"Kau menghinaku? Bagaimana mungkin aku punya perusahaan periklanan yang masih kecil seperti itu." Dean menatap Noura kesal. Wajahnya terlihat sombong. "Kalau bukan karena perusahaan itu milikmu, lantas dari mana kamu tahu adikku bekerja di sana?""Tak penting kau tahu. Intinya pendapatan yang adikmu dapatkan untuk membiayai hidupnya saja masih kurang, lalu bagaimana bisa ia membiayai seorang anak nantinya."Noura membuang pandangannya ke arah lain. Jujur saja ia ingin tertawa sebab penghinaan yang Dean layangkan. Namun, sepertinya lelaki itu terlalu lama hidup dalam gelimang harta sehingga menganggap bahwa uang gaji yang karyawan seperti Harry dapatkan tidak akan mampu menghidupi seluruh kebutuhan keluarga. "Sekali-kali lihat ke bawah supaya kamu tahu bahwa kami masih bisa hidup meski hanya dengan uang seratus ribu untuk bertiga."Dean mendengar nyinyiran yang Noura lontarkan. Ia jelas tersinggung karena dianggap seseorang yang hanya melihat semuanya secara berlebihan. "Untuk apa a
Tidak diberi izin oleh Dean, Noura kemudian meminta Kenz untuk menemani ibu dan adiknya, Harry, di rumah sakit. "Apa lelaki itu benar-benar gila sampai kamu tidak diberi izin menemui adikmu sendiri?"Kenz marah-marah ketika mengetahui kabar yang Noura sampaikan. Bukan ia kesal pada temannya itu, tapi marah pada Dean yang sama sekali tidak memiliki empati sebagai seorang kakak ipar. "Tak perlu dibahas, Kenz. Itu hanya akan membuatku kesal terus.""Kamu memang pantas kesal. Lelaki itu, ah, entahlah. Harus gimana lagi aku bicara, kamu gak akan dengerin aku juga.""Ya, maafkan aku. Andai saja aku tidak menikah dengannya, mungkin aku tidak akan mendapatkan kesulitan seperti ini." Noura berkata pilu. "Kamu gak perlu malu jika ingin bercerai darinya sekarang. Aku akan dengan senang hati membantu membesarkan anakmu."Ada kekeh suara terdengar di telinga Kenz saat ia bicara seolah ingin bertanggung jawab atas kehamilan Noura. "Kamu terlalu baik untukku dan itu sungguh sesuatu yang sangat b
Noura melihat Dean berjalan dari arah anak tangga. Suaminya itu sepertinya baru dari lantai bawah untuk mengambil minuman yang baru. 'Entah sudah berapa banyak dia minum. Tapi, anehnya ekspresinya masih normal. Sepertinya dia benar-benar seorang peminum,' batin Noura dengan tatapan matanya mengarah pada botol berwarna hitam di tangan Dean. "Apa maksud kamu?" tanya Noura setelah Dean berdiri tepat di depannya. "Kau masih belum tidur di malam yang sudah larut ini, apalagi kalau bukan mau mengatakan hal yang sama." Dean sungguh lelaki yang pintar, dia bisa menebak dengan tepat apa yang mau Noura bicarakan. Melihat sikap diam sang istri, sontak membuat Dean terdiam. Ia terlihat menggeleng sembari tersenyum, lalu sedetik kemudian berjalan melewatinya. "Dean, tunggu! Tolong beri aku izin," ucap Noura memohon. Ia berbalik dan menatap Dean dengan kedua mata berkaca-kaca. Dean yang sudah duduk di sofa panjang tampak meletakkan botol minumannya di atas meja. "Keputusanku tak akan berubah
Noura seketika menangis, menjerit seolah menahan sakit. Dean yang sudah akan melampiaskan hasratnya, sontak berhenti dan terdiam menatap istrinya itu. "Sakit .... Perutku sakit."Tiba-tiba Noura memegang perutnya. Peluh dan air mata sudah mulai mengucur seiring erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya. Dean yang mendadak peduli, tampak membeku saat menatap Noura yang meringkuk di atas sofa. "Ada apa? Jangan bersandiwara di depanku." Meski nadanya sinis, tapi Dean mendadak khawatir. "Dean, perutku sakit.""Jangan pura-pura. Kau hanya mau menghindar dariku bukan?""Tidak." Noura menggeleng. "Tolong aku, Dean," lanjutnya memohon. Ekspresi Dean tiba-tiba berubah. Di mana sebelumnya ia merasa cemas, kini ia berpikir jika Noura hanya sedang berakting dan berniat menipunya. Namun, saat Dean hendak menarik tangan Noura, seketika ia tersadar bila kondisi Noura saat ini bukan sebuah tipuan. Istrinya itu betul-betul kesakitan. Hal itu terlihat jelas ketika Dean melihat ada darah yang me
Noura bisa melihat melalui sudut matanya di mana Dean yang terus mengawasi dan mendengarnya ketika berbicara dengan Kenz. Terlebih ketika ia menyebut nama Adlin yang saat ini tengah berjuang dengan penyakitnya. Namun, ketika satu kabar yang Kenz sampaikan tentang adik bungsunya itu, seketika Noura merasa langit yang menaunginya runtuh. "Jangan becanda, Kenz. Katakan kabar apa yang sebenarnya mau kamu sampaikan?" Noura tak bisa menerima begitu saja kabar duka yang temannya berikan. "Aku tidak sedang becanda, Noura. Untuk apa aku becanda akan kematian seseorang, terlebih itu adalah adikmu.""Tapi, Kenz. Tidak, ini tidak mungkin." Noura menggeleng dengan air mata yang seketika tumpah begitu deras. Kepergian akan jabang bayi di dalam rahimnya, rupanya tak seberapa sakit ketika ia harus menerima kabar akan kematian sang adik. "Noura, apakah aku perlu menjemputmu?"Tak ada sahutan dari Noura sebab sekarang tampak wanita itu tengah bersusah payah mengontrol emosinya yang tiba-tiba hadir
Dean hanya diam menatap Noura yang terus menangisi jenazah adiknya. Di dalam ruang jenazah di salah satu rumah sakit yang ternyata tak jauh dari rumah sakit tempat di mana Noura keguguran, Dean melihat istrinya meraung sedih. "Maafkan Kaka, maafkan Kaka!"Kata-kata itu terus yang Noura lontarkan sambil memeluk tubuh Adlin yang tertutup kain putih. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Noura. Ini sudah takdir yang Tuhan berikan kepada Adlin. Adlin memang sudah harus pergi. Ia sudah berusaha sebaik mungkin melawan penyakitnya. Mungkin ini memang jalan terbaik yang harus Adlin jalani, di mana ia tak lagi merasakan sakit." Kenz yang setia berdiri di samping Noura, mencoba memberi semangat agar kawannya itu tabah dan sabar. Noura setuju untuk itu. Tapi, tetap saja rasa bersalah karena tidak bisa menolong di detik-detik terakhir hidup adik bungsunya itu, membuat akal dan pikiran Noura ingkar. Ia tetap menyalahkan dirinya sendiri. 'Andai aku punya uang, detik di mana seharusnya Adlin diope
Baik Kenz atau Dean sama-sama diam. Tak ada yang menjawab pertanyaan Harry. "Apakah aku harus tahu sendiri dari Kak Noura?" tanya pemuda itu lagi masih menatap dua lelaki yang memiliki hubungan dengan sang kakak. "Mungkin memang sebaiknya kamu tahu sendiri dari Noura," jawab Kenz. "Sebab laki-laki di depan kita ini tak punya nyali untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," lanjut Kenz menatap Dean sinis. Tak berbeda, Dean pun melakukan hal serupa meski tatapan pengusaha itu jauh lebih dingin sehingga membuat suasana terasa mencekam. "Kalian bisa berpikir apapun tentangku, tapi asal menuduh dalam suatu perkara bisa membuat kalian sengsara."Kalimat yang Dean katakan membuat Harry terdiam. Tak mengerti apa yang dikatakan oleh suami kakaknya itu sebab sebelumnya ia memang tidak tahu menahu obrolan apa yang terjadi antara Kenz dan Dean tadi. Setelah berkata demikian Dean pun pergi meninggalkan adik iparnya itu, yang terlihat bingung dengan sesekali melirik ke arah Kenz. "Apa ya
"Kamu pembunuh adikku, Dean! Pembunuh!" seru Noura lantang. Beruntung hanya ada mereka di lorong rumah sakit tempat mereka berdiri sekarang. Air mata menderas keluar dari kedua mata Noura. Ekspresinya terlihat menahan amarah ketika pintu ruangan tempat ibunya dirawat paska pingsan, tiba-tiba terbuka. Sosok wanita paruh baya yang terlihat sendu karena kepergian sang putra, menatap Noura dan Dean bergantian. "Noura, ada apa? Kenapa kamu teriak seperti tadi?" tanya ibu Noura dengan wajah khawatir. "Ibu!" Noura menatap wajah ibunya, lalu mendekat dan menggenggam tangan yang mulai keriput karena dimakan usia. "Gak ada apa-apa kok, Bu," jawab Noura berbohong. "Ibu mau kemana?" lanjutnya lagi. "Ibu mau nemenin kamu. Ibu gak bisa sendirian di dalam. Gak enak, Noura." Tatapan ibu Noura begitu memilukan, spontan membuat Noura memeluk tubuh ibunya itu dari samping. "Maaf, Noura gak peka. Iya, seharusnya Ibu gak sendirian," ucap Noura sambil terus membelai bahu sang ibu. "Ya sudah, Ibu i