Rania menyelinap masuk ke dalam kamar mandi setelah melihat Abrisam masuk ke dalam kamar mandi. Bersyukur pria itu tidak menutup pintunya rapat, hingga membuat Rania gampang untuk masuk. Wanita itu memilih duduk diatas kloset dengan tenang dan damai. Melihat Abrisam yang baru saja membasuh wajahnya dengan air. Pria iu sempat mengangkat wajahnya menatap ke arah cermin, pergerakannya juga sempat berhenti sejenak sebelum tangannya mencari sesuatu di samping kaca. Sikat gigi dan juga pasta gigi, begitu saja bahkan sudah membuat Rania senang.Benar kata orang, melihat pria tampan di pagi hari sangat bagus untuk mood dan juga otak. Dan Rania mengakuinya kali ini, dia mengakui jika dia sangat suka melihat wajah bantal Abrisam, wajah basah Abrisam dan juga wajah yang …“Bri … ada Leon.” Teriakan itu langsung membuat Rania menutup mulutnya, bisa bahaya jika Bagas melihat Rania ada di dalam kamar mandi bersama dengan Abrisam. Wanita itu memutuskan untuk bersembunyi di ujung dekat lemari handuk
Rania duduk di depan rumah, dia memetik bunga mawar yang ada di depan rumahnya. Memetik beberapa tangkai, dan memasukkan ke dalam vas bunga yang sudah di isi air. Rania pun membawa bunga mawar itu ke kamar, sebagai pengharum ruangan. Bunga mawar adalah kesukaan Rania, entah apapun warnanya tapi Rania sangat menyukai bunga mawar. Padahal untuk memetik bunga mawar ini saja Rania harus hati-hati, setiap tangkai bunga ini memiliki duri yang bisa menyakiti tangan Rania. "Selesai." ucap Rania antusias. Wanita itu menaruh gunting besar di samping bunga mawar itu, lalu menguncir rambutnya yang tergerai. Hari ini cuaca begitu panas, meskipun Rania sudah berada di ruangan yang berac, tetap saja keringat masih keluar dari keningnya. Wanita itu kembali menata bunga mawarnya agar terlihat sangat indah, hingga tiba-tiba saja Rania merasakan sebuah pelukan dari arah belakang. Rania terkejut, dia pun menepis tangan orang itu dan memutar tubuhnya cepat. "Mas Abri … " pekik Rania kaget. Abrisam han
Leon mengetuk tangannya di meja dengan gelisah, dia sendiri juga bingung dengan apa yang dia lakukan saat ini. Tidak mungkin jika dia datang terus menerus ke rumah Abrisam hanya karena ingin melihat istrinya. Yang ada Abrisam akan semakin curiga dengan kedatangan Leon setiap hari. Bangkit dari duduknya mengangik minuman kaleng, Leon pun mendesah. Nyatanya kulkas mini yang ada di dalam ruangannya tidak ada apapun alias kosong. Leon menutup pintu kulkas itu dengan membanting, menelpon seseorang untuk datang ke ruangannya saat ini juga. Hingga tak lama, orang yang dia telepon pun datang. Leon menunjuk kulkas mini miliknya dengan marah. "Kamu itu kerjanya ngapain aja!! Sampai ngebiarin kulkas saya kosong begitu hah!!" teriak Leon. "Maaf, Pak saya tidak tahu jika kulkas itu kosong." "Kamu mau saya pecat, hah!!" Orang itu memohon agar tidak dipecat dari kantor ini. Kalau dia keluar dari kantor ini, dia mau bekerja dimana? Sedangkan hanya ini satu-satunya penghasilan yang orang itu dapa
Abrisam diam, dia pun memiringkan kepalanya sedikit untuk mengenali suara, yang tak lain adalah suara Leon. Dia sudah bereaksi itu tandanya Abrisam harus diam dan menikmati pertunjukan Leon. "Aku pikir aku salah mobil." katanya tertawa kecil. "Ternyata benar, itu kamu Abrisam." lanjutnya penuh dengan percaya diri. Ah, tidak salah orang. Hanya saja Leon tahu jika itu adalah Abrisam, dia sengaja mengikutinya karena melihat Rania yang memilih banyak bumbu dapur. Awalnya Leon berpikir jika dia belanja sendiri, agar Leon bisa melaksanakan aksinya untuk merebut wanita itu. Tapi waktu ingin mendekat, Leon malah lihat Bagas yang mulai mendekati Rania dan juga meminta Rania untuk kembali berjalan di samping Abrisam. Dalam pikiran Leon hanya satu, apa Rania tidak malu keluar dengan Abrisam yang buta? Bahkan jika Leon ditakdirkan menjadi wanita dan harus menikah dengan Abrisam yang buta, lebih baik dia melajang seumur hidup. "Tentunya kamu tau Leon kalau ini mobil ku. Aku bahkan belum ganti m
Lagi!! David kembali mengirim pesan pada Rania untuk menemuinya di suatu tempat. Rania harus beralasan pada Abrisam dan juga Bagas, jika dia akan pergi sebentar membeli sesuatu. Dan disinilah Rania, duduk di pingsan jalan seperti orang bodoh hanya menunggu ayah tirinya datang. Setengah jam telah berlalu, Rania susah terlalu lelah menunggu David di sini. Antara duduk hingga jalan pun Rania lakukan, agar tidak bosan ketika menunggu seseorang.Bahkan ketika Rania ingin pergi, sebuah mobil berwarna merah hitam terparkir indah di samping Rania. Mobilnya cukup bagus dan Rania yakin jika harga mobil itu setara dengan harga rumah. Mencoba untuk tersenyum ketika David turun, Rania pun segera menghampiri ayah tirinya. "Ada apa Om?" tanya Rania pada intinya.David tersenyum, "kita bahas di situ saja." Rania menurut, dia pun mengikuti langkah kaki David hingga menemukan satu tempat duduk yang lumayan jauh dari jalan raya. Perasaan Rania tak menentu, dia merasa akan terjadi sesuatu padanya. Wa
Kembali ke rumah, Rania hanya membeli satu kotak donat dengan banyak rasa kecuali matcha. Dia tidak suka rasa matcha yang aromanya sangat menyengat. Rania menata satu persatu donat di atas piring putih dengan corak bunga. Wanita itu tersenyum, setelah ini dia akan menikmati donat bulat bersama dengan Abrisam. “Mbok Atun, lihat Mas Abri nggak?”Mbok Atun yang sedang membereskan vas bunga pun menoleh, “Nggak lihat Non, tadi ada di ruang tengah.Rania mengangguk, dia pun akhirnya berkeliling rumah ini untuk mencari keberadaan Abrisam. Dan nyatanya pria tu hanya berdiri di tengah-tengah taman belakang dekat dengan kamar mandi. Rintikan hujan mulai turun, dan Abrisam masih ada disana.“Mas Abri … udah mau ujan, ayo masuk.” teruak Rania. Abrisam menoleh sejenak dia pun tersenyum. “Kamu aja yang kesini.”“Nanti sakit loh Mas.”“Udah ada dokternya, nggak mungkin sakit.” Mau tidak mau Rania pun mendekat, berniat untuk menarik Abrisam agar tidak terkena air hujan. Yang ada pria itu malah men
Selena terus berdehem melihat Abrisam dan juga Rania duduk berdua. Tadi, dia sempat mengintip apa yang Abrisam lakukan di bawah derasnya hujan bersama dengan Rania. Entah apa yang mereka bahas, nyatanya Selena tak bisa mendengar dengan jelas suara mereka. Suaranya terlalu kecil, sehingga yang lebih dominan itu suara hujan, yang datangnya keroyokan. Dan sekarang rania harus melihat hidung Abriam yang memerah, wajahnya sangat pucat. karena selama ini Selena selalu melarang abrisam untuk hujan-hujan. bahkan Selena juga khawatir jika Abrisam kembali ingat masa lalunya sebelum buta. malam itu malam yang mengerikan untuk Selena. Mobil Abrisam yang terbalik di tengah derasnya hujan. Selena yang berpikir jika Abrisam sudah tewas pun nyaris pingsan. namun, salah satu suster yang menolong pun memberitahu jika detak jantung Abrisam masih ada dan lemah. Buru-buru Selena meminta para suster untuk membawa Abrisam pergi ke rumah sakit, dia takut jika Abrisam meninggalkannya. Hanya Abrisam saja yang
Setelah menenangkan Abrisam di dalam kamar, Rania pun memutuskan untuk pergi membeli obat. Kata Selena, dia harus membeli obat flu dan juga tes kehamilan. Disini Rania dibuat bingung, ada banyak merek di depannya, dari yang paling murah sampai paling mahal. Rania tidak tahu merk mana yang paling bagus dan akurat.“Mbak sebentar ya, saya telepon mami saya dulu. Ini saya nggak tau kudu beli yang mana, soalnya mami yang suruh beliin.” kata Rania beralasan. Mbak-mbak di depannya pun tersenyum malu. Rania menjaga jarak, lebih tepatnya dia berdiri di depan pintu sambil memunggungi mbak-mbak tadi. Rania meminta Selena untuk memilih tes kehamilan mana yang bagus dan akurat. Ini pertama kalinya, dan Rania sama sekali tidak tahu merek yang bagus apa. Hingga selena meminta Rania untuk membeli yang batang, dimana bentuknya lebih tebal dengan monitor di tengah. Selena juga meminta Rania untuk membeli lebih dari dua, setidaknya kalau beneran hamil, untuk menyakinkan dia bisa menggunakan tes keham
Guling ke sana guling kemari, akhirnya Rania pun merasa bosan. Dia bangun dari rebahannya dan memutuskan untuk keluar kamar. Ternyata diluar sana sedang hujan deras tambah ada nagin. Sedangkan rania yang kameranya di depan harusnya tau dong kalau tengah hujan? tapi sayangnya telinga wanita itu dengan cantiknya tertutup earpods, hingga suara air jatuh di samping kamarnya tidak tau, belum lagi gorden kamar nya juga tertutup begitu juga jendela kacanya. Sehingga angin dingin tak mampu dia rasakan. Adhitama yang melihat putrinya keluar kamar pun menatap Rania dengan heran. Dia meminta Rania untuk duduk di sampingnya, dimana Adhitama telah menyiapkan makanan untuk putri kesayangannya. Ya, setelah berbicara dengan Abrisam jika dia akan pergi gym, Rania tak sungguh-sungguh pergi nge gym. Dia hanya pergi ke rumah Adhitama dan numpang tidur. Terus, ketika Rania bilang jika dia berangkat dengan Leon itu juga berbohong, karena nyatanya Rania malah lebih memilih naik taksi online saja. Dan kali
"Nona Rana mau kemana?" tanya Bagas yang minat Rania turun dari tangga. Rania yang menenteng tas besar pun menghampiri Bagas sambil mengundurkan rambutnya. "Mau nge gym." Alis Bagas mengkerut, dia lihat Antosan yang hanya diam saja sambil menikmati kopi susu buatan mbok Atun. Semenjak hal itu, dimana Abrisam yang marah karena Rania lebih perhatian dengan Leon. Mengantarkan pria itu ke rumah sakit, sampai membantu Leon minum obat pula. Siapa juga yang tidak kesal dengan sikap itu. Baik sih boleh tapi ya dilihat dong baiknya sama siapa dulu, masa iya sama semua orang juga!! "Kok tumben banget, biasanya diajak jalan pagi sama Tuan Abri nggak mau." "Kenapa? Nggak boleh lagi!!" sentak Rania. Bagas menggeleng, bukan tidak boleh. Hanya saja kan masalahnya Rania itu malas olahraga. Mendadak pengen nge gym kan aneh, tau kan dunia gym itu kayak apa? Sudah dipastikan Rania juga tidak memiliki member untuk masuk. "Biarkan saja Gas. Kalau perlu kamu antara dia." kata Abrisam tenang. Rania s
Mata Leon mendelik sempurna ketika Rania beradaptasi di hadapannya, wanita itu juga meminta sopir taksi online untuk berhenti sejenak. Selain tidak ingin terjadi insiden yang tak dii ginian Rania, wanita itu juga tidak ingin menyiksa Leon dengan lama. Ya, Rania menjejalkan obat itu untuk masuk ke dalam mulut Leon dengan paksa. Jika tidak begini, Rania yakin Leon tidak akan sembuh tanpa minum obat. Rontaan Leon yang lebih kuat dari nya tak membuat Rania menyerah. Dia sama sulitnya seperti Abrisam. Jika minum vitamin dia akan cepat, tapi jika obat … sudah dipastikan Rania harus turun tangan agar obat itu bisa masuk ke dalam mulut Abrisam.Leon sempat kaget dengan sikap Rania yang bar-bar dan berani melakukan itu pada Leon. Padahal jika dilihat doa sangat kalem dan tidak banyak tingkah. Tapi kali ini sungguh, Leon terkejut dengan sikap Rania yang tadi. Obat itu masuk dengan sempurna di mulut Leon. Bahkan ketika Leon memeluk pinggang wanita itu dan meremas nya, dia sama sekali tidak mer
Kembali menebus obat, Rania sudah melihat Leon yang duduk dengan wajah cemberut nya. Wanita itu mendekat, sambil membawa satu kantong plastik berwarna putih gelap dan dia berikan pada Leon. "Ayo sini ponselku." tagih Rania. Leon memberikan ponsel itu dengan cepat. "Maaf." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Leon. Sungguh, dia sendiri juga tidak tahu kata maaf itu untuk apa. Yang jelas, jika tadi dia tidak mengambil ponsel Rania, mungkin hal ini tidak akan terjadi dengan dirinya. "Gak papa." jawab Rania seadanya, sambil melihat ponselnya yang sepi layaknya kuburan. Abrisam tak menelponnya, begitu juga dengan Bagas yang tak menelponnya balik juga. "Kamu udah gak papa?" Rania menatap Leon dengan tatapan memohon, lebih tepatnya, memastikan jika pria itu baik-baik saja dan tidak ada luka dalam."Aku gak papa. Cuma ini pusing aja kepala aku." Tentu saja pusing, jangankan kebentur motor. Itu jidat kalau kebentur meja atau yang lain aja pusingnya minta ampun, apalagi ini. "Bisa p
Lagi, lagi Rania harus kembali berurusan dengan Leon. Entah datangnya dari mana pria itu mendadak muncul di hadapannya layaknya jelangkung. Dan pada akhirnya Rania pun tersenyum paksa sambil menikmati es coklat yang ada di tangannya. "Kita ketemu lagi." katanya dengan penuh percaya diri. "Kebetulan sekali, kamu lagi apa disini?" tanyanya. Ini tidak kebetulan, dimana ada Rania selalu saja ada Leon. Bahkan Rania sempat berpikir jika Leon sekali mengikuti kemanapun Rania pergi. Pergi belanja, pergi ke rumah ayah dan ibunya, atau mungkin pergi kemanapun Rania inginkan dan selalu ada Leon. Sebenarnya dia itu punya kesibukan lainnya tidak sih? Mungkin kalau satu atau dua kali Rania masih bisa memaklumi. Tapi kalau berkali-kali mana bisaaaaa!!! Yang ada Rania mendadak curiga dia menjadi penguntit Rania. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari Rania. "Iya kebetulan nya berkali-kali ya." ini bukan sebuah jawaban, tapi sebuah sindiran agar Leon tahu jika apa yang dia lakukan itu salah.
Rania meremas kertas yang ada di tangannya, jantungnya kembali berdebar kencang ketika melihat Abrisam dan juga Bagas sedang dalam mode serius. Wanita itu akhirnya membalik badannya dan hendak pergi, mungkin bukan saatnya dia membicarakan hal ini. Tapi … "Nona Rana … " panggilan itu langsung membuat Rania memoleh, dia pun tersenyum ketika Bagas yang memanggilnya. "Mau ada penting dengan Tuan Abri?" ujarnya. Rania menggeleng. "Aku aku ada penting sama kamu." "Sama saya?" beo Bagas menunjuk dirinya sendiri. Abrisam berdehem, dia pun bangkit dari duduknya dan mengambil tongkat miliknya. "Kalau begitu aku pergi dulu." "Mas Abri jangan pergi!!" seru Rania mendadak. "Katanya mau ada penting sama Bagas?" Bukan berarti Abrisam harus pergi kan? Dia hanya meminta bantuan Bagas untuk mengambilkan surat motor milik Gaby. Siang tadi ketika dia mengantar Gaby belanja ada beberapa polisi yang menghentikan banyak pengendara roda dua. Rania pikir apa, taunya malah mereka memberi surat cinta pad
Gaby melihat kertas cinta ini dengan pasrah, duit mana lagi nanti untuk mengambil STNK nya. Sedangkan hari ini dia sudah merilis apa saja yang akan dibeli di pusat belanja ini. Tapi yang ada … "Nanti biar aku aja uang ambil. Kan aku yang salah bukan kamu." kata Rania. "Tapi Ran masalahnya itu kan motor aku." Masalah motor siapa itu gak penting. Rania mengambil surat cinta itu dan menyimpannya. Dia akan meminta Bagas untuk mengambil surat ini nanti atau besok, agar bisa diantar ke rumah Gaby dengan cepat. Sekarang yang harus mereka lakukan hanya satu, masuk ke pusat belanja ini dan membeli apapun yang Gaby inginkan. Gaby masih menunjukan wajah cemberut nya, tapi disini Rania mencoba untuk menghibur nya dan mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Gaby tidak perlu khawatir atau apapun itu, semuanya akan teratasi dengan benar. Abrisam juga tidak akan marah, siapa tahu saja setelah ini Abrisam mau mengeluarkan surat mengemudi untuk Rania. "Yaudah kalau begitu. Ayo kita belanja." Ber
Mumpung lagi libur kerja, Gaby meminta Ranka untuk menemaninya belanja. Tentu dengan izin Abrisam, wanita itu sudah menunggu Gaby di depan rumahnya sambil membawa helm. Tersenyum sumringah ketika melihat Gaby dari kejauhan yang terlihat mencolok, Rania pun langsung melambaikan tangannya ke arah Gaby. "Akhirnya sampai juga." keluh Gaby yang terlihat lelah di hadapan Rania. "Mau masuk dulu, Gab? Minum atau apa gitu." tawar Rania. Gaby menggeleng. "Gak deh, nanti kita bisa beli teh cup disana." Rania terkekeh, dia pun langsung duduk di boncengan Gaby dan memakai helmnya dengan benar. Tapi yang ada Gaby malah meminta Rania untuk turun. "Kenapa Gab?" "Bonceng Rania." "Oalah, bilang dong kirain ada apa." Tertawa kecil, Gaby pun menggeser duduknya ke belakang. Hingga Rania duduk di depan dan mulai menjalankan motornya dengan pelan. Untung saja pusat belanja yang ada diskonnya itu tidak jauh dari rumah Rania. Tapi lumayan jauh dari rumah Gaby, yang harus ngebut dulu baru sampai di rum
Pertarungan itu begitu panas dan cukup memakan waktu yang cukup lama. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi berkali-kali hingga membuat kedua belah pihak merasa lelah dengan nafas yang nyaris putus. Mengabaikan teriakan banyak orang hanya untuk meminta mereka makan malam bersama. Kali ini, ketika mereka turun tak ada satupun lampu yang menyala, tidak ada satu orangpun yang keluar dari kamar mereka. Menutup kembali pintu kamarnya, Rania kembali mendekati Abrisam. "Mas sepi banget." kata Rania berbisik, seolah dia takut jika ada orang lain yang mendengar ucapannya. "Kamu udah turun ke bawah?" Rania menggeleng. "Nggak aku cuma ngintip dari pintu." Abrisam mendengus, harusnya Rania turun kebawah memastikan jika ada orang dibawah sana atau tidak. Atau mungkin … ada makanan malam yang mereka susakan untuk Rania dan juga Abrisam. Tapi nyatanya Rania malah hanya menyembuhkan kepalanya tanpa mau turun ke bawah dan melihat situasi rumah. Rania meringis, dia pun menggunakan baju yang tadi y