"Ada apa?" Bagas mengambil tempat, duduk tepat di depan Daren."Papa ku pulang malam ini dan Mama mengundangmu makan malam bersama di rumah.""Papa pulang?" Seru Daren kaget. "Ya." "Lalu, apa Papa sudah tahu tentang Aileen?"Bagas menyilangkan kakinya dengan raut wajah gusar. "Mungkin secara garis besar Mama sudah menceritakan tentang Aileen.""Apa menurut mu responnya positif?"Bagas menggeleng. "Aku belum tahu.""Well, aku rasa malam ini kamu akan menghadapi masalah besar. Papa akan mencerca mu dengan banyak pertanyaan.""Yah, aku juga yaki itu akan terjadi. Hanya saja …" Bagas kembali menghela napas, kali ini lebih dalam."Kenapa? Aileen?" Tebak Daren."Ya. Aku tidak yakin dia bisa bertahan di bawah intimidasi Pak tua.""Hei, berhenti memanggil Papa dengan sebutan Pak tua." Sergah Daren."Ya, ya. Aku lupa sedang bicara dengan anak kesayangannya." Ledek Bagas."Kamu tidak tahu saja, betapa besar ketakutan Papa dan Mama saat melihat mu terbaring di rumah sakit.""Itulah yang dimak
"Hei, Aira. Sebaiknya kamu menjauhi pria tua itu." Ucap Aileen dengan ekspresi wajah mengelap."Eh, kenapa?" "Entahlah. Hanya untuk berjaga-jaga." Ucap Aileen samar."Tapi Ai," sela Mardiana. "Menurutku apa yang di katakan pria tua itu benar. Kamu harus mulai berhati-hati karen berita tentang mu mulai tersebar luas. ""Iya juga, sih. Banyak hantu-hantu baru yang datang untuk bertanya tentang mu," imbuh Rachel."Bahkan, kemarin aku bertemu dengan hantu yang menakutkan."Aileen memijat pelipisnya. "Lupakan saja. Mereka hanya akan datang dan meminta ini itu. Aku hanya akan bersikap seperti biasanya.""Yah, tentu saja. Bersikap seperti gadis gila yang galak dan pelit," ejek Rachel."Benar sekali," cemooh Aileen. "Seperti yang aku lakukan padamu."Mardiana dan Aira tersenyum geli melihat Rachel mengeram kesal."Hei, apa yang kamu lakukan disana?""Hiii … raja neraka datang," ujar Rachel bergidik geli."Rachel," protes Aira karena Rachel mengejek suaminya.Sebaliknya, Aileen justru mengang
"Ah, apakah kamu sudah mendengar tentang Aira?"Semua orang terdiam saat nama Aira disebut. Bahkan di balik meja, Aileen meremas tangan Bagas dengan erat."Pa, nanti makanannya dingin loh." Sela Cintya. Ia mulai merasa perubahan suasana menjadi kelam dan suram."Apa Papa membuatmu tak nyaman, Aileen?"Aileen menghias bibirnya dengan senyum tipis. "Tidak, Om. Aku mengenal Aira dengan baik.""Benarkah?" Seru Cintya penasaran. "Kamu tidak mengatakannya pada Mama.""Ah, itu—" Aileen mengaruk pipinya, bingung."Aku yang melarangnya, Ma." Sela Bagas. "Aku tidak ingin Mama salah paham.""Maaf, Tante."Cintya membelai rambut Aileen. "Tidak, Nak. Mama yang harusnya minta maaf. Ini pasti juga sulit bagimu."Dalam hati, Aileen mengangguk dengan kuat meski pada kenyataannya ia hanya mengulum senyum tipis."Ayo makan lagi." Seru Cintya. "Dan kamu, Sayang. Berhentilah membicarakan banyak hal di meja makan." Alihnya pada sang suami.Haris mengeram pelan namun tatapannya tak lekang dari wajah Aileen.
Aira menutup mulutnya yang kembali menguap, matanya masih setengah terpejam karena di paksa terbuka untuk membuntuti langkah Aileen yang tiba-tiba turun dari ranjangnya dan berjalan keluar rumah di saat ufuk fajar baru menyapa dengan malu-malu. "Ai, lebih baik kamu kembali untuk istirahat." Aira prihatin melihat wajah sembab Aileen karena semalaman menangis dan tidak bisa tidur dengan nyenyak.Aileen tak bergeming, ia mengambil selang lalu memutar keran dan air menyembur keluar dari ujung selang. Dia memutar arah tubuhnya bersamaan dengan mengarahkan ujung selang ke taman. Air memercik ke setiap sudut, membasahi tanah dan ulas kelopak mawar."Ai, jangan pikirkan lagi apa yang dikatakan Bagas tadi malam. Anggap saja angin lalu," bujuk Aira.Aileen mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Enggan untuk berkomentar apapun yang berhubungan dengan Bagas."Ai, kamu masih marah ya?" Aira berdiri tepat di depan Aileen agar sahabat barunya itu tidak bisa mengelak lagi bertemu muka dengannya."Ai." R
"Akh." Aileen merintih pelan lalu melihat ke balkon lantai dua, tempat dimana sosok bermata merah baru saja menjatuhkan pot bunga."Ai, kamu berdarah," teriak Aira panik melihat darah yang merembes turun dari balik helaian rambut Aileen."Oh." Aileen menyentuh keningnya lalu mendesis pelan. Noda darah menempel di telapak tangannya.'Ah, kepala ku bocor,' desahnya tanpa suara."Anda baik-baik saja?" Aileen beralih pada Harris yang masih duduk di tanah, melihat ke arah balkon dengan sorot mata kaget."Apa itu tadi?" Gumam Harris dengan suara bergetar."Angin." Sahut Aileen cepat. "Yah, hanya angin.""Ai!" Daren yang baru saja memasuki area ruang tengah terkejut begitu mendengar suara teriakan. Ia langsung menuju taman belakang dan terkejut melihat Aileen dan Harris tersungkur di tanah."Apa yang terjadi?" Ia panik melihat rembesan darah yang semakin banyak hingga menetes ke kemeja yang dikenakan wanita itu."Ada pot jatuh. Mungkin di dorong angin." Kilah Aileen untuk menutupi kegelisah
'Soraya?!'"Halo, Om." Sapa wanita dengan rambut sebahu dan senyum indah. Langkahnya mengayun, mendekati kerumunan orang-orang yang teralihkan oleh pesonanya. "Papa bilang, semalam Om baru kembali dari Cina. Jadi aku kesini untuk menyapa." ucapnya dengan suara merdu mendayu."Oh, apa kabar, Sayang?" Sambut Cintya tergagap. "Apa kamu datang bersama Mamamu?"Soraya tersenyum. "Tidak Tante." sahutnya sambil melirik Bagas dan Daren serta wanita yang duduk di sofa."Mama kurang enak badan. Jadi dia mengutus ku untuk datang dan menyampaikan permintaan maaf." Soraya mengulurkan paper yang di bawanya."Aku memanggang cupcake kesukaan Bagas." Ujarnya sembari mengembangkan senyum terbaik. "Ku harap kamu suka.""Cupcake?" Kekeh Aileen. "Sungguh bertolak belakang," desisnya pelan.Bagas melirik Aileen tapi tak berniat untuk mengatakan apapun, ia hanya mengelus perban yang menutupi luka wanita itu.Aira mendelik. "Jangan memancing Bagas untuk memarahimu lagi," pesannya. "Oke … oke …" balas Ailee
"Hei, udah bangun?"Aileen mengernyitkan kenin ketika suara nyaring menyapa telinganya yang baru saja aktif."Apa yang kalian lakukan disini?" tanyanya."Oh, kamu harus tanya sama si hantu cantik." Sahut Rachel—si pemilik suara.Rachel menyingkir untuk memberi akses pada Aira dan Mardiana duduk melihat wanita yang perlahan beranjak bangun—duduk dengan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang."Hai." Sapa Aira.Mardiana mengelus tangan Aileen. "Bagaimana kondisi mu, Nak?""Ah, baik." Ucap Aileen sembari meraba letak perban di puncak kepalanya."Masih sakit?"Aileen menggelengkan kepalanya pelan, mengusir ekspresi gusar di wajah Aira."Cuma sedikit nyeri. Selebihnya masih bisa diatasi.""Tapi, kenapa kalian ada disini?""Aku meminta Bu Mardiana dan Rachel untuk tinggal disini sementara sampai kondisi mu membaik." Jelas Aira.Aileen mengangkat salah satu alisnya hingga kening atasnya tampak mengerut. "Kenapa?""Ai, aku takut," desah Aira. "Pada saat kamu terluka, aku melihat sosok meng
"Apa yang kamu lakukan, Daren?"Daren melempar punggung ke sofa, mengusap kasar wajahnya sembari mendesah dalam. Bergumam demi mengutuk apa yang telah ia lakukan. Kemarin, ia masih dengan tegas menepis perasaannya di depan Daren tapi yang terjadi hari ini justru kebalikannya.Ia semakin sulit untuk mengenyahkan keinginannya untuk selalu berada disamping Aileen. Jiwa dan raganya tak terkontrol saat berada dekat dengan wanita itu.Pikiran bahkan tubuhnya tak mampu menahan napsu kotor yang muncul dan mendorong dirinya untuk menyentuh tubuh Aileen."Daren, dia calon istri Bagas." Gumamnya lirih. "Kendalikan dirimu.""Kamu kenapa?"Daren menepis tangan yang berusaha menyentuhnya. "Apa yang kamu lakukan?""Menjauh lah dari ku." hardiknya marah.Soraya mendesis pelan. "Daren. Kamu tidak pernah berubah. Selalu saja kasar dan dingin padaku," keluhnya. Ia duduk di sofa panjang yang sama, memainkan jemarinya di atas paha Daren."Padahal aku sudah berulang kali minta maaf pada mu. Tidak bisakah