Begitu mobil Rahman sudah keluar dari halaman rumah untuk selanjutnya menuju bandara menerbangkannya ke Qatar, Hilbram pun menghampiri mobilnya dan bersiap hendak ke suatu tempat.Seperti biasa pengawalnya menawarkan untuk menyupirinya.“Tidak perlu, aku hanya ingin sendiri,” ucapnya bergegas memasuki mobilnya.Dari kaca spion dia tahu ada mobil pengawalnya yang mengikuti. Hilbram membiarkannya saja. Dari pada malah nanti harus banyak berspekulasi. Lagipula mereka hanya akan mengawasinya dari jauh.Hilbram berencana mengunjungi Rumah Sakit Ibu dan Anak seperti yang disampaikan Sebastian kemarin. Dia tidak tahu tujuan pastinya ke tempat itu. Hanya ingin memenuhi keinginan hatinya saja untuk menemui wanita yang bernama Ayesha itu.Kalaupun tidak bisa menemuinya dan bertanya sesuatu, mungkin sekedar melihatnya saja dari jauh. Lalu memikirkan apakah dia merasa mengenalnya?Saat langkah kakinya mulai menapak di kor
“Subhanallah, Sha! Anakmu tampan sekali!” Hanin menimang bayi mungil itu sambil mengagumi keelokannya. Membuatnya gemas ingin menciuminya terus.Ayesha hanya tersenyum. Pias lelahnya masih terpancar di wajahnya. Namun setelah melihat putranya yang lucu itu, hatinya terhibur. Lelahnya tiba-tiba tidak terasa, juga rasa sedihnya menguap saja entah kemana. Mudah-mudahan dia tidak lagi mengingat hal—hal yang membuatnya sakit hati dan menderita.Saat ini dia merasa harus tetap baik-baik saja untuk sang putra. Malaikat kecilnya. Dia tidak akan memperdulikan apapun lagi. Jiwanya serasa harus kembali terlahir namun dengan tujuan yang berbeda. Yakni semata untuk membesarkan anaknya.“Kemarikan, Nin. Dia harus nenen!” Ayesha mengulurkan tangannya meminta sang bayi dikembalikan padanya. Sejak tadi Hanin yang selalu menimangnya. Seolah keduanya berebut mainan untuk digendong.Hanin tertawa lalu memberik
“Sepertinya nomor Anda diblokir, Bos!” ujar Miko, pria yang baru saja menjadi intel dadakannya itu.Hilbram sengaja menemui Sebastian temannya itu untuk misi ini. Karena merasa semua pegawainya sudah atas kendali Rahman, dia sengaja merekrut beberapa orang baru tanpa sepengetahun Rahman. Salah satunya, Miko.Dia punya alasan tersendiri, namun masih ragu untuk menyatakannya dalam sikap. Karenanya, bertindak diam-diam adalah pilihan yang menurutnya bijak. Jadi, bilapun nanti apa yang dipikirkannya tidak benar, Hilbram tidak akan merasa tidak enak pada asistennya itu. “Begitukah?” Hilbram mengernyitkan dahinya. Untuk apa nomornya sampai di blokir?“Benar, Bos. Saya masih bisa, kok, menghubungi nomor tersebut.” Miko menyimpulkan setelah mencoba menghubungi nomor kontak Hanin namun segera memutuskannya. kalau nomor itu sudah tidak aktif, Miko tentu tidak bisa menghubunginya. “Mengapa nomorku sampai ada yang memblokir?”Banyak orang yang merasa bangga bisa memiliki nomor kontak Hilbram
“Ayesha?”Hilbram mengulang nama itu dengan helaan napasnya setelah pelayannya menyebutkan nama yang sama. Membuatnya semakin yakin bahwa wanita itu memang ada kaitannya dengan hidupnya.Sudah beberapa kali ini dia mendengar nama yang sama dari orang yang berbeda.Dan, pelayannya itu dengan jelas mengatakan bahwa Ayesha adalah istrinya.Dia—menjadi bingung dan tampak berusaha mengingat apa yang disampaikan pelayan itu.Ayesha adalah istrinya?Jadi, sebelum ini dia sudah menikah namun Rahman dan yang lainnya menyembunyikan kenyataan ini?Ada apa dengan semua ini? Hilbram harus mencari tahunya.“Apa yang kau ketahui tentang Ayesha?”“Nyonya seorang guru di Yayasan Al Faruq, Tuan. Selebihnya saya tidak banyak tahu.”Hilbram menduga, bisa jadi mereka bertemu di sana. Yayasan itu milik keluarganya ‘kan?“Tuan, Pak Rahman akan memecat saya karena keceplosan mengenai hal ini. Tolong saya minta pengertian dari Anda untuk bisa melindungi saya!” mungkin terkesan terlalu sok dekat dengan meminta
Cukup lama Hilbram mematung di dalam mobilnya memandangi rumah yang ada di hadapannya itu. di dalam sana, ada seorang wanita yang secara hukum masih ada ikatan pernikahan dengannya. Tapi, ini sudah malam. Dia masih punya etika untuk tidak memutuskan bertamu di waktu istirahat.Ketika Dia membuka pintu mobilnya dan hendak keluar melihat suasana, suara bayi yang menangis terdengar di telinganya. Mengingatkan dia bahwa wanita yang ditemui Sebastian di mall waktu itu juga bernama Ayesha, dan dia sedang akan melahirkan.Bisa disimpulkan, besar kemungkinan itu adalah wanita yang sama.Suara bayi itu tiba-tiba menghilang. Hilbram memikirkan sesuatu, jika Ayesha adalah istrinya, maka bayi itu adalah bayinya?Artinya, dia sudah punya anak saat ini.Hilbram sebenarnya tidak bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana perasaannya mengetahui hal itu. Dia bahkan tidak ingat apapun tentang hubungan ini.Namun, Jika dia sudah memastika bahwa wanita
Hilbram tampak keluar dari kamarnya dengan penampilan kasual. Taher melihat sang tuan dan menghampirinya.“Apa Anda perlu ke suatu tempat?” tukasnya barangkali Hilbram memerlukannya supir. Bukankah tuannya memintanya datang karena suatu urusan? Tapi hingga saat ini, Taher belum mendapat perintah apapun.“Aku hanya ingin sarapan di luar, Taher. Sudah ada janji dengan temanku.” Hilbram membenarkan jam tangannya. Dia tahu sudah pernah meminta Taher menyelidiki Ayesha. Tapi, pria ini terkesan mengulur sesuatu. Jadinya, karena tidak sabar Hilbram meminta Miko yang melakukannya.“Baiklah saya akan menunggu Anda untuk menerima perintah.” Taher sekaligus mengingatkan Hilbram tentang tugas yang harus dilakukannya.“Oh, aku hampir lupa untuk itu. Kau terlalu sibuk dengan perintah Rahman hingga aku sudah lupa tugas apa yang akan aku perintahkan padamu!” ujar Hilbram tersenyum pada Taher dan bergegas masuk ke dala
Hilbram membaca lembar surat perjanjian itu dan menelitinya. Itu memang tanda tangannya. Dan di samping tempatnya membubuhkan tanda tangan, ada nama Ayesha lengkap dengan tanda tangannya pula.“Anda jatuh cinta padanya. Lalu mengetahui kenyataan bahwa wanita tersebut juga bekerja di sebuah rumah bordil. Anda membelinya.”Hilbram mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Rahman. Jadi, dia menikahi wanita dari rumah bordil? “Aku tidak melihat dia wanita yang seperti itu?” Hatinya yang penuh keraguan masih mencoba tidak percaya.Ayesha berhijab. Dari foto-fotonya juga terlihat bahwa dia wanita baik-baik. Bagaimana bisa ada di rumah bordil?“Saya kira masalah ekonomi, Tuan. Dia juga baru beberapa hari di tempat itu.”Rahman tidak jujur karena seharusnya dia tahu bahwa Ayesha dijual pamannya untuk menebus utang. Meskipun pada akhirnya maksud dari ucapan Rahman sama, tapi akan berbeda ji
Bel berbunyi dan Hanin membukakan pintu. Ada seorang pria keren berdiri di depan pintu rumahnya, tersenyum penuh kharisma. Membuat Hanin bertanya-tanya, siapakah pria itu? Teman ayahnya kah?“Halo?” sapa Sebastian melambaikan tangan di depan wajah Hanin yang tak berkedip itu.“O, Ha-halo?” jawab Hanin gugup. Astaga, baru jomblo setahun saja sudah membuatnya baper didatangi pria keren ini.“Apa ini rumah Tuan Prajayaksa?” tanya Sebastian lagi.“Oh, dia ayahku, apa kau mencarinya? Untuk apa?” tiba-tiba dia menghalu ayahnya itu diam-diam menjodohkannya dengan pria keren ini. Seperti yang di novel-novel online yang dibacanya. Pria ini tampan dan menarik. Sepertinya cocok dengannya.“Aku mencari wanita yang bernama Ayesha, dia tinggal di sini?”Kata-kata itu menurunkan Hanin yang sejak tadi serasa kakinya tidak menapak di tanah. Dia baru kembali ke mode normalnya dan mulai me
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber