Pagi itu mama Riri sudah berada di salah satu rumah sakit yang ia ketahui bahwa di situlah tempat Zahra di rawat, lalu ia pun mencari tahu di mana ruangan Zahra dengan menanyakan pada salah satu petugas rumah sakit. Dan akhirnya wanita itupun sampai di depan ruangan yang ia cari. "Ini Bu, ruangan pasien yang bernama Zahra Naila," ucap wanita berseragam suster itu. "Terima kasih banyak ya Sus, ya udah kalau begitu saya masuk dulu." pamit mama Riri mengulas senyum. Suster itupun mengangguk pelan lalu melenggang pergi, sementara mama Riri sendiri saat ini sudah memegang engsel pintu, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu tersebut dengan lebar, sehingga membuat Zahra yang baru saja hendak istirahat terkejut dengan kedatangan tamu yang tak terduga itu. Mama Riri berjalan semakin dekat dan akhirnya tiba di samping Zahra. Raut wajah wanita itu nampak bingung harus bersikap seperti apa, sudah sangat lama sekali ia tidak berjumpa dengan mama Riri, wanita yang dulu pernah memberikan l
"Maaf Zahra, kamu salah, aku melakukan ini karena aku kasihan sama kamu, aku melakukan ini karena aku tidak tega melihat kamu menghadapi semua ujian ini sendiri, Roy dan Cahyo sudah masuk dalam penjara, aku menemani mu selama kamu sakit bukan karena aku masih memiliki perasaan sama kamu," lirih Dika akhirnya mengungkapkan, pria itu tidak bisa lama-lama terjebak dari pengharapan orang lain atas kebaikan yang ia berikan. "Apa, jadi kamu hadir kembali dalam hidup aku hanya semata-mata karena kamu kasihan sama aku?" Zahra menatap marah dengan suara parau. "Aku harus jujur Zahra, agar kamu tidak berharap terlalu banyak padaku, aku mohon sama kamu, tolong berhenti berharap apa-apa sama aku, kamu tahu kan kalau aku sudah menikah dan aku sudah memiliki anak, aku tidak mungkin menduakan mereka. Dan jika kehadiran ku membuatmu salah paham, maka aku akan pergi." pamit Dika yang langsung melangkah menuju ambang pintu. Melihat sikap Dika yang langsung memilih pergi tentu saja meninggalkan rasa
"Dika, kamu mau ke mana?" tanya mama Riri menahan pergelangan Dika. "Aku mau pergi mencari Tasya Ma, aku mau menjemput dan membawanya pulang," ucap Dika dengan tatapan sungguh-sungguh. "Apa kamu sudah meninggalkan Zahra?" tanya mama Riri memastikan. "Iya, aku baru sadar kalau ternyata apa yang ditakutkan Tasya selama ini adalah benar. Zahra memang berharap banyak sama aku dan meminta ku agar bersedia menerima kehadiran nya lagi, tapi aku menolak, aku nggak bisa memilih Zahra dengan konsekuensi kehilangan Tasya dan anakku, ya udah ya Ma, aku pergi dulu." tukas Dika yang tak bisa berlama-lama ada di sana.Mama Riri hanya mampu mendoakan yang terbaik untuk putranya, ia juga mendukung penuh keputusan yang saat ini sudah di pilih oleh Dika. Ting... [Dika, jika kamu mau mencari Tasya, carilah di rumah ibu, istri dan anakmu ada di sini.]Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh bu Nirma, membuka tabir pencaharian Dika yang sudah mengelilingi jalanan sejak tadi, wajahnya mengulas senyum sa
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya