Sore harinya saat menjelang kepulangan Dika, Zahra sengaja cepat-cepat mandi, memakai baju yang seksi dan berdandan cukup rapi. Wanita itu keluar dari kamarnya dengan aroma wangi yang menyebar ke seluruh ruangan, membuat bi Surti yang melihat itu cukup risih dan tidak nyaman. "Kenapa si wanita itu berpenampilan se-menggoda itu, bukannya dia hanya seorang tamu yang diizinkan menginap oleh bu Tasya?" celetuk wanita itu tidak suka. Namun orang yang sedang dibicarakan sama sekali tidak menyadari, Zahra berlenggak lenggok di sekitaran pintu utama, tatapannya tak bisa ia alihkan dari pintu gerbang yang ia harapkan kedatangan Dika. Benar ajaa, tak lama kemudian pintu gerbang itu pun bergeser secara otomatis saat Dika memencet nya dari dalam mobil, lalu kemudian ia memarkirkan mobilnya dan masuk melalui pintu samping, Dika terkejut saat Zahra tiba-tiba muncul menyambut nya. "Astaga Zahra, kenapa kamu ada di sini?" tanya Dika sambil memegangi dadanya yang terkejut. "Maaf ya Mas, aku bikin
Beberapa minggu kemudian Tasya mulai jengah menunggu keputusan Zahra yang tak kunjung pamit pulang, bukan kah wanita itu mengatakan jika dirinya hanya ingin tinggal beberapa hari saja? Tetapi mengapa justru sampai hampir dua minggu di sana ia tak kunjung pamit. Langkah kaki Tasya tiba di pintu ruangan Dika, ia ingin sekali mengungkapkan kekesalannya itu pada suaminya, menuntut keinginan agar suaminya itu mengusir Zahra dari itu. "Mas, kenapa si Zahra sampai sekarang nggak ada omongan apa-apa sama aku atau pun kamu, kenapa dia masih aja tetap di sini," ucap Tasya memprotes dengan tatapan kesal ke arah Dika. "Sayang, aku juga nggak tahu kok sampek selama ini Zahra belum ada ngabarin kalau dia mau kembali ke rumahnya, coba aja kamu tegur dia," seru Dika sama sekali tak keberatan. "Emang nggak papa kalau aku yang negur dia, Mas?" Tasya menatap penuh tanya. "Ya nggak papa lah sayang, itu hak kamu, kan dia tinggal di sini atas izin kamu, kalau kamu udah nggak nyaman sama dia, ya nggak
Beberapa minggu kemudian, Zahra terlihat pucat sekali, pekerjaan yang harusnya ia selesaikan sebelum makan siang, justru urung karena tubuhnya tiba-tiba merasa tidak enak. "Ya ampun, kayaknya aku demam, tenggorokan juga sakit banget lagi!" keluh wanita itu merasa benar-benar tidak nyaman. Karena di ruangan itu ia hanya seorang diri, akhirnya Zahra memutuskan untuk menghubungi seseorang supaya mengirimkan ia teh hangat, ia berpikir jika meminum teh akan membantu mengurangi rasa di tenggorokannya. Tak lama kemudian apa yang ia inginkan pun di kirim oleh OB yang tiba-tiba datang mengetuk pintu. "Ini bu teh hangatnya," ucap pria itu dengan ramah. "Terima kasih banyak." jawab Zahra mengulas senyum. Tak lama kemudian ia pun ditinggalkan kembali seorang diri, satu gelas teh sudah hampir habis, namun keadaan tubuhnya masih tetap tidak enak. Bahkan ia justru menggigil hingga memutuskan untuk memastikan AC di ruangan tersebut. "Ya ampun, aku kenapa ya, kok nggak enak banget rasanya. Mana p
"Zahra, meskipun aku melakukan banyak kesalahan sama kamu sebelumnya, tapi kita ini berteman kan?" Roy berkata lirih seolah ingin menebus kesalahannya. "Berteman? Setelah apa yang kamu lakukan padaku selama ini, lalu kamu masih berani mengucap kalimat pertemanan, menjijikkan!" umpat Zahra yang merasakan begitu kesal. "Zahra, aku serius, aku ingin berteman lagi dengan mu, aku harap kalau kamu baik-baik saja, dan kamu bisa menerimaku lebih dari sekedar teman," sahut Roy, pria itu nampak menatap dengan sayu. "Apa maksud mu?" celetuk wanita itu bangkit dari tempat tidurnya. "Aku ingin kita lebih dari sekedar berteman, aku ingin bertanggung jawab atas perbuatanku padamu, kamu mau, kan!" tandas pria itu penuh penekanan. Zahra membalas tatapan Roy yang seolah meragukan itu, setelah apa yang telah terjadi padanya selama ini, membuat kepercayaan Zahra pada laki-laki itu menjadi hilang, tentu saja ia menolak keras karena ia masih berharap jika yang akan menemaninya nanti adalah Dika. Wani
Zahra terkulai lemas di atas ranjang kamar miliknya yang berukuran cukup besar, ia masih tidak menyangka jika ternyata ia harus menerima imbas dari perbuatan jahat antara Roy dan juga Cahyo terhadap dirinya, ia benar-benar tidak menyangka jika ia harus mengidap penyakit tersebut. Saking lamanya ia menangis Zahra sampai tertidur dengan posisi rambut dan wajah yang berantakan. Sementara Dika sendiri sedang mempercepat perjalanan karna ia mencemaskan keadaan Zahra, namun betapa terkejutnya pria itu saat mendengar kabar jika Zahra ternyata tidak dirawat di rumah sakit itu. "Jadi pasien bernama Zahra tidak dirawat di sini Sus?" tanya Dika dengan tatapan sempurna. "Benar Pak, pasien bernama Zahra menolak saat ingin kami rawat, padahal kondisinya cukup parah," ucap seorang suster yang diajak berkomunikasi dengan Dika. "M-memang nya apa penyakit Zahra, Sus?" tanya Dika dengan cepat. "Maaf Pak, Bapak ini siapanya bu Zahra ya? Bu Zahra berpesan pada saya sebelumnya untuk merahasiakan penya
"Apa, jadi Zahra terkena penyakit HIV?!"Dengan tatapan tak percaya, Tasya menelan saliva di hadapan Dika dengan kasar. Dan hal itupun dibenarkan oleh Dika dengan anggukkan kepala."Iya sayang, aku juga tidak percaya sebelumnya, tapi ini adalah sebuah kenyataan yang memang harus kita percayai, Zahra sedang sakit, dia tidak mau dirawat," lirih Dika membenarkan. "Kenapa Mas, kenapa nggak mau di rawat? Kan dia sudah tahu kalau keadaan nya lagi nggak baik-baik aja, kenapa justru memilih untuk diam di rumah," protes Tasya geram. "Dia bilang kalau penyakit nya adalah aib, jadi dia tidak mau sampai ada yang tahu kecuali orang-orang terdekat saja," sahut Dika. "Tapi Mas, kenapa bisa Zahra mengalami penyakit seperti ini, apa dia tertular?" Tasya menatap penuh selidik, karena penasaran dengan penyakit langka yang ia derita. Dika pun akhirnya menceritakan semua yang telah diberi tahu oleh Zahra padanya, sampai akhirnya Tasya benar-benar bungkam tak percaya ketika suaminya menyebut nama Roy,
"Bagaimana hasilnya Dok?" tanya Dika dengan raut wajah penasaran. "Maaf, dengan terpaksa saya harus mengatakan hal ini, penyakit yang di derita bu Zahra sudah berada di stadium empat," lirih wanita itu mulai menerangkan. "Dan karena penyakit HIV ini sangat langka dan sulit untuk disembuhkan, saya hanya memberikan saran agar bu Zahra meminum obat-obatan yang saya tulis dalam buku resep ini." jelasnya lagi sambil mengulurkan sebuah kertas putih yang tak mampu di terima oleh Zahra. Wanita itu benar-benar syok, bulir bening langsung membanjiri kedua pipinya yang putih dan mulus, tak menyangka jika penyakit itu benar-benar tumbuh dan bersarang dalam tubuhnya, bahkan kini menjadi penentu kelangsungan hidupnya. "Jadi saya akan mati, Dok?" sebuah pertanyaan mendarat getir di bibir ranumnya. "Saya hanya dokter Bu, saya bukan Tuhan, penentu hidup mati seseorang itu ada di tangan-Nya, sebaiknya Ibu pasrahkan diri dan berdoa pada-Nya," lirih dokter tersebut yang menatap kasihan. "Terima kas
"Nggak ada kok, gimana tadi? Obrolan kita udah sampek mana?" tanya Dika mengalihkan perhatian Tasya. "Dari liburan ke puncak, gimana? mau nggak," sahut Tasya sedikit memaksa. "Ya udah iya deh, mau aja. Tapi aku atur dulu jadwal kantor ya sayang, biar nggak ada yang ganggu pas kita liburan." jawab Dika mengulas senyum. Tasya pun bertepuk tangan kecil saat Dika memberikannya sebuah jawaban yang cukup memuaskan, lalu ia fokus kembali pada pandangan lain. Ajakan Tasya bukan lah tanpa alasan, ia melakukan itu karena tidak mau Zahra selalu mengandalkan suaminya, yang sudah memiliki kewajiban lain, dan ia tak ingin kalah hanya karena penyakit yang diderita oleh wanita itu. ***Beberapa hari kemudian, Dika baru saja kembali dari kantor dan disambut oleh Tasya yang memberikan senyuman mautnya, ia ingin menagih janji atas persetujuan dari suaminya dua hari yang lalu. "Sayang, kamu kok ngagetin gitu si, datang-datang udah ngasih senyuman maut," ucap Dika sambil melepaskan sepatu kerjanya.