"Zahra, meskipun aku melakukan banyak kesalahan sama kamu sebelumnya, tapi kita ini berteman kan?" Roy berkata lirih seolah ingin menebus kesalahannya. "Berteman? Setelah apa yang kamu lakukan padaku selama ini, lalu kamu masih berani mengucap kalimat pertemanan, menjijikkan!" umpat Zahra yang merasakan begitu kesal. "Zahra, aku serius, aku ingin berteman lagi dengan mu, aku harap kalau kamu baik-baik saja, dan kamu bisa menerimaku lebih dari sekedar teman," sahut Roy, pria itu nampak menatap dengan sayu. "Apa maksud mu?" celetuk wanita itu bangkit dari tempat tidurnya. "Aku ingin kita lebih dari sekedar berteman, aku ingin bertanggung jawab atas perbuatanku padamu, kamu mau, kan!" tandas pria itu penuh penekanan. Zahra membalas tatapan Roy yang seolah meragukan itu, setelah apa yang telah terjadi padanya selama ini, membuat kepercayaan Zahra pada laki-laki itu menjadi hilang, tentu saja ia menolak keras karena ia masih berharap jika yang akan menemaninya nanti adalah Dika. Wani
Zahra terkulai lemas di atas ranjang kamar miliknya yang berukuran cukup besar, ia masih tidak menyangka jika ternyata ia harus menerima imbas dari perbuatan jahat antara Roy dan juga Cahyo terhadap dirinya, ia benar-benar tidak menyangka jika ia harus mengidap penyakit tersebut. Saking lamanya ia menangis Zahra sampai tertidur dengan posisi rambut dan wajah yang berantakan. Sementara Dika sendiri sedang mempercepat perjalanan karna ia mencemaskan keadaan Zahra, namun betapa terkejutnya pria itu saat mendengar kabar jika Zahra ternyata tidak dirawat di rumah sakit itu. "Jadi pasien bernama Zahra tidak dirawat di sini Sus?" tanya Dika dengan tatapan sempurna. "Benar Pak, pasien bernama Zahra menolak saat ingin kami rawat, padahal kondisinya cukup parah," ucap seorang suster yang diajak berkomunikasi dengan Dika. "M-memang nya apa penyakit Zahra, Sus?" tanya Dika dengan cepat. "Maaf Pak, Bapak ini siapanya bu Zahra ya? Bu Zahra berpesan pada saya sebelumnya untuk merahasiakan penya
"Apa, jadi Zahra terkena penyakit HIV?!"Dengan tatapan tak percaya, Tasya menelan saliva di hadapan Dika dengan kasar. Dan hal itupun dibenarkan oleh Dika dengan anggukkan kepala."Iya sayang, aku juga tidak percaya sebelumnya, tapi ini adalah sebuah kenyataan yang memang harus kita percayai, Zahra sedang sakit, dia tidak mau dirawat," lirih Dika membenarkan. "Kenapa Mas, kenapa nggak mau di rawat? Kan dia sudah tahu kalau keadaan nya lagi nggak baik-baik aja, kenapa justru memilih untuk diam di rumah," protes Tasya geram. "Dia bilang kalau penyakit nya adalah aib, jadi dia tidak mau sampai ada yang tahu kecuali orang-orang terdekat saja," sahut Dika. "Tapi Mas, kenapa bisa Zahra mengalami penyakit seperti ini, apa dia tertular?" Tasya menatap penuh selidik, karena penasaran dengan penyakit langka yang ia derita. Dika pun akhirnya menceritakan semua yang telah diberi tahu oleh Zahra padanya, sampai akhirnya Tasya benar-benar bungkam tak percaya ketika suaminya menyebut nama Roy,
"Bagaimana hasilnya Dok?" tanya Dika dengan raut wajah penasaran. "Maaf, dengan terpaksa saya harus mengatakan hal ini, penyakit yang di derita bu Zahra sudah berada di stadium empat," lirih wanita itu mulai menerangkan. "Dan karena penyakit HIV ini sangat langka dan sulit untuk disembuhkan, saya hanya memberikan saran agar bu Zahra meminum obat-obatan yang saya tulis dalam buku resep ini." jelasnya lagi sambil mengulurkan sebuah kertas putih yang tak mampu di terima oleh Zahra. Wanita itu benar-benar syok, bulir bening langsung membanjiri kedua pipinya yang putih dan mulus, tak menyangka jika penyakit itu benar-benar tumbuh dan bersarang dalam tubuhnya, bahkan kini menjadi penentu kelangsungan hidupnya. "Jadi saya akan mati, Dok?" sebuah pertanyaan mendarat getir di bibir ranumnya. "Saya hanya dokter Bu, saya bukan Tuhan, penentu hidup mati seseorang itu ada di tangan-Nya, sebaiknya Ibu pasrahkan diri dan berdoa pada-Nya," lirih dokter tersebut yang menatap kasihan. "Terima kas
"Nggak ada kok, gimana tadi? Obrolan kita udah sampek mana?" tanya Dika mengalihkan perhatian Tasya. "Dari liburan ke puncak, gimana? mau nggak," sahut Tasya sedikit memaksa. "Ya udah iya deh, mau aja. Tapi aku atur dulu jadwal kantor ya sayang, biar nggak ada yang ganggu pas kita liburan." jawab Dika mengulas senyum. Tasya pun bertepuk tangan kecil saat Dika memberikannya sebuah jawaban yang cukup memuaskan, lalu ia fokus kembali pada pandangan lain. Ajakan Tasya bukan lah tanpa alasan, ia melakukan itu karena tidak mau Zahra selalu mengandalkan suaminya, yang sudah memiliki kewajiban lain, dan ia tak ingin kalah hanya karena penyakit yang diderita oleh wanita itu. ***Beberapa hari kemudian, Dika baru saja kembali dari kantor dan disambut oleh Tasya yang memberikan senyuman mautnya, ia ingin menagih janji atas persetujuan dari suaminya dua hari yang lalu. "Sayang, kamu kok ngagetin gitu si, datang-datang udah ngasih senyuman maut," ucap Dika sambil melepaskan sepatu kerjanya.
1 Bulan kemudianSuara alat terdengar memenuhi ruangan, sementara seorang wanita masih dalam keadaan tidak sadarkan diri di sana dengan alat yang terpasang di hidung dan punggung tangannya."Dok, apakah kita perlu menghubungi keluarganya?" tanya seorang suster yang menatap melas wajah Zahra. "Beliau ini seperti nya tidak memiliki keluarga, sejak awal sakit dia selalu berobat sendirian, saya jadi kasihan kalau begini keadaannya," lirih dokter itu ikut menatap melas. "Kasihan sekali, harusnya di detik-detik hidupnya, ia di temani oleh orang-orang terdekat, tetapi karena tidak memiliki siapa-siapa jadi terkesan sangat kasihan sekali, ia harus melewati masa-masa kritis sendirian." seru wanita berseragam itu. Beberapa detik setelah mereka terdiam, tiba-tiba Zahra menggerakkan salah satu jemarinya, lalu disusul dengan kedua mata yang akhirnya terbuka. Dua suster dan dokter yang masih menemani Zahra pun mengulas senyum melihat wanita itu akhirnya tersadar setelah beberapa hari tidak sadar
Dika duduk berjongkok menatap melas ke arah Zahra, ia memegang tangan wanita itu cukup erat, namun dibalas dengan tetes air mata dari Zahra yang terharu ketika itu. "Zahra, kita berobat ya, tidak masalah jika harus sampai ke luar negeri, asal penyakit kamu ini bisa disembuhkan dan kamu bisa sehat kembali," bujuk Dika yang berusaha mengajak Zahra melakukan proses pengobatan dengan cara lain. Wanita itu menggeleng pelan, "Nggak Mas, aku nggak ingin pergi ke mana-mana, aku tahu kalau penyakit ku sudah sampai di stadium empat, dan kemungkian untuk sembuh itu tidak akan ada, aku tidak meminta apa-apa Mas, aku hanya ingin ditemani kamu di sisa-sisa waktuku," lirih wanita itu begitu pasrah dengan bulir bening membasahi pipinya. "Zahra, tolong jangan bicara seperti itu, aku tidak ingin mendengarnya, aku yakin kalau penyakit kamu akan sembuh dan kamu akan bisa kembali sehat lagi, yang penting sekarang kamu optimistis dan berbaik sangka." sahut Dika yang berusaha agar Zahra tidak berpikir yan
Seorang wanita datang bertamu ke rumah bu Nirma, menggendong seorang bayi dengan menarik koper pada salah satu tangan yang lain, tetes air mata membanjiri pipi, wanita itu adalah Tasya. Ya, sejak kepergian Dika yang memilih pergi dalam rangka menemani Zahra, saat itu juga Tasya tak berpikir panjang untuk mengemasi barang-barangnya dan juga Sauqi lalu meninggalkan rumah. Bu Nirma terkejut bukan main ketika melihat buah hatinya datang dalam keadaan yang sangat memperihatinkan, wanita itu dengan cepat menyambar koper lalu membawa nya masuk. "Duduk lah dulu, biar Ibu ambilkan kamu air minum."Bu Nirma meminta Tasya agar segera duduk bersama dengan Sauqi, lalu ia kembali lagi dengan membawa segera air mineral dan memberikannya pada Tasya. Wanita itupun menerima dan langsung meneguknya, tak dipungkiri jika ia saat itu sedang kehausan.Saat itu bu Nirma mengambil alih posisi menggendong Sauqi, ia lalu menidurkan cucunya dan meletakkannya di kamar tamu, tak lama setelah itu bu Nirma kembali