Bara, bukan Dirga. Namun, ia sadar diri karena Bara belum mengetahui kehamilannya.Lagi pula andai tahu, apakah Bara akan menerimanya? Atau sebaliknya, dan menuduh dirinya yang tidak-tidak karena pernah mendapati sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang pria pada malam hari. Yang tidak lain adalah Dirga. “Kandungannya baik-baik aja, Mas. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Indah dengan seulas senyum untuk menyembunyikan kerisauan dalam dirinya. Mendengar jawaban Indah seharusnya membuat Dirga bisa bernapas lega, tetapi pria itu malah semakin khawatir lantaran melihat dari ekspr
Tiba di rumah sakit Indah diarahkan oleh Dirga untuk mendaftarkan diri terlebih dahulu di bagian resepsionis. Baru setelahnya mereka menunggu di depan ruang dokter kandung. Agak heran bagi Dirga karena Indah malah memilih dokter kandungan dan bukan dokter umum.“Mas, Kayaknya aku masih lama, apa enggak sebaiknya Mas kembali ke kantor? Aku yakin Ibu Santi sekarang sedang mencari-cari, Mas.” Indah merasa tidak enak lantaran Dirga malah menemaninya di rumah sakit, sedangkan pekerjaan pria itu diabaikan begitu saja. “Enggak masalah, Indah. Aku di sini aja temani kamu,” ujar Dirga yang kukuh ingin menemani Indah. “Tapi–” “Udah, kamu enggak maksa. Di sini aku yang mau, jadi enggak perlu enggak enak.” Dirga dengan cepat menyela ucapan Indah. Sehingga Indah tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Karena Indah sedang merasa lemas dan kesakitan, sehingga ia memilih untuk diam dan tidak lagi banyak bicara. Perempuan itu memilih mencoba menghilangkan rasa sakit, meski rasanya mustahil. Sementara D
Selama pertemuan berlangsung di salah satu restoran Bara tidak bisa fokus karena dalam benaknya terus berputar nama Indah yang tidak dapat ia liat di ruangan. Rasanya ingin segera menyelesaikan pertemuan. Namun, sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan karena ini merupakan pertemuan penting yang tidak semua orang bisa dapatkan.Semetara di tempat lain, Indah nampak meringkuk di mushola sambil memeluk perutnya yang sakit. Tadi saat perempuan itu ke ruangannya, ia meminta izin kepada Santi untuk beristirahat terlebih dahulu di mushola karena perutnya yang melilit. Tentu saja Santi yang melihat wajah pucat Indah pun memilih membiarkan. “Indah, apa baik-baik saja?” Dirga yang merasa khawatir memilih menyusul Indah untuk memastikan keadaan tambatan hatinya.Perlahan Indah yang memejamkan mata, tetapi tidak tertidur pun membuka matanya. Nampak manik yang biasanya memancarkan keindahan kini terlihat sangat sayu, membuat semua orang yang melihatnya akan merasa iba. “Iya, Mas,” sahutnya pelan.