“Kenapa tidak enak?” Santi terkejut tiba-tiba Ayesha menyampaikan akan tinggal di rumahnya sendiri, setelah mendapat kabar bahwa Kakak Hanin akan pulang bersama istrinya.
“Tidak apa, Tante. Adam juga sudah lebih besar. Insyaallah saya bisa ngurus sendiri.” Ayesha tidak mau terus-terusan merepotkan.
“Kakaknya Hanin mungkin hanya beberapa hari di rumah, masih ada kamar lain di rumah ini. Sudah, di sini saja!” Santi masih merasa tidak tega.
“Tidak apa, Tante. Lagipula kasihan rumahnya kalau enggak ditempati dan dirawat, bisa-bisa banyak barang yang rusak.”
Santi tidak medesak lagi. Bagaimanapun Ayesha juga punya hak untuk menentukan tinggal di mana. Dia juga bukan putrinya yang harus dipaksa menuruti sarannya.
“Tapi kalau kamu jadi kerja, Adam bagaimana?” Santi teringat bahwa Ayesha memutuskan mengambil pekerjaan yang ditawarkan suaminya. Katanya, masih minggu depan baru dapat panggilan.
Hilbram menatap amplop di meja kerjaanya dengan penuh kegelisahan. Sepertinya merasa belum siap jika hasil dari tes DNA itu menunjukan bahwa anak itu bukanlah darah dagingnya.Ayesha sudah menegaskan bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Hal tersebut membuatnya merasa cemas.Padahal, dia belum bertemu sekalipun dengan bayi itu. Rasa ini hanya karena dia tidak rela bahwa hubungannya dengan wanita itu harus diakhiri. Sementara Hilbram sudah sepakat membuat suatu keputusan setelah semua ini clear.Dia mengalami banyak tekanan di dunia kerja, banyak tantangan dan bahkan ancaman nyawanya sekalipun. Tapi di hadapan hasil tes itu, tangannya lemas.“Kau harus siap dengan segala sesuatunya” gumam Hilbram menghela napas panjang lalu menguatkan hati mengambil hasil tes itu dan membukanya.Saat membaca isinya yang hampir memenuhi satu halaman dengan data-data ilmiah yang Hilbram tidak terlalu paham, membuatnya bingung. Kenapa juga harus ada keteran
Hilbram baru saja pulang dari kantor dan mendapati sesuatu yang mecengangkan di dalam kamarnya saat menyalakan lampu. Dia melenguh kasar mendapati Thalita yang sudah duduk di atas ranjangnya dengan pakaian yang terbuka.“Sedang apa kau di kamarku?” Hilbram menarik Thalita agar keluar dari kamarnya.Namun Thalita malah memeluk Hilbram sambil cengengesan. “Mau tidur sama suamiku, lha!”“Jangan bercanda, Tha! Keluar dari kamarku!” Hilbram mendorong tubuh Thalita hingga terhempas ke tempat tidur kembali.“BRAAM!!” Thalita berteriak pada Hilbram yang kasar itu.“Jangan berteriak seperti itu kepadaku!”“Normal enggak sih kamu? Apa kamu sama sekali tidak tergoda untuk tidur bersamaku?” Thalita malah berpose seronok mengoda Hilbram.“Keluar!” Hilbram menatap tajam Thalita lalu dengan cuek meninggalkannya ke kamar mandi.“Br
Hilbram memikirkan banyak hal di kepalanya sampai panggilan di mejanya terabaikan. Ketika dia sudah melihatnya beberapa menit kemudian, Hilbram sampai harus memicingkan matanya melihat video kiriman dari temannya Sebastian. Kenapa Sebastian mengirimkan video seperti ini padanya? Namun begitu jarinya mengusap layar itu, Hilbram seolah melihat sesuatu yang tidak asing. Dibukanya lagi dengan teliti, melihat seorang wanita menyanyikan sebuah lagu dengan suara merdunya hingga membuat beberapa undangan terpaku. “Ayesha?” Hilbram memperjelas penglihatannya. Benar, kamera Sebastian menyorot pada sosok wanita yang terlihat begitu anggun dalam balutan pakaiannya yang sederhana. Menyanyikan lagu mellow hingga membuat banyak orang terpana. Sesaat bahkan Hilbram pun terkesan melihat ibu dari putranya itu ternyata memiliki kemampuan tersembunyi. Ah, jangan bilang tersembunyi. Mungkin dulu dia sudah tahu Ayesha bisa bernyanyi. Hanya saja dia lupa semua itu. Sial sekali amnesianya ini. Kenapa
“Oh, jadi kamu mau turun? Aku turunin di depan ya?” Sebastian malah sengaja membuat Hanin bertambah kesal.“Oke, siapa takut. Turunin saja di depan!” Hanin menantang. Padahal ini tengah malam, dia wanita penakut dan merasa ngeri kalau diturunkan di jalan yang sepi dan gelap itu.“Ya ampun, jangan bertengkar terus dong!” sahut Ayesha yang duduk di bangku belakang. Sejak tadi hanya mendengarkan kedua orang di depan itu berdebat.Dia melirik Hanin dan Sebastian bergantian. Ada yang terasa aneh. Sepertinya keduanya saling membawa perasaan.“Sory, Sha! Ini temanmu bawel sekali sih,” gerutu Sebastian.Hanin hanya mencebik dan tak lagi berkomentar karena rumahnya sudah di depan mata. Saat keduanya sudah keluar, tiba-tiba Hanin balik.“Eh, sebentar! Kalau menolong jangan setegah-setengah, dong!” tukasnya mengetuk kaca jendela mobil Sebastian.Sebastian membuka kaca mobilnya dan tidak mengerti apa yang dimaksud Hanin. Apa ada hal lain yang harus dilakukannya?“Sudah, ah, Nin. Jangan ngrepoti
Ayesha hanya tersenyum menatap putranya itu. Usia Adam sudah dua bulan lebih, hampir 3 bulan. Sedang dalam fase lucu-lucunya bayi. Apalagi sudah mulai mengoceh dan mencoba untuk tengkurap.“Aku heran saja, bagaimana kalian berpisah” Sebastian mulai membahas tentang hubungan Ayesha dengan Hilbram.Ayesha terdiam, seolah mendengar nama itu saja sendi-sendi di tubuhnya terasa nyeri. Dia memeluk bayinya dan mencoba mengalihkan pandangnya ke jendela kaca mobil. Ayesha takut saja, dia tiba-tiba tidak bisa menguasai dirinya lalu terlihat menangis. Apalagi harus di depan teman pria itu.“Maaf, jangan dijawab kalau kamu tidak berkenan!” Sebastian kembali fokus menyetir. Dia tidak tega saja melihat wajah Ayesha yang canggung itu.Setelah membantu menurunkan stroller Adam dan memastikan Ayesha sudah masuk ke dalam rumahnya, Sebastian kembali ke dalam mobil. Tidak disangka, ponselnya masih tersambung dengan Hilbram. Bukankah tadi dia merijeknya? Pasti salah usap!“Ada apa?” Sebastian bertanya k
Baru semalam dia memiliki niatan untuk membeli ponsel setelah membuka amplop upah menyanyinya. Ayesha sudah membuat rencana belanja memasukan ponsel sebagai benda yang akan dibelinya. Mencari-cari acuan harga ponsel di situs belanja online, dan memutuskan akan membeli satu ponsel yang murah saja. Asal bisa dipakai komunikasi.Ternyata pagi ini, rejeki datang menghampirinya. Benda pipih yang dipegangnya ini lumayan bagus. Ayesha merasa beruntung sekali. Apalagi masih ada hadiah lainnya, yaitu vocher belanja gratis seharga lima ratus ribu.“Hah, beneran ini lima ratus ribu?!” Ayesha melihat angka di voucher itu dan memang tidak salah baca. Ada lima nol di setelah angka lima.Memangnya ada toko seroyal ini? Harga ponselnya saja sudah mahal, ditambah voucher lima ratus ribu lagi. Umumnya voucher belanja yang pernah diterima Ayesha kisarannya hanya lima puluh ribu hingga seratus ribu. Ayesha jadi heran.“Sudahlah, Sha. Biarkan saja orang mau bagi-bagi, kok kamu yang mikir untung rugi mer
Hilbram kembali ke apartemennya menjelang malam hari setelah mendapat laporan dari Miko bahwa Ayesha sudah mengambil ponselnya.Miko mengirimkan foto-foto saat seorang sales betulan yang disewanya melancarkan aksinya. Ada juga foto Ayesha yang terlihat bahagia mendorong strollernya menukarkan voucher belanja.[Maaf, Bos. Hanya bisa kasih voucher lima ratus ribu, takut Nyonya malah curiga] lapor Miko.Hilbram hanya menggeleng teringat hal itu. Uang satu milyar di ATM dia kembalikan. Tapi dapat voucher lima ratus ribu saja bahagianya bukan main.Sudut bibirnya tertarik kembali, memikirkan lagi—bagaimana wanita sesederhana itu bisa menghianatinya?Kalau dipikir-pikir, Gilga juga sama sekali tidak terlihat bersamanya. Miko sudah menyelidiknya dan tidak ada pergerakan bahwa pria itu pernah bersama Ayesha. Kecuali di bandara, Miko sama sekali tidak bisa melacaknya. Karena saat kejadian Ayesha berpelukan dengan Gilga, CCTV sepertinya dihack dan tidak ada rekaman apapun.Hilbram hanya bisa m
“Kenyataannya aku memang tidak menidurimu, Thalita! Kau mau bukti bahwa aku tidak di apartemen setelah kau kuusir?”Tatapan Thalita terasa pudar mengetahui kenyataan bahwa pria yang semalam mereguk cinta bersamanya bukanlah Hilbram.Rasa tidak terima sangatlah menguasainya lantaran Thalita mulia mencintai sepupunya itu. Baginya, Hilbram pria yang terbaik di antara pria-pria yang sudah ditemuinya di dunia ini.Thalita ingin Hilbram yang menyudahi pencarian cintanya. Bukan orang lain. Apalagi pria itu!Dia sudah berharap, pernikahan yang awalnya hanya sebuah kepentingan ini akan berlanjut selamanya. Apalagi, keduanya mendapat banyak dukungan dari orang di sekitarnya.“Bram, kau harus pecat pria mesum itu! Kau harus singkirkan dia. Demi harga diriku, Bram!” Thalita menangis dan berharap Hilbram menuruti ucapannya.“Siapa yang kau maksud?” tanya Hilbram dengan tenang. Sebenarnya, dia su