'Soraya?!'"Halo, Om." Sapa wanita dengan rambut sebahu dan senyum indah. Langkahnya mengayun, mendekati kerumunan orang-orang yang teralihkan oleh pesonanya. "Papa bilang, semalam Om baru kembali dari Cina. Jadi aku kesini untuk menyapa." ucapnya dengan suara merdu mendayu."Oh, apa kabar, Sayang?" Sambut Cintya tergagap. "Apa kamu datang bersama Mamamu?"Soraya tersenyum. "Tidak Tante." sahutnya sambil melirik Bagas dan Daren serta wanita yang duduk di sofa."Mama kurang enak badan. Jadi dia mengutus ku untuk datang dan menyampaikan permintaan maaf." Soraya mengulurkan paper yang di bawanya."Aku memanggang cupcake kesukaan Bagas." Ujarnya sembari mengembangkan senyum terbaik. "Ku harap kamu suka.""Cupcake?" Kekeh Aileen. "Sungguh bertolak belakang," desisnya pelan.Bagas melirik Aileen tapi tak berniat untuk mengatakan apapun, ia hanya mengelus perban yang menutupi luka wanita itu.Aira mendelik. "Jangan memancing Bagas untuk memarahimu lagi," pesannya. "Oke … oke …" balas Ailee
"Hei, udah bangun?"Aileen mengernyitkan kenin ketika suara nyaring menyapa telinganya yang baru saja aktif."Apa yang kalian lakukan disini?" tanyanya."Oh, kamu harus tanya sama si hantu cantik." Sahut Rachel—si pemilik suara.Rachel menyingkir untuk memberi akses pada Aira dan Mardiana duduk melihat wanita yang perlahan beranjak bangun—duduk dengan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang."Hai." Sapa Aira.Mardiana mengelus tangan Aileen. "Bagaimana kondisi mu, Nak?""Ah, baik." Ucap Aileen sembari meraba letak perban di puncak kepalanya."Masih sakit?"Aileen menggelengkan kepalanya pelan, mengusir ekspresi gusar di wajah Aira."Cuma sedikit nyeri. Selebihnya masih bisa diatasi.""Tapi, kenapa kalian ada disini?""Aku meminta Bu Mardiana dan Rachel untuk tinggal disini sementara sampai kondisi mu membaik." Jelas Aira.Aileen mengangkat salah satu alisnya hingga kening atasnya tampak mengerut. "Kenapa?""Ai, aku takut," desah Aira. "Pada saat kamu terluka, aku melihat sosok meng
"Apa yang kamu lakukan, Daren?"Daren melempar punggung ke sofa, mengusap kasar wajahnya sembari mendesah dalam. Bergumam demi mengutuk apa yang telah ia lakukan. Kemarin, ia masih dengan tegas menepis perasaannya di depan Daren tapi yang terjadi hari ini justru kebalikannya.Ia semakin sulit untuk mengenyahkan keinginannya untuk selalu berada disamping Aileen. Jiwa dan raganya tak terkontrol saat berada dekat dengan wanita itu.Pikiran bahkan tubuhnya tak mampu menahan napsu kotor yang muncul dan mendorong dirinya untuk menyentuh tubuh Aileen."Daren, dia calon istri Bagas." Gumamnya lirih. "Kendalikan dirimu.""Kamu kenapa?"Daren menepis tangan yang berusaha menyentuhnya. "Apa yang kamu lakukan?""Menjauh lah dari ku." hardiknya marah.Soraya mendesis pelan. "Daren. Kamu tidak pernah berubah. Selalu saja kasar dan dingin padaku," keluhnya. Ia duduk di sofa panjang yang sama, memainkan jemarinya di atas paha Daren."Padahal aku sudah berulang kali minta maaf pada mu. Tidak bisakah
"Apa Papa gila!" Sentak Bagas marah."Jangan kurang ajar, Bagas!" Balas Harris."Bagas." Lerai Cintya. "Harris, tenanglah."Ia sengaja menyusul ayah dan anak itu demi menengahi pertikaian diantara keduanya. Cintya sudah bisa menebak, dua pria dengan karakter turunan itu akan saling melemparkan argumen tanpa ada yang mau mengalah."Tidak bisakah kalian bicara dengan suara rendah." Cintya menarik Bagas untuk duduk disampingnya."Kita kesini untuk bicara baik-baik dan mencari solusi dari masalah ini."Bagas mengusap wajahnya. "Aku tahu, Papa sengaja menyuruh Soraya datang dan ikut tinggal bersama kita untuk mengacaukan pernikahan ku kan?" tudingnya."Baguslah kalau kamu sudah paham." Bagas mendengus kasar. "Dengan adanya Soraya di rumah kamu jadi bisa membuka mata mu bahwa ada wanita yang lebih baik dari pada gembel yang kamu bawa pulang itu," ujarnya lugas."Pa!""Harris, aku tidak suka kamu menjelek-jelekkan Aileen. Dia wanita yang baik, bahkan dia mengorbankan dirinya untuk menolong m
"Pelan-pelan," ucap Bagas mengingatkan. "Siapa yang mengejar mu?"Bagas menggelengkan kepalanya melihat tingkah Aileen, menyendokkan nasi ke mulutnya dengan gerakan super cepat. "Terima kasih atas makanannya," balas Aileen sembari menutup sendoknya. "Biar aku yang mencuci piring dan peralatan makan lainnya.""Tidak perlu. Nanti ada asisten yang datang untuk bersih-bersih," tahan Bagas.Ia menuangkan air ke dalam gelas dan meletakkannya di depan Aileen lalu memasukkan tablet ke dalam mesin kopi otomatis."Kopi?" tawarnya.Aileen mengeleng. "Apa kamu mau kembali ke kantor?" tanyanya takut-takut.Untuk pertama kalinya Aileen berani untuk mengangkat kepala dan menatap secara langsung pemilik wajah tampan dengan sorot mata tajam."Ya. Ada rapat yang tidak bisa aku tunda." Sahut Bagas. "Kenapa? Kamu membutuhkan sesuatu?"Tidak." Elak Aileen. "Aku hanya bertanya.""Kamu bosan?" tebak Bagas. Ia menyesap perlahan kopi yang baru saja diseduh."Hmm. Sedikit.""Meskipun bosan, kamu belum boleh k
Aira mengangkat tangan untuk menyibak rambut depan yang menutupi separuh wajahnya."Sepertinya ikatan rambut ku lepas," ucapnya sambil menyisir rambutnya dengan tangan."Hmm? Kenapa tiba-tiba jadi—"Ia menurunkan tangannya, meneliti dengan lebih jelas lalu mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Mardiana dan Rachel."Apa yang terjadi? Di mana Aileen?" tanyanya karena tak menemukan tubuh Aileen di sisinya.Rachel mengangkat telunjuknya. "Ka—kamu Aileen," ucapnya terbata.Aira mengerutkan keningnya. "Aku? Aileen?""Aileen! Apa lagi yang kamu lakukan?" Suara Bagas terdengar bersama langkah cepatnya menyusuri lorong di sepanjang lantai dua."Tuhan, apa-apaan ini Aileen?" Hardiknya dengan mata terbelalak. Kekacauan yang disebabkan oleh sosok bermata merah membuat Bagas marah besar."Ba—bagas …" lirih Aira. "A—aku."Rachel menggeleng keras untuk mencegah Aira bergerak dari posisinya."Jangan, Aira. Kamu bisa membuat suami mu bingung," seru Mardiana mengingatkan.Namun, Aira tak lagi men
"Oh ya, apa aku melakukan sesuatu yang aneh saat tidak sadar?" Dia yakin, sebelum serangan terakhir dari sosok bermata merah. Sepersekian detik ia bisa merasakan tubuhnya terhempas jauh. Namun tak lama, ingatannya memudar meski telah sekuat tenaga memutar—mengulang memorinya.Bagas terdiam. Ia hanya menatap lekat mata Aileen, mencari sesuatu yang hilang disana. 'Aira …'"Tidak." Ucap Bagas. "Selain mengacak barang-barang kesayangan Papa, kamu tidak melakukan hal yang lebih aneh lagi"Kalimat bernada sindiran itu mampu membuat raut wajah Aileen seketika pias. "Kesayangan Papa?" Ulangnya panik."Hmm," gumam Bagas sambil menahan tawa geli di balik bibirnya."Hhh, Papa mu akan semakin membenci ku." Desah Aileen.Bagas hanya menatap wajah panik itu dengan tatapan sendu, ia kembali terperangkap dalam ingatannya."Aileen, coba sebut nama ku?" Pintanya.Ia ingin memastikan apa yang terjadi sebelumnya tidak lah nyata, hanya sekedar halusinasi semu."Hmm, kenapa?" Aileen mengerjabkan matanya
"Ini tempatnya?"Aileen menengadahkan kepalanya, menatap neon box berwarna cerah, semerah darah. Bersinar terang di antara deret pamplet toko lainnya.Aileen, Aira dan Rachel menunggu di luar gedung sementara Mardiana masuk terlebih dahulu untuk menyapa pemilik gedung."Magic Art, tarot cafe?" Gumam Aileen saat membaca nama yang tertulis di neon box."Cafe? Kalian yakin ini tempatnya?"Rachel mengangguk cepat untuk menanggapi keraguan di wajah Aileen."Kalian yakin dia bukan penipu?"Rachel berdecak sebal. "Jangan menghina pangeran Vincent.""Hah?" Aileen membelalakkan matanya. "Pangeran Vincent?" Kekehnya mengejek."Itu nama panggilan, kami menggunakannya untuk menyanjung Vincent di kalangan para fansbase." Jelas Rachel dengan sorot mata penuh kebanggaan.Aira menyodok pinggang Aileen untuk bertanya. "Hantu punya fansbase?""Jangan tanyakan pada ku. Aku belum pernah menjadi hantu," balas Aileen sambil terkekeh geli.Aira mendengus kesal. "Tidak lucu.""Ayo, masuk. Vincent menunggu ki