“Bram, akhirnya kau datang!” Fatma tergesa menghampiri Hilbram yang baru terlihat bersama Rahman. “Thailita sudah lahiran?” tanya Hilbram. “Belum, dia baru akan melahirkan. Dokter sudah bersiap di dalam. Kau masuklah! Tunggui Thalita. Aku takut tidak bisa menguasai diri melihat putriku melahirkan.” Fatma tampak pucat dan bingung sendiri. Hilbram tahu tantenya tidak pernah direpotkan dengan hal seperti ini. Sejak dulu urusannya dikerjakan para pelayan dan asisten. Lalu, demi tidak banyak berspekulasi Hilbram pun mengambil baju schort medis dan menggenakan masker sebelum masuk untuk mendampingi sepupunya itu. Sepertinya masih tampak enggan menyebut Thalita sebagai istrinya. “Braaam!” panggil Thalita sambil bermandi peluh, mengulurkan tangannya pada Hilbram. “Sakit, Bram! Bantu aku dong!” “Berusahlah, Tha. Bayimu juga sudah berusaha keluar.” Hilbram malah bingung Thalita seperti ingin marah-marah saja. Padahal dia akan melahirkan. “Iya tapi bandel amat sih, makhluk kecil itu. Menj
“Berjemur dulu ya, Sayangnya Mama. Biar sehat!” ucap Ayesha tersenyum pada si bayi kecil sembari melepas baju Adam. Bayi mungil itu hanya bereaksi menatap sang mama dengan mata membulat. Tampak lucu sekali Hanin yang mengetahui kegiatan mama dan bayinya itu, mendekati mereka. Melihat bayi yang semakin gemoy, dia jadi gemas. Padahal Adam hanya minum asi, tapi perkembangannya begitu cepat. Selalu membuat Hanin menahan diri untuk tidak mencubitnya. “Eit, mau apa?” Ayesha menahan tangan Hanin yang sudah mau mengambil Adam itu. “Ya elah, Sha. Mau gendong bentar saja masa gak boleh. Ini terlalu gumush buat aku, gak pakai baju lagi.” Hanin menggenggam tangannya sendiri karena gemas dan tidak tahan ingin mencubit buntalan daging lucu itu. “Jangan dulu, biarin dia berjemur!” Ayesha melindungi putranya dengan menyingkirkan tangan sahabatnya itu. “Uhm, ya udah deh Adam darlingku, nanti kita peluk-pelukan lagi ya. Sekarang mamamu sepertinya menjadi penghalang di antara kita berdua!” Hanin
“Wait, wait... kenapa marahnya ke aku?” Sebastian tidak terima Hanin berkata dengan nada emosi seolah dirinyalah yang melakukan kesalahan.“Aku engak marah ke Anda, Tuan Sebastian. Tapi pada teman Anda yang tidak punya perasaan itu!” Hanin jadi sebal. Bahkan pria ini pun menyebalkan sekali.“Iya deh, nanti aku ingatkan temanku itu. Apa aku harus melaporkan dan membuat bukti bahwa aku sudah berusaha mengingatkannya?” Sebastian seperti ingin menggoda Hanin.“Boleh, agar aku bisa lebih percaya padamu!” Hanin menanggapi candaan Sebastian, walau kemudian menyesalinya.“Asyik, kalau udah percaya kita lanjut ya, Non!” Sebastian malah terus berusaha menggoda.Mata Hanin membelalak dan pipinya tiba-tiba bersemu kemerahan. Dia harus cepat-cepat undur diri dari pria itu sebelum kemana-mana pembicaraannya.“Kok lama, Nin? Apa kamu sakit perut atau kenapa-kenapa?” Ayesha melihat Hanin baru keluar. Dia cemas jangan-jangan Hanin ada masalah.“Enggak, i am okey!” ujarnya menggandeng tangan Ayesha.M
Ayesha sebenarnya menyesalkan bagaimana bisa Santi sampai lengah hingga ada orang yang melakukan hal itu pada bayinya?Katakanlah orang iseng—anak kecil mungkin yang main gunting-gunting rambut bayi. Tapi, bukankah itu akan mengerikan jika benda tajam itu melukai bayinya?“Ibu ngapain saja sampai enggak tahu ada yang main gunting rambut Adam?” Hanin seolah mengintrogasi Santi. Dia juga terlihat mencemaskan Adam.“Ibu nitip sebentar karena susu Adam ketinggal di rumah, Ibu juga tidak tahu bagaimana? Orang di sana juga baik-baik saja tidak ada hal yang aneh. Adamnya juga gak rewel. Tahunya pas di rumah.” Santi merasa tidak enak sampai dimarahi Hanin begitu.“Nin, jangan begitu!” Ayesha mengingatkan sahabatnya itu agar tidak berlebihan. Yang penting sekaarang Adam tidak kenapa-kenapa.“Sudahlah, jangan diambil serius. Adam belum di aqiqohi dan dicukur rambutnya ‘kan? Mungkin itu juga jadi mengingat
Memandangi putranya yang tertidur dengan damai, Ayesha sebenarnya resah memikirkan tentang pekerjaan yang disampaikan Praja.Dia sudah seharusnya bekerja secepat mungkin karena sudah tidak memegang banyak uang. Hanya tinggal beberapa ratus ribu di dompetnya untuk jaga-jaga. Itu pun uang yang ditemukannya dalam amplop saat mengunjungi rumahnya dan sekedar beres-beres. Sepertinya itu uang simpanannya sendiri di masa lalu yang lupa menaruhnya di suatu tempat.Tapi, apakah menerima tawaran bekerja di perusahaan milik pria yang sudah menghancurkan hatinya adalah pilihan yang bijak?Luka hatinya masih perih jika mengingat semua sikap pria itu terhadapnya. Ayesha benar-benar mulai merubah penilaiannya terhadap pria yang pernah mengatakan sangat mencintainya itu. Semua kebenaran yang dilihatnya sendiri mematahkan anggapannya selama ini—bahwa Hilbram masih mencintainya.Hanya saja, dia harus mengesampingkan semua itu demi bisa bertahan hidup dan
“Kenapa tidak enak?” Santi terkejut tiba-tiba Ayesha menyampaikan akan tinggal di rumahnya sendiri, setelah mendapat kabar bahwa Kakak Hanin akan pulang bersama istrinya.“Tidak apa, Tante. Adam juga sudah lebih besar. Insyaallah saya bisa ngurus sendiri.” Ayesha tidak mau terus-terusan merepotkan.“Kakaknya Hanin mungkin hanya beberapa hari di rumah, masih ada kamar lain di rumah ini. Sudah, di sini saja!” Santi masih merasa tidak tega.“Tidak apa, Tante. Lagipula kasihan rumahnya kalau enggak ditempati dan dirawat, bisa-bisa banyak barang yang rusak.”Santi tidak medesak lagi. Bagaimanapun Ayesha juga punya hak untuk menentukan tinggal di mana. Dia juga bukan putrinya yang harus dipaksa menuruti sarannya.“Tapi kalau kamu jadi kerja, Adam bagaimana?” Santi teringat bahwa Ayesha memutuskan mengambil pekerjaan yang ditawarkan suaminya. Katanya, masih minggu depan baru dapat panggilan.
Hilbram menatap amplop di meja kerjaanya dengan penuh kegelisahan. Sepertinya merasa belum siap jika hasil dari tes DNA itu menunjukan bahwa anak itu bukanlah darah dagingnya.Ayesha sudah menegaskan bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Hal tersebut membuatnya merasa cemas.Padahal, dia belum bertemu sekalipun dengan bayi itu. Rasa ini hanya karena dia tidak rela bahwa hubungannya dengan wanita itu harus diakhiri. Sementara Hilbram sudah sepakat membuat suatu keputusan setelah semua ini clear.Dia mengalami banyak tekanan di dunia kerja, banyak tantangan dan bahkan ancaman nyawanya sekalipun. Tapi di hadapan hasil tes itu, tangannya lemas.“Kau harus siap dengan segala sesuatunya” gumam Hilbram menghela napas panjang lalu menguatkan hati mengambil hasil tes itu dan membukanya.Saat membaca isinya yang hampir memenuhi satu halaman dengan data-data ilmiah yang Hilbram tidak terlalu paham, membuatnya bingung. Kenapa juga harus ada keteran
Hilbram baru saja pulang dari kantor dan mendapati sesuatu yang mecengangkan di dalam kamarnya saat menyalakan lampu. Dia melenguh kasar mendapati Thalita yang sudah duduk di atas ranjangnya dengan pakaian yang terbuka.“Sedang apa kau di kamarku?” Hilbram menarik Thalita agar keluar dari kamarnya.Namun Thalita malah memeluk Hilbram sambil cengengesan. “Mau tidur sama suamiku, lha!”“Jangan bercanda, Tha! Keluar dari kamarku!” Hilbram mendorong tubuh Thalita hingga terhempas ke tempat tidur kembali.“BRAAM!!” Thalita berteriak pada Hilbram yang kasar itu.“Jangan berteriak seperti itu kepadaku!”“Normal enggak sih kamu? Apa kamu sama sekali tidak tergoda untuk tidur bersamaku?” Thalita malah berpose seronok mengoda Hilbram.“Keluar!” Hilbram menatap tajam Thalita lalu dengan cuek meninggalkannya ke kamar mandi.“Br