“Kenyataannya aku memang tidak menidurimu, Thalita! Kau mau bukti bahwa aku tidak di apartemen setelah kau kuusir?”Tatapan Thalita terasa pudar mengetahui kenyataan bahwa pria yang semalam mereguk cinta bersamanya bukanlah Hilbram.Rasa tidak terima sangatlah menguasainya lantaran Thalita mulia mencintai sepupunya itu. Baginya, Hilbram pria yang terbaik di antara pria-pria yang sudah ditemuinya di dunia ini.Thalita ingin Hilbram yang menyudahi pencarian cintanya. Bukan orang lain. Apalagi pria itu!Dia sudah berharap, pernikahan yang awalnya hanya sebuah kepentingan ini akan berlanjut selamanya. Apalagi, keduanya mendapat banyak dukungan dari orang di sekitarnya.“Bram, kau harus pecat pria mesum itu! Kau harus singkirkan dia. Demi harga diriku, Bram!” Thalita menangis dan berharap Hilbram menuruti ucapannya.“Siapa yang kau maksud?” tanya Hilbram dengan tenang. Sebenarnya, dia su
Thalita mengerung Hilbram mengingatkan bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya. Dia memang seharusnya tidak menyalahkan Rahman sepenuhnya. Tapi, membayangkan menikahi pria ini, Thalita benar-benar bisa gila.Mark akan meledeknya jika tahu bahwa dia menikahi pria yang sudah berumur.“Aku ini istrimu, Bram. Bagaimana bisa kau meminta Rahman menikahiku? Apa kau sudah gila?” Thalita masih membuat Hilbram merubah keputusannya.“Mulai sekarang kau bukan lagi istriku, Tha. Aku sudah menceraikanmu. Dan Charli sudah dalam perjalanan ke Qatar untuk menikahkan kalian!”“No, Bram. Aku tidak mau!” Thalita masih menolak dan menatap Rahman dengan sangat benci. “Keputusanmu sudah bukan urusanku lagi. Kita sudah bukan suami istri, Tha. Aku hanya menyarankan yang terbaik untuk kalian. Apalagi di antara kalian sudah memiliki seorang anak.”Thalita bangkit dan dengan marah berlalu dari hadapan dua pria
Taher dan beberapa pengawal lainnya berjalan beriringan di bandara Hamad, Doha, Qatar yang megah itu. Mereka mengawal sang tuan yang tampak memburu waktu karena per nanti malam tepat pukul 20.00 waktu Qatar setempat, akan ada penutupan sarana transportasi di semua kota di Qatar.Hal ini karena dalam seminggu terakhir perkembangan kasus merebaknya covid semakin meningkat di Qatar setelah ditemukannya suspect virus.Akhirnya pemerintah mengumumkan menutup sementara sarana tarnsportasi internasional sebagai upaya pencegah masuknya gelombang virus yang lebih besar. Tidak tahu untuk berapa lamanya.“Tuan, Kapten Rio masih mengechek pesawat. Mungkin 30 menit lagi pesawat baru siap!” Taher memberi laporan.Hilbram akhirnya menuju tempat duduk di area komunal bandara untuk menunggu kesiapan pesawat pribadinya. Melihat Taher seperti sangat penasaran pada suatu hal, dia memintanya duduk mendekat.“Wajahmu sejak tadi tidak enak sekali, ada masalah?” Hilbram langsung saja bertanya, membuat Taher
Pesawat mendarat di bandara Kota Pusat karena Hilbram harus menghadiri dan mengatur rapat dengan dewan direksinya terkait penyelenggaraan pemindahan pusat perusahaan Al Faruq ke Kota Surajaya.Setelah semua ini beres, dia akan berkantor saja di sana. Sembari itu akan berusaha menjalin hubungan baik kembali dengan Ayesha.Mereka sudah memiliki seorang anak, seharusnya Ayesha tidak menolak hubungan ini demi kebaikan anaknya itu?Hilbram memang telah kehilangan memori kebersamaan mereka berdua yang hanya sebentar. Namun, saat bertemu langsung dengan Ayesha malam itu, dia bisa merasakan bahwa memang diantara mereka ada hubungan yang spesial.Baginya tidak masalah juga jika memulai dari nol hubungan ini. Hilbram juga menyukai Ayesha.“Kakak!” panggil seseorang membuat Hilbram yang baru datang menoleh.“Kakak, aku kangen Kakak!” teriak Farin yang langsung berlari menghampiri Hilbram.“Eh, tunggu!” panggil Hamida, terlihat mencegah gadis itu mendekati Hilbram.“Kak Hilbram baru datang, mas
Kantor sangat sibuk akhir-akhir ini terkait pemindahan kantor pusat perusahaan. Semua devisi berbenah besar-besaran. Maya, wanita cantik dan elegan yang menjadi pimpinan mereka menijau pekerjaan bawahannya.“Kantor di sebelah sudah mulai diisi barang-barang dari kantor pusat, setelah ini kita juga bersiap pindah ke sebelah. Jadi rapikan dan kemas administrasi dengan baik agar tidak ribet ketika sewaktu-waktu dipindah,” perintah Maya pada bawahannya.Ketika melihat-lihat dan memeriksa pekerjaan pegawainya, Maya memperhatikan wanita yang baru masuk ruangan ketika yang lain sibuk bekerja.“Siapa, kau?” tanya Maya tegas.“Oh, saya pegawai baru, Bu. Nama saya Ayesha.” jawab Ayesha. Apa wanita ini marah karena dia barusan harus ke pantry untuk pumping.“Apa kantor ini milik keluargamu? Bagaimana kau terlihat begitu santai baru terlihat ketika yang lain sibuk bekerja. Darimana kau?” Maya memarahi Ayesha.
Miko sudah paham bagaimana karakter Ayesha, karenanya dia harus mematok harga agar Ayesha berpikir dia memang sedang mencari penumpang.“Kalau Ibu mau, saya bisa kok antar jemput. Kita ‘kan searah berangkat kerjanya, pas pulang saya juga sering lihat Ibu nunggu kendaraan di dekat perusahaan Al Faruq. Kerja saya antar paket kantornya di sebalah sana, Bu.” Miko membuat sebuah penawaran saat mereka di jalan.“Memangnya rumahnya di mana?”“Di Perumahan Rambutan, Bu.”Perumaahan Rambutan memang dekat dengan Perumahan Nangkajajar tempat tinggal Ayesha.“Saya punya anak tiga Bu, masih kecil-kecil juga. Lihat Ibu bawa anak jadi ingat istri saya di rumah. Makanya kalau mau kita bisa barengan kok, Bu!”“Ahaha, Tidak usah, Mas!” Ayesha tentu menolak. Tidak etis sekali harus sering menumpang pada pria asing yang tidak dikenalnya.“Mau Ibu ikut atau tidak toh saya lewat sini juga. Jadi maksud saya, kalau ibu mau ikut ‘kan lumayan dapat tambahan dari Ibu. Buat tambahan beli popok anak bayi saya.
“Sha, jangan nglamun!” Nola menyenggol Ayesha yang sepertinya tidak mendengar seseorang memanggilnya.“Hah, kenapa?” Cepat-cepat Ayesha mengemasi pikirannya.“Pak Dannil itu, dia manggil kamu sejak tadi!” bisik Nola.Ayesha melihat ke depan dan pria itu sudah memasang senyumnya. Entah mengapa Ayesha tampak jenggah sekali melihatnya. Tapi dia harus profesional.“Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ayesha pada Dannil.“Bagaimana, Sha? Apa kau punya ide tentang penyambutan ini?” Dannil bertanya yang sama dengan Nola.“Ceilah, tahu saja sama yang seger-seger!” seloroh rekan pria lainnya mencandai Dannil.Yang diledek pasang wajah lempeng saja.“Dasar mata keranjang!” Verni mencebik karena ulah Dannil yang mengabaikannya, malah sok manis pada Ayesha.“Oh, Saya pikir acara makan-makan sambil dengar pendapat, bukanlah ide yang
“Maafin, Mas Anton, Sha!” Hanin merasa tidak enak pada sahabatnya itu ketika datang dan mendengar cerita dari ibunya tentang sikap Anton pada Ayesha.“Tidak apa, Nin. Adam aku titipkan di Daycare dekat kantor. Aku baru tahu kalau ada Daycare di sana,” ujar Ayesha memangku dan memberi dot Adam yang sudah mengantuk itu.“Pasti biayanya mahal?”“Iya sih, tapi sebanding dengan gajiku. Masih sisa banyaklah untuk beli popok Adam.” Ayesha mengulas senyum agar temannya itu tidak terus mencemaskannya.Lagi pula, Hanin dan keluarganya sejak dulu selalu baik padanya. Sudah sering bantu-bantu selama ini. Ayesha tidak enak kalau membuat mereka repot. Mau sampai kapan Ayesha merepotkan mereka terus? “Ya sudahlah kalau begitu!” Hanin membelai rambut Adam dan melihat bayi itu sudah tambah besar saja. Padahal baru beberapa hari tidak bertemu.“Hei Adamku sudah menua saja, be
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber