Siapapun orang yang melihat Noura berpakaian sepertinya saat ini, pasti tak akan menyangka jika ia adalah istri dari si pemilik rumah. Sebutan pelayan adalah sesuatu yang pantas sebab seragam hitam putih yang ia kenakan persis sama seperti pelayan di istana megah pada bangsawan. Membiarkan Renee mengobrol dengan Dean, suaminya, Noura memilih untuk diam di kamarnya sendiri. Ia memutuskan akan keluar setelah wanita itu pergi. Bukan karena Noura malu sebab berpenampilan seperti sekarang. Tapi, ia hanya tak mau kehadirannya membuat dua orang itu malah bernostalgia tentang Rachel. Noura tak mau Dean menjadi bersemangat untuk terus menerus menuduhnya sebagai seorang pembunuh. "Tanpa kemunculan perempuan itu saja, dia masih belum bisa melupakan kepergian Rachel. Apalagi sekarang?" kata Noura pada dirinya sendiri. "Harus banyak bersabar, Noura. Kehidupan normal-mu sudah selesai, kini berganti dengan kehidupan penuh liku dan kelok."Noura harus menyemangati dirinya sendiri agar tetap waras
Pada akhirnya Noura mau memeriksakan kondisi kehamilannya ke dokter spesialis kandungan di salah satu rumah sakit besar yang ada di pusat kota. Diantar oleh Kenz sebab tak sengaja ia bertemu dengan kawannya itu saat turun dari taksi online, ia kini duduk di depan seorang dokter wanita yang cantik, ramah, dan keibuan. Pemeriksaan baru akan dilakukan setelah dokter menanyakan beberapa pertanyaan kepada Noura. "Anda sendiri saja, Bu Noura? Suami tidak ikut?" tanya sang dokter sembari membaca catatan yang Noura berikan, yang sebelumnya ia dapat dari Jane. "Tidak, Dok. Suami saya masih sibuk bekerja. Tidak bisa izin karena lagi banyak kerjaan." Noura berkata bohong. "Di luar memang siapa, Bu? Bukannya tadi Ibu sama seorang pria, yah?" Tiba-tiba asisten dokter nyeletuk. Dokter wanita di depan Noura sontak melirik ke arahnya, tampak tersenyum karena ia juga penasaran. "Oh, itu teman saya. Kebetulan ia sedang menjenguk salah seorang kolega yang dirawat di rumah sakit ini." Entah benar a
Taksi online yang Noura naiki tiba-tiba mengerem mendadak, yang membuat perempuan itu kaget dan hampir kepalanya kejedot sandaran bangku pengemudi. "Ada apa, Pak?" tanya Noura merasa bersyukur karena tidak sampai terjadi kecelakaan. "Di depan ada yang ngehadang, Bu," ucap sang sopir terlihat kesal tapi juga panik. "Ngehadang gimana?" tanya Noura yang ikut mencoba menatap jalan di depan.Di sana tampak mobil mewah berwarna hitam yang Noura kenal.'Dean,' gumamnya tak percaya. "Ibu kenal sama yang punya mobil?" tanya sopir itu melongok ke belakang, menatap Noura. Noura mengangguk yakin. "Sepertinya begitu.""Jadi, apa yang harus saya lakukan?" Sang sopir kembali bertanya sambil mengawasi mobil yang menghadang mobilnya. "Biarkan saja dulu, Pak. Kalau gak ada yang turun atau nyamperin ke sini, kita jalan lagi aja."Sekian detik berlalu dengan kedua mobil yang sama-sama diam. Namun, ketika Noura akan meminta sopir taksi online melanjutkan perjalanan dan diminta melewati mobil Dean, p
"Kau menghinaku? Bagaimana mungkin aku punya perusahaan periklanan yang masih kecil seperti itu." Dean menatap Noura kesal. Wajahnya terlihat sombong. "Kalau bukan karena perusahaan itu milikmu, lantas dari mana kamu tahu adikku bekerja di sana?""Tak penting kau tahu. Intinya pendapatan yang adikmu dapatkan untuk membiayai hidupnya saja masih kurang, lalu bagaimana bisa ia membiayai seorang anak nantinya."Noura membuang pandangannya ke arah lain. Jujur saja ia ingin tertawa sebab penghinaan yang Dean layangkan. Namun, sepertinya lelaki itu terlalu lama hidup dalam gelimang harta sehingga menganggap bahwa uang gaji yang karyawan seperti Harry dapatkan tidak akan mampu menghidupi seluruh kebutuhan keluarga. "Sekali-kali lihat ke bawah supaya kamu tahu bahwa kami masih bisa hidup meski hanya dengan uang seratus ribu untuk bertiga."Dean mendengar nyinyiran yang Noura lontarkan. Ia jelas tersinggung karena dianggap seseorang yang hanya melihat semuanya secara berlebihan. "Untuk apa a
Tidak diberi izin oleh Dean, Noura kemudian meminta Kenz untuk menemani ibu dan adiknya, Harry, di rumah sakit. "Apa lelaki itu benar-benar gila sampai kamu tidak diberi izin menemui adikmu sendiri?"Kenz marah-marah ketika mengetahui kabar yang Noura sampaikan. Bukan ia kesal pada temannya itu, tapi marah pada Dean yang sama sekali tidak memiliki empati sebagai seorang kakak ipar. "Tak perlu dibahas, Kenz. Itu hanya akan membuatku kesal terus.""Kamu memang pantas kesal. Lelaki itu, ah, entahlah. Harus gimana lagi aku bicara, kamu gak akan dengerin aku juga.""Ya, maafkan aku. Andai saja aku tidak menikah dengannya, mungkin aku tidak akan mendapatkan kesulitan seperti ini." Noura berkata pilu. "Kamu gak perlu malu jika ingin bercerai darinya sekarang. Aku akan dengan senang hati membantu membesarkan anakmu."Ada kekeh suara terdengar di telinga Kenz saat ia bicara seolah ingin bertanggung jawab atas kehamilan Noura. "Kamu terlalu baik untukku dan itu sungguh sesuatu yang sangat b
Noura melihat Dean berjalan dari arah anak tangga. Suaminya itu sepertinya baru dari lantai bawah untuk mengambil minuman yang baru. 'Entah sudah berapa banyak dia minum. Tapi, anehnya ekspresinya masih normal. Sepertinya dia benar-benar seorang peminum,' batin Noura dengan tatapan matanya mengarah pada botol berwarna hitam di tangan Dean. "Apa maksud kamu?" tanya Noura setelah Dean berdiri tepat di depannya. "Kau masih belum tidur di malam yang sudah larut ini, apalagi kalau bukan mau mengatakan hal yang sama." Dean sungguh lelaki yang pintar, dia bisa menebak dengan tepat apa yang mau Noura bicarakan. Melihat sikap diam sang istri, sontak membuat Dean terdiam. Ia terlihat menggeleng sembari tersenyum, lalu sedetik kemudian berjalan melewatinya. "Dean, tunggu! Tolong beri aku izin," ucap Noura memohon. Ia berbalik dan menatap Dean dengan kedua mata berkaca-kaca. Dean yang sudah duduk di sofa panjang tampak meletakkan botol minumannya di atas meja. "Keputusanku tak akan berubah
Noura seketika menangis, menjerit seolah menahan sakit. Dean yang sudah akan melampiaskan hasratnya, sontak berhenti dan terdiam menatap istrinya itu. "Sakit .... Perutku sakit."Tiba-tiba Noura memegang perutnya. Peluh dan air mata sudah mulai mengucur seiring erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya. Dean yang mendadak peduli, tampak membeku saat menatap Noura yang meringkuk di atas sofa. "Ada apa? Jangan bersandiwara di depanku." Meski nadanya sinis, tapi Dean mendadak khawatir. "Dean, perutku sakit.""Jangan pura-pura. Kau hanya mau menghindar dariku bukan?""Tidak." Noura menggeleng. "Tolong aku, Dean," lanjutnya memohon. Ekspresi Dean tiba-tiba berubah. Di mana sebelumnya ia merasa cemas, kini ia berpikir jika Noura hanya sedang berakting dan berniat menipunya. Namun, saat Dean hendak menarik tangan Noura, seketika ia tersadar bila kondisi Noura saat ini bukan sebuah tipuan. Istrinya itu betul-betul kesakitan. Hal itu terlihat jelas ketika Dean melihat ada darah yang me
Noura bisa melihat melalui sudut matanya di mana Dean yang terus mengawasi dan mendengarnya ketika berbicara dengan Kenz. Terlebih ketika ia menyebut nama Adlin yang saat ini tengah berjuang dengan penyakitnya. Namun, ketika satu kabar yang Kenz sampaikan tentang adik bungsunya itu, seketika Noura merasa langit yang menaunginya runtuh. "Jangan becanda, Kenz. Katakan kabar apa yang sebenarnya mau kamu sampaikan?" Noura tak bisa menerima begitu saja kabar duka yang temannya berikan. "Aku tidak sedang becanda, Noura. Untuk apa aku becanda akan kematian seseorang, terlebih itu adalah adikmu.""Tapi, Kenz. Tidak, ini tidak mungkin." Noura menggeleng dengan air mata yang seketika tumpah begitu deras. Kepergian akan jabang bayi di dalam rahimnya, rupanya tak seberapa sakit ketika ia harus menerima kabar akan kematian sang adik. "Noura, apakah aku perlu menjemputmu?"Tak ada sahutan dari Noura sebab sekarang tampak wanita itu tengah bersusah payah mengontrol emosinya yang tiba-tiba hadir
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.
Pikiran Dean seketika berkecamuk. Melihat Noura terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pusat, membuatnya tidak bisa berpikir tenang. "Anda harus segera menandatangani surat persetujuan tindakan operasi, Tuan Dean." Dean yang masih belum bisa berpikir jernih, kaget ketika dokter kembali berbicara kepadanya. "Di mana saya harus tanda tangan?""Anda bisa ikut saya."Dean sebetulnya tidak rela meninggalkan Noura sendirian bersama para tenaga medis yang sudah terlihat bersiap melakukan tindakan operasi. Tapi, ia harus patuh pada peraturan. Mau tak mau ia harus mematuhi ucapan dokter di mana ia harus menyetujui tindakan operasi Caesar yang akan Noura lalui. "Maaf sebelumnya, Tuan Dean. Dengan berat hati saya mau menyampaikan hal penting yang mungkin akan membuat Anda kaget atau tidak terima." Di ruangannya, dokter mengatakan hal tak mengenakan kepada Dean. "Hal penting apa, Dok?"Dokter berkaca mata itu membuka sebuah map berisi lembaran kertas yang menunjukkan riwayat pasien. "