Beberapa minggu kemudian, Zahra terlihat pucat sekali, pekerjaan yang harusnya ia selesaikan sebelum makan siang, justru urung karena tubuhnya tiba-tiba merasa tidak enak. "Ya ampun, kayaknya aku demam, tenggorokan juga sakit banget lagi!" keluh wanita itu merasa benar-benar tidak nyaman. Karena di ruangan itu ia hanya seorang diri, akhirnya Zahra memutuskan untuk menghubungi seseorang supaya mengirimkan ia teh hangat, ia berpikir jika meminum teh akan membantu mengurangi rasa di tenggorokannya. Tak lama kemudian apa yang ia inginkan pun di kirim oleh OB yang tiba-tiba datang mengetuk pintu. "Ini bu teh hangatnya," ucap pria itu dengan ramah. "Terima kasih banyak." jawab Zahra mengulas senyum. Tak lama kemudian ia pun ditinggalkan kembali seorang diri, satu gelas teh sudah hampir habis, namun keadaan tubuhnya masih tetap tidak enak. Bahkan ia justru menggigil hingga memutuskan untuk memastikan AC di ruangan tersebut. "Ya ampun, aku kenapa ya, kok nggak enak banget rasanya. Mana p
"Zahra, meskipun aku melakukan banyak kesalahan sama kamu sebelumnya, tapi kita ini berteman kan?" Roy berkata lirih seolah ingin menebus kesalahannya. "Berteman? Setelah apa yang kamu lakukan padaku selama ini, lalu kamu masih berani mengucap kalimat pertemanan, menjijikkan!" umpat Zahra yang merasakan begitu kesal. "Zahra, aku serius, aku ingin berteman lagi dengan mu, aku harap kalau kamu baik-baik saja, dan kamu bisa menerimaku lebih dari sekedar teman," sahut Roy, pria itu nampak menatap dengan sayu. "Apa maksud mu?" celetuk wanita itu bangkit dari tempat tidurnya. "Aku ingin kita lebih dari sekedar berteman, aku ingin bertanggung jawab atas perbuatanku padamu, kamu mau, kan!" tandas pria itu penuh penekanan. Zahra membalas tatapan Roy yang seolah meragukan itu, setelah apa yang telah terjadi padanya selama ini, membuat kepercayaan Zahra pada laki-laki itu menjadi hilang, tentu saja ia menolak keras karena ia masih berharap jika yang akan menemaninya nanti adalah Dika. Wani
Zahra terkulai lemas di atas ranjang kamar miliknya yang berukuran cukup besar, ia masih tidak menyangka jika ternyata ia harus menerima imbas dari perbuatan jahat antara Roy dan juga Cahyo terhadap dirinya, ia benar-benar tidak menyangka jika ia harus mengidap penyakit tersebut. Saking lamanya ia menangis Zahra sampai tertidur dengan posisi rambut dan wajah yang berantakan. Sementara Dika sendiri sedang mempercepat perjalanan karna ia mencemaskan keadaan Zahra, namun betapa terkejutnya pria itu saat mendengar kabar jika Zahra ternyata tidak dirawat di rumah sakit itu. "Jadi pasien bernama Zahra tidak dirawat di sini Sus?" tanya Dika dengan tatapan sempurna. "Benar Pak, pasien bernama Zahra menolak saat ingin kami rawat, padahal kondisinya cukup parah," ucap seorang suster yang diajak berkomunikasi dengan Dika. "M-memang nya apa penyakit Zahra, Sus?" tanya Dika dengan cepat. "Maaf Pak, Bapak ini siapanya bu Zahra ya? Bu Zahra berpesan pada saya sebelumnya untuk merahasiakan penya
"Apa, jadi Zahra terkena penyakit HIV?!"Dengan tatapan tak percaya, Tasya menelan saliva di hadapan Dika dengan kasar. Dan hal itupun dibenarkan oleh Dika dengan anggukkan kepala."Iya sayang, aku juga tidak percaya sebelumnya, tapi ini adalah sebuah kenyataan yang memang harus kita percayai, Zahra sedang sakit, dia tidak mau dirawat," lirih Dika membenarkan. "Kenapa Mas, kenapa nggak mau di rawat? Kan dia sudah tahu kalau keadaan nya lagi nggak baik-baik aja, kenapa justru memilih untuk diam di rumah," protes Tasya geram. "Dia bilang kalau penyakit nya adalah aib, jadi dia tidak mau sampai ada yang tahu kecuali orang-orang terdekat saja," sahut Dika. "Tapi Mas, kenapa bisa Zahra mengalami penyakit seperti ini, apa dia tertular?" Tasya menatap penuh selidik, karena penasaran dengan penyakit langka yang ia derita. Dika pun akhirnya menceritakan semua yang telah diberi tahu oleh Zahra padanya, sampai akhirnya Tasya benar-benar bungkam tak percaya ketika suaminya menyebut nama Roy,
"Bagaimana hasilnya Dok?" tanya Dika dengan raut wajah penasaran. "Maaf, dengan terpaksa saya harus mengatakan hal ini, penyakit yang di derita bu Zahra sudah berada di stadium empat," lirih wanita itu mulai menerangkan. "Dan karena penyakit HIV ini sangat langka dan sulit untuk disembuhkan, saya hanya memberikan saran agar bu Zahra meminum obat-obatan yang saya tulis dalam buku resep ini." jelasnya lagi sambil mengulurkan sebuah kertas putih yang tak mampu di terima oleh Zahra. Wanita itu benar-benar syok, bulir bening langsung membanjiri kedua pipinya yang putih dan mulus, tak menyangka jika penyakit itu benar-benar tumbuh dan bersarang dalam tubuhnya, bahkan kini menjadi penentu kelangsungan hidupnya. "Jadi saya akan mati, Dok?" sebuah pertanyaan mendarat getir di bibir ranumnya. "Saya hanya dokter Bu, saya bukan Tuhan, penentu hidup mati seseorang itu ada di tangan-Nya, sebaiknya Ibu pasrahkan diri dan berdoa pada-Nya," lirih dokter tersebut yang menatap kasihan. "Terima kas
"Nggak ada kok, gimana tadi? Obrolan kita udah sampek mana?" tanya Dika mengalihkan perhatian Tasya. "Dari liburan ke puncak, gimana? mau nggak," sahut Tasya sedikit memaksa. "Ya udah iya deh, mau aja. Tapi aku atur dulu jadwal kantor ya sayang, biar nggak ada yang ganggu pas kita liburan." jawab Dika mengulas senyum. Tasya pun bertepuk tangan kecil saat Dika memberikannya sebuah jawaban yang cukup memuaskan, lalu ia fokus kembali pada pandangan lain. Ajakan Tasya bukan lah tanpa alasan, ia melakukan itu karena tidak mau Zahra selalu mengandalkan suaminya, yang sudah memiliki kewajiban lain, dan ia tak ingin kalah hanya karena penyakit yang diderita oleh wanita itu. ***Beberapa hari kemudian, Dika baru saja kembali dari kantor dan disambut oleh Tasya yang memberikan senyuman mautnya, ia ingin menagih janji atas persetujuan dari suaminya dua hari yang lalu. "Sayang, kamu kok ngagetin gitu si, datang-datang udah ngasih senyuman maut," ucap Dika sambil melepaskan sepatu kerjanya.
1 Bulan kemudianSuara alat terdengar memenuhi ruangan, sementara seorang wanita masih dalam keadaan tidak sadarkan diri di sana dengan alat yang terpasang di hidung dan punggung tangannya."Dok, apakah kita perlu menghubungi keluarganya?" tanya seorang suster yang menatap melas wajah Zahra. "Beliau ini seperti nya tidak memiliki keluarga, sejak awal sakit dia selalu berobat sendirian, saya jadi kasihan kalau begini keadaannya," lirih dokter itu ikut menatap melas. "Kasihan sekali, harusnya di detik-detik hidupnya, ia di temani oleh orang-orang terdekat, tetapi karena tidak memiliki siapa-siapa jadi terkesan sangat kasihan sekali, ia harus melewati masa-masa kritis sendirian." seru wanita berseragam itu. Beberapa detik setelah mereka terdiam, tiba-tiba Zahra menggerakkan salah satu jemarinya, lalu disusul dengan kedua mata yang akhirnya terbuka. Dua suster dan dokter yang masih menemani Zahra pun mengulas senyum melihat wanita itu akhirnya tersadar setelah beberapa hari tidak sadar
Dika duduk berjongkok menatap melas ke arah Zahra, ia memegang tangan wanita itu cukup erat, namun dibalas dengan tetes air mata dari Zahra yang terharu ketika itu. "Zahra, kita berobat ya, tidak masalah jika harus sampai ke luar negeri, asal penyakit kamu ini bisa disembuhkan dan kamu bisa sehat kembali," bujuk Dika yang berusaha mengajak Zahra melakukan proses pengobatan dengan cara lain. Wanita itu menggeleng pelan, "Nggak Mas, aku nggak ingin pergi ke mana-mana, aku tahu kalau penyakit ku sudah sampai di stadium empat, dan kemungkian untuk sembuh itu tidak akan ada, aku tidak meminta apa-apa Mas, aku hanya ingin ditemani kamu di sisa-sisa waktuku," lirih wanita itu begitu pasrah dengan bulir bening membasahi pipinya. "Zahra, tolong jangan bicara seperti itu, aku tidak ingin mendengarnya, aku yakin kalau penyakit kamu akan sembuh dan kamu akan bisa kembali sehat lagi, yang penting sekarang kamu optimistis dan berbaik sangka." sahut Dika yang berusaha agar Zahra tidak berpikir yan
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah