Hilbram menatap amplop di meja kerjaanya dengan penuh kegelisahan. Sepertinya merasa belum siap jika hasil dari tes DNA itu menunjukan bahwa anak itu bukanlah darah dagingnya.
Ayesha sudah menegaskan bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Hal tersebut membuatnya merasa cemas.
Padahal, dia belum bertemu sekalipun dengan bayi itu. Rasa ini hanya karena dia tidak rela bahwa hubungannya dengan wanita itu harus diakhiri. Sementara Hilbram sudah sepakat membuat suatu keputusan setelah semua ini clear.
Dia mengalami banyak tekanan di dunia kerja, banyak tantangan dan bahkan ancaman nyawanya sekalipun. Tapi di hadapan hasil tes itu, tangannya lemas.
“Kau harus siap dengan segala sesuatunya” gumam Hilbram menghela napas panjang lalu menguatkan hati mengambil hasil tes itu dan membukanya.
Saat membaca isinya yang hampir memenuhi satu halaman dengan data-data ilmiah yang Hilbram tidak terlalu paham, membuatnya bingung. Kenapa juga harus ada keteran
Hilbram baru saja pulang dari kantor dan mendapati sesuatu yang mecengangkan di dalam kamarnya saat menyalakan lampu. Dia melenguh kasar mendapati Thalita yang sudah duduk di atas ranjangnya dengan pakaian yang terbuka.“Sedang apa kau di kamarku?” Hilbram menarik Thalita agar keluar dari kamarnya.Namun Thalita malah memeluk Hilbram sambil cengengesan. “Mau tidur sama suamiku, lha!”“Jangan bercanda, Tha! Keluar dari kamarku!” Hilbram mendorong tubuh Thalita hingga terhempas ke tempat tidur kembali.“BRAAM!!” Thalita berteriak pada Hilbram yang kasar itu.“Jangan berteriak seperti itu kepadaku!”“Normal enggak sih kamu? Apa kamu sama sekali tidak tergoda untuk tidur bersamaku?” Thalita malah berpose seronok mengoda Hilbram.“Keluar!” Hilbram menatap tajam Thalita lalu dengan cuek meninggalkannya ke kamar mandi.“Br
Hilbram memikirkan banyak hal di kepalanya sampai panggilan di mejanya terabaikan. Ketika dia sudah melihatnya beberapa menit kemudian, Hilbram sampai harus memicingkan matanya melihat video kiriman dari temannya Sebastian. Kenapa Sebastian mengirimkan video seperti ini padanya? Namun begitu jarinya mengusap layar itu, Hilbram seolah melihat sesuatu yang tidak asing. Dibukanya lagi dengan teliti, melihat seorang wanita menyanyikan sebuah lagu dengan suara merdunya hingga membuat beberapa undangan terpaku. “Ayesha?” Hilbram memperjelas penglihatannya. Benar, kamera Sebastian menyorot pada sosok wanita yang terlihat begitu anggun dalam balutan pakaiannya yang sederhana. Menyanyikan lagu mellow hingga membuat banyak orang terpana. Sesaat bahkan Hilbram pun terkesan melihat ibu dari putranya itu ternyata memiliki kemampuan tersembunyi. Ah, jangan bilang tersembunyi. Mungkin dulu dia sudah tahu Ayesha bisa bernyanyi. Hanya saja dia lupa semua itu. Sial sekali amnesianya ini. Kenapa
“Oh, jadi kamu mau turun? Aku turunin di depan ya?” Sebastian malah sengaja membuat Hanin bertambah kesal.“Oke, siapa takut. Turunin saja di depan!” Hanin menantang. Padahal ini tengah malam, dia wanita penakut dan merasa ngeri kalau diturunkan di jalan yang sepi dan gelap itu.“Ya ampun, jangan bertengkar terus dong!” sahut Ayesha yang duduk di bangku belakang. Sejak tadi hanya mendengarkan kedua orang di depan itu berdebat.Dia melirik Hanin dan Sebastian bergantian. Ada yang terasa aneh. Sepertinya keduanya saling membawa perasaan.“Sory, Sha! Ini temanmu bawel sekali sih,” gerutu Sebastian.Hanin hanya mencebik dan tak lagi berkomentar karena rumahnya sudah di depan mata. Saat keduanya sudah keluar, tiba-tiba Hanin balik.“Eh, sebentar! Kalau menolong jangan setegah-setengah, dong!” tukasnya mengetuk kaca jendela mobil Sebastian.Sebastian membuka kaca mobilnya dan tidak mengerti apa yang dimaksud Hanin. Apa ada hal lain yang harus dilakukannya?“Sudah, ah, Nin. Jangan ngrepoti
Ayesha hanya tersenyum menatap putranya itu. Usia Adam sudah dua bulan lebih, hampir 3 bulan. Sedang dalam fase lucu-lucunya bayi. Apalagi sudah mulai mengoceh dan mencoba untuk tengkurap.“Aku heran saja, bagaimana kalian berpisah” Sebastian mulai membahas tentang hubungan Ayesha dengan Hilbram.Ayesha terdiam, seolah mendengar nama itu saja sendi-sendi di tubuhnya terasa nyeri. Dia memeluk bayinya dan mencoba mengalihkan pandangnya ke jendela kaca mobil. Ayesha takut saja, dia tiba-tiba tidak bisa menguasai dirinya lalu terlihat menangis. Apalagi harus di depan teman pria itu.“Maaf, jangan dijawab kalau kamu tidak berkenan!” Sebastian kembali fokus menyetir. Dia tidak tega saja melihat wajah Ayesha yang canggung itu.Setelah membantu menurunkan stroller Adam dan memastikan Ayesha sudah masuk ke dalam rumahnya, Sebastian kembali ke dalam mobil. Tidak disangka, ponselnya masih tersambung dengan Hilbram. Bukankah tadi dia merijeknya? Pasti salah usap!“Ada apa?” Sebastian bertanya k
Baru semalam dia memiliki niatan untuk membeli ponsel setelah membuka amplop upah menyanyinya. Ayesha sudah membuat rencana belanja memasukan ponsel sebagai benda yang akan dibelinya. Mencari-cari acuan harga ponsel di situs belanja online, dan memutuskan akan membeli satu ponsel yang murah saja. Asal bisa dipakai komunikasi.Ternyata pagi ini, rejeki datang menghampirinya. Benda pipih yang dipegangnya ini lumayan bagus. Ayesha merasa beruntung sekali. Apalagi masih ada hadiah lainnya, yaitu vocher belanja gratis seharga lima ratus ribu.“Hah, beneran ini lima ratus ribu?!” Ayesha melihat angka di voucher itu dan memang tidak salah baca. Ada lima nol di setelah angka lima.Memangnya ada toko seroyal ini? Harga ponselnya saja sudah mahal, ditambah voucher lima ratus ribu lagi. Umumnya voucher belanja yang pernah diterima Ayesha kisarannya hanya lima puluh ribu hingga seratus ribu. Ayesha jadi heran.“Sudahlah, Sha. Biarkan saja orang mau bagi-bagi, kok kamu yang mikir untung rugi mer
Hilbram kembali ke apartemennya menjelang malam hari setelah mendapat laporan dari Miko bahwa Ayesha sudah mengambil ponselnya.Miko mengirimkan foto-foto saat seorang sales betulan yang disewanya melancarkan aksinya. Ada juga foto Ayesha yang terlihat bahagia mendorong strollernya menukarkan voucher belanja.[Maaf, Bos. Hanya bisa kasih voucher lima ratus ribu, takut Nyonya malah curiga] lapor Miko.Hilbram hanya menggeleng teringat hal itu. Uang satu milyar di ATM dia kembalikan. Tapi dapat voucher lima ratus ribu saja bahagianya bukan main.Sudut bibirnya tertarik kembali, memikirkan lagi—bagaimana wanita sesederhana itu bisa menghianatinya?Kalau dipikir-pikir, Gilga juga sama sekali tidak terlihat bersamanya. Miko sudah menyelidiknya dan tidak ada pergerakan bahwa pria itu pernah bersama Ayesha. Kecuali di bandara, Miko sama sekali tidak bisa melacaknya. Karena saat kejadian Ayesha berpelukan dengan Gilga, CCTV sepertinya dihack dan tidak ada rekaman apapun.Hilbram hanya bisa m
“Kenyataannya aku memang tidak menidurimu, Thalita! Kau mau bukti bahwa aku tidak di apartemen setelah kau kuusir?”Tatapan Thalita terasa pudar mengetahui kenyataan bahwa pria yang semalam mereguk cinta bersamanya bukanlah Hilbram.Rasa tidak terima sangatlah menguasainya lantaran Thalita mulia mencintai sepupunya itu. Baginya, Hilbram pria yang terbaik di antara pria-pria yang sudah ditemuinya di dunia ini.Thalita ingin Hilbram yang menyudahi pencarian cintanya. Bukan orang lain. Apalagi pria itu!Dia sudah berharap, pernikahan yang awalnya hanya sebuah kepentingan ini akan berlanjut selamanya. Apalagi, keduanya mendapat banyak dukungan dari orang di sekitarnya.“Bram, kau harus pecat pria mesum itu! Kau harus singkirkan dia. Demi harga diriku, Bram!” Thalita menangis dan berharap Hilbram menuruti ucapannya.“Siapa yang kau maksud?” tanya Hilbram dengan tenang. Sebenarnya, dia su
Thalita mengerung Hilbram mengingatkan bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya. Dia memang seharusnya tidak menyalahkan Rahman sepenuhnya. Tapi, membayangkan menikahi pria ini, Thalita benar-benar bisa gila.Mark akan meledeknya jika tahu bahwa dia menikahi pria yang sudah berumur.“Aku ini istrimu, Bram. Bagaimana bisa kau meminta Rahman menikahiku? Apa kau sudah gila?” Thalita masih membuat Hilbram merubah keputusannya.“Mulai sekarang kau bukan lagi istriku, Tha. Aku sudah menceraikanmu. Dan Charli sudah dalam perjalanan ke Qatar untuk menikahkan kalian!”“No, Bram. Aku tidak mau!” Thalita masih menolak dan menatap Rahman dengan sangat benci. “Keputusanmu sudah bukan urusanku lagi. Kita sudah bukan suami istri, Tha. Aku hanya menyarankan yang terbaik untuk kalian. Apalagi di antara kalian sudah memiliki seorang anak.”Thalita bangkit dan dengan marah berlalu dari hadapan dua pria
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber