"Pagi." Sapa Aileen yang berjalan turun dari lantai dua kediaman mewah Pradipta."Pagi, Aileen. Apa kamu merasa lebih baik?" Sambut Cintya.Aileen mengangguk dan mendekati meja makan. "Maaf sudah merepotkan.""Ah, tidak perlu sungkan seperti itu." Cintya melambaikan tangannya."Dokter Daren?" tanya Aileen karena tidak menemukan sosok sang dokter tampan."Oh, pagi-pagi sekali dia mendapat panggilan dan harus kembali ke rumah sakit," jelas Cintya.'Ah, sayang sekali,' batin Aileen."Ayo duduk, kita sarapan bareng."Aileen mengikuti arahan Cintya dan memilih posisi sejauh mungki dari Bagas yang tampak tak terusik akan kehadirannya."Pagi, Gio."Gio mengangguk kecil. "Pagi, Aileen." Balasnya."Kamu mau sarapan bubur atau sereal?" tanya Cintya."Roti aja, Tante." Balas Aileen cepat. Dia menarik setangkup roti dari dalam kotak dan mengolesinya dengan selai cokelat."Tidak, itu tak akan cukup untuk mengisi energi mu. Mama akan membuatkan mu bubur ayam." Seru Cintya dan segera berlari ke dapu
"Kak Ai!" Teriak Denis dari dalam rumah.Begitu mendengar suara dari arah luar, ia segera membuka pintu untuk mencari asal suara."Kakak kemana aja sih?" Burunya sambil memeluk Aileen erat."Eh, aku—""Nah, apa Ibu bilang. Dia pasti pulang setelah puas jalan-jalan." Nani ikut keluar untuk menyambut kedatangan Aileen."Apa yang kalian lakukan disini?" Aileen menarik lepas pelukan Denis dan mundur untuk mendapatkan ruang. "Kenapa bisa masuk?" Tunjuknya ke arah pintu rumah."Pas kami datang, pintunya tidak terkunci." sahut Denis.Aileen menepuk jidatnya. "Sepertinya aku lupa mengunci pintu karena terburu-buru." Desahnya."Lalu, apa yang kalian lakukan disini?""Tentu saja kami khawatir karena kak Ai tiba-tiba menghilang tanpa kabar.""Kakak baik-baik saja?" Denis memutar tubuh Aileen, meneliti setiap sudut kulitnya untuk memastikan tak ada bekas luka."Alergi kak Ai kumat?" tanyanya penasaran karena mendapati beberapa ruam kemerahan di leher Aileen."Ya. Nggak sengaja makan udang," ujar
"Ai."Daren tersenyum lebar begitu melihat Aileen yang menunggunya di luar rumah."Apa sulit menemukan alamatnya?" "Tidak juga." Sahut Daren sambil menggoyangkan kepalanya. Senyum tak pernah lepas di wajah tampannya."Ini rumahmu?" "Tepatnya mantan rumah, di lantai atas." Aileen menunjuk lantai dua rumah. Bulan lalu Kakek dan Nenek di boyong anaknya ke kota, di usia yang semakin senja mereka berencana untuk menjual rumah ini dan berkumpul bersama anak-cucu.Sementara waktu menunggu pembeli, Aileen dipersilahkan untuk menggunakannya sebaik mungkin."Menurutku lebih baik kamu pulang dan istirahat. Kamu pasti lelah setelah menyelesaikan shift pagi.""Sedikit lelah tapi, daripada istirahat aku lebih tertarik untuk membantu mu." Daren mendekat untuk meneliti ruam kemerahan di leher Aileen. 'Kyaaa …' teriak Aira yang berdiri disamping Aileen. 'Ai, dia menyukaimu.''Diam lah!' Aileen mengirimkan tatapan tajam, meminta Aira untuk menghentikan segala argumen ilusinya."Masih gatal?""Ah, s
"Tidak."Aileen keluar dari balik kamar ganti dengan dress biru selutut dengan potongan berdada rendah.Daren dan Aira kompak menyilangkan tangannya. Membuat Aileen harus pasrah dan berbalik kembali memasuki kamar ganti."Tidak." Seru Daren dan Aira bersamaan begitu melihat Aileen keluar dengan dress turtleneck berwarna putih yang menjuntai, menyapu lantai."Tidak." Keduanya kembali menyilangkan saat Aileen berjalan keluar dengan semangat, penampilannya serba hitam ala rocker kawakan."Ini yang terakhir." Seru Aileen pasrah. Ia keluar dengan jeans dan kemeja berwarna biru laut."Perfect." Ucap Daren dengan mengangkat lingkaran jari membentuk tanda oke. Ia bangkit dari duduknya. "Tunggu disini aja.""Mau kemana?""Toilet.""Hmm. Oke." Aileen membanting tubuh ke sofa. "Huff … capek." Keluhnya. Aileen lelah dan menyerah untuk mengikuti arahan para fashion stylist yang terus mengatakan kata 'TIDAK' untuk menanggapi setiap pakaian pilihannya."Ternyata penampilan casual yang paling coco
"Apa yang kamu lakukan disini?" Hardik Bagas.Aileen tersentak kaget karena Bagas tiba-tiba datang dan berteriak padanya. "Makan," sahutnya polos.Daren bangkit dari kursinya, mendekati sepupunya. "Hei, Bagas. Tenanglah, kenapa kamu datang dan marah-marah?" Mencegah Bagas mengamuk dan menjadikan mereka bahan tontonan di tengah keramaian."Kamu tahu kan? Dia calon istriku." Desis Bagas geram. "Ok, aku tahu. Aku hanya menemaninya belanja dan makan siang.""Apa aku perlu mengingatkan mu, Daren?" Ujar Bagas setengah berbisik sehingga hanya Daren yang bisa mendengarnya. "Kamu bilang tidak menyukainya." tandasnya sengit.Daren terdiam. Kalimat Bagas menohok nya, seolah membawa kembali kesadarannya yang sempat terlena oleh suasana.Bagas melewati Daren dan beralih pada wanita yang duduk dengan wajah bingung. "Pulang." Tegasnya. Memaksa wanita itu untuk bangun dan ikut bersamanya. Bagas menyeret Aileen pergi tanpa sempat mengatakan sepatah kata pada Daren."Hei, sakit." Ringis Aileen. "Hen
"Non Aira." "Paman Carl memanggilku?" Aira menghampiri pria tua yang telah lama menghuni kediaman Pradipta sejak awal ia menginjakkan kaki di rumah ini pasca kecelakaan."Apa wanita yang baru datang itu temanmu?" "Maksud Paman, Aileen?"Carl mengangguk kecil."Iya. Dia teman ku. Kami bertemu di rumah sakit.""Apa dia bisa melihat kita?"Aira terdiam sejenak. "Mengapa Paman bertanya seperti itu?""Aku pernah melihatmu bicara padanya. Kemarin aku coba untuk menyapa, tapi dia melewati ku begitu saja." Terang Carl."Ah, itu …" Aira menekan tekuknya, bingung. "Dia memang kurang ramah pada orang asing tapi pada dasarnya Aileen anak yang baik.""Jadi benar, dia bisa melihat kita?" "Ya." Angguk Aira. "Dia punya mata yang spesial."Carl mengangguk paham. "Tapi Aira, kuharap kamu sedikit berhati-hati saat disampingnya.""Kenapa?" Aira mengerjabkan matanya."Interaksi antara kalian memicu mahkluk lain. Belakangan ini aku sering melihat hantu lain berkeliaran di sekitar rumah, kurasa mereka t
"Hei." Teriak Aileen. "Aira!"Aileen mengaruk kepalanya, bingung dengan sikap Aira dua hari terakhir ini. Wanita itu seperti menghindar bahkan dengan sengaja, pura-pura tidak melihat saat berpapasan dengannya."Apa yang kamu lihat?" Aileen berbalik dan mendapati Bagas berdiri di depan pintu, menatapnya heran."Oh, itu … lupakan saja." Ujarnya acuh sambil mengibaskan tangan."Hari ini aku harus ke rumah sakit." Pungkas Aileen. "Bolehkah?""Kamu mau bertemu Daren?" Selidik Bagas.Aileen mengangguk santai. "Kamu tidak lupa 'kan? Dia dokter yang menangani penyakit ku.""Dia meminta ku datang untuk konsultasi terapi obat.""Kenapa tidak ganti dokter saja? Kamu bisa pindah ke rumah sakit yang lebih besar." Ujar Bagas. Ia membuang pandangannya, menghindar untuk bertatap muka."Jangan konyol." Sergah Aileen. "Aku tidak punya alasan untuk melakukan itu."Bagas mendesah pelan. "Jam berapa?""Sekitar jam sepuluh.""Kamu akan di antar supir. Kalau ada waktu, aku akan menyusul." Ucap Bagas."Tida
"Ada apa?" Bagas mengambil tempat, duduk tepat di depan Daren."Papa ku pulang malam ini dan Mama mengundangmu makan malam bersama di rumah.""Papa pulang?" Seru Daren kaget. "Ya." "Lalu, apa Papa sudah tahu tentang Aileen?"Bagas menyilangkan kakinya dengan raut wajah gusar. "Mungkin secara garis besar Mama sudah menceritakan tentang Aileen.""Apa menurut mu responnya positif?"Bagas menggeleng. "Aku belum tahu.""Well, aku rasa malam ini kamu akan menghadapi masalah besar. Papa akan mencerca mu dengan banyak pertanyaan.""Yah, aku juga yaki itu akan terjadi. Hanya saja …" Bagas kembali menghela napas, kali ini lebih dalam."Kenapa? Aileen?" Tebak Daren."Ya. Aku tidak yakin dia bisa bertahan di bawah intimidasi Pak tua.""Hei, berhenti memanggil Papa dengan sebutan Pak tua." Sergah Daren."Ya, ya. Aku lupa sedang bicara dengan anak kesayangannya." Ledek Bagas."Kamu tidak tahu saja, betapa besar ketakutan Papa dan Mama saat melihat mu terbaring di rumah sakit.""Itulah yang dimak
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny