Ayesha mendongakan pandangnya dan menatap pria yang di depannya itu. Dia yakin, Hilbram pasti salah paham padanya. Dia ingat, Rahman mengatakan akan membuat Hilbram melupakannya dengan menunjukan foto-foto yang terlihat mesra itu. Ayesha merasa sudah difitnah. Dia tidak terima.“Penghianatan apa?” tanyanya penuh ketidakterimaan.Pria inilah yang menghianatinya. Dia bahkan memiliki istri dan akan memiliki anak. Jika dihitung-hitung, dirinya baru melahirkan. Kalau wanita itu saat ini hamil dan akan segera melahirkan, artinya kehamilan mereka berdekatan. Dan itu membuktikan bahwa Hilbram dan sepupunya itu bermain api di belakangnya saat masih bersama.“Aku tidak pernah menghianatimu” Ayesha masih berusaha menyangkal.Tapi, suaranya tercekat lantaran gemuruh kesal di dadanya mengingat pria ini yang justru menghianatinya dan membiarkannya dibuang begitu saja—membuatnya harus diam.Karena kalau tidak, airmata itu akan lolos. Dia benci harus tampak lemah dan menangis di depan pria yang suda
Hilbram tidak tahu kenapa malah jadi seperti ini. Pertemuan ini seharusnya sudah menyelesaikan semuanya, tapi justru membuka bab baru yang entah langsung diselesaikan atau justru bertambah panjang.Dia duduk di lantai dengan mengusap wajah dan rambutnya, seolah mengembalikan pengendaliannya yang setipiis tisu di hadapan Ayesha tadi. Benar-benar hampir hilang kendali.Ketika melihat Ayesha yang terpekur di samping jendela tadi, dia masih bisa berpikir dengan baik. Namun setelah mereka saling menatap untuk beberapa saat Hilbram seolah merasa begitu mengenalnya. Ingatanya memang hilang, namun perasaannya tidak bisa berbohong. Bahwa dirinya memang jatuh cinta pada sosok sederhana, kalem dan anggun itu.Rahman berulangkali mengucapkan bahwa dirinya sangat mencintai Ayesha. Dia tidak tahu mengapa masih mencintai wanita yang dengan latar belakang yang rumit. Sampai harus rela mengambilnya dari rumah pelacuran untuk dinikahinya.Setelah dipertemuan barusan, Hilbram--yang belum mengingat cint
“Bram, akhirnya kau datang!” Fatma tergesa menghampiri Hilbram yang baru terlihat bersama Rahman. “Thailita sudah lahiran?” tanya Hilbram. “Belum, dia baru akan melahirkan. Dokter sudah bersiap di dalam. Kau masuklah! Tunggui Thalita. Aku takut tidak bisa menguasai diri melihat putriku melahirkan.” Fatma tampak pucat dan bingung sendiri. Hilbram tahu tantenya tidak pernah direpotkan dengan hal seperti ini. Sejak dulu urusannya dikerjakan para pelayan dan asisten. Lalu, demi tidak banyak berspekulasi Hilbram pun mengambil baju schort medis dan menggenakan masker sebelum masuk untuk mendampingi sepupunya itu. Sepertinya masih tampak enggan menyebut Thalita sebagai istrinya. “Braaam!” panggil Thalita sambil bermandi peluh, mengulurkan tangannya pada Hilbram. “Sakit, Bram! Bantu aku dong!” “Berusahlah, Tha. Bayimu juga sudah berusaha keluar.” Hilbram malah bingung Thalita seperti ingin marah-marah saja. Padahal dia akan melahirkan. “Iya tapi bandel amat sih, makhluk kecil itu. Menj
“Berjemur dulu ya, Sayangnya Mama. Biar sehat!” ucap Ayesha tersenyum pada si bayi kecil sembari melepas baju Adam. Bayi mungil itu hanya bereaksi menatap sang mama dengan mata membulat. Tampak lucu sekali Hanin yang mengetahui kegiatan mama dan bayinya itu, mendekati mereka. Melihat bayi yang semakin gemoy, dia jadi gemas. Padahal Adam hanya minum asi, tapi perkembangannya begitu cepat. Selalu membuat Hanin menahan diri untuk tidak mencubitnya. “Eit, mau apa?” Ayesha menahan tangan Hanin yang sudah mau mengambil Adam itu. “Ya elah, Sha. Mau gendong bentar saja masa gak boleh. Ini terlalu gumush buat aku, gak pakai baju lagi.” Hanin menggenggam tangannya sendiri karena gemas dan tidak tahan ingin mencubit buntalan daging lucu itu. “Jangan dulu, biarin dia berjemur!” Ayesha melindungi putranya dengan menyingkirkan tangan sahabatnya itu. “Uhm, ya udah deh Adam darlingku, nanti kita peluk-pelukan lagi ya. Sekarang mamamu sepertinya menjadi penghalang di antara kita berdua!” Hanin
“Wait, wait... kenapa marahnya ke aku?” Sebastian tidak terima Hanin berkata dengan nada emosi seolah dirinyalah yang melakukan kesalahan.“Aku engak marah ke Anda, Tuan Sebastian. Tapi pada teman Anda yang tidak punya perasaan itu!” Hanin jadi sebal. Bahkan pria ini pun menyebalkan sekali.“Iya deh, nanti aku ingatkan temanku itu. Apa aku harus melaporkan dan membuat bukti bahwa aku sudah berusaha mengingatkannya?” Sebastian seperti ingin menggoda Hanin.“Boleh, agar aku bisa lebih percaya padamu!” Hanin menanggapi candaan Sebastian, walau kemudian menyesalinya.“Asyik, kalau udah percaya kita lanjut ya, Non!” Sebastian malah terus berusaha menggoda.Mata Hanin membelalak dan pipinya tiba-tiba bersemu kemerahan. Dia harus cepat-cepat undur diri dari pria itu sebelum kemana-mana pembicaraannya.“Kok lama, Nin? Apa kamu sakit perut atau kenapa-kenapa?” Ayesha melihat Hanin baru keluar. Dia cemas jangan-jangan Hanin ada masalah.“Enggak, i am okey!” ujarnya menggandeng tangan Ayesha.M
Ayesha sebenarnya menyesalkan bagaimana bisa Santi sampai lengah hingga ada orang yang melakukan hal itu pada bayinya?Katakanlah orang iseng—anak kecil mungkin yang main gunting-gunting rambut bayi. Tapi, bukankah itu akan mengerikan jika benda tajam itu melukai bayinya?“Ibu ngapain saja sampai enggak tahu ada yang main gunting rambut Adam?” Hanin seolah mengintrogasi Santi. Dia juga terlihat mencemaskan Adam.“Ibu nitip sebentar karena susu Adam ketinggal di rumah, Ibu juga tidak tahu bagaimana? Orang di sana juga baik-baik saja tidak ada hal yang aneh. Adamnya juga gak rewel. Tahunya pas di rumah.” Santi merasa tidak enak sampai dimarahi Hanin begitu.“Nin, jangan begitu!” Ayesha mengingatkan sahabatnya itu agar tidak berlebihan. Yang penting sekaarang Adam tidak kenapa-kenapa.“Sudahlah, jangan diambil serius. Adam belum di aqiqohi dan dicukur rambutnya ‘kan? Mungkin itu juga jadi mengingat
Memandangi putranya yang tertidur dengan damai, Ayesha sebenarnya resah memikirkan tentang pekerjaan yang disampaikan Praja.Dia sudah seharusnya bekerja secepat mungkin karena sudah tidak memegang banyak uang. Hanya tinggal beberapa ratus ribu di dompetnya untuk jaga-jaga. Itu pun uang yang ditemukannya dalam amplop saat mengunjungi rumahnya dan sekedar beres-beres. Sepertinya itu uang simpanannya sendiri di masa lalu yang lupa menaruhnya di suatu tempat.Tapi, apakah menerima tawaran bekerja di perusahaan milik pria yang sudah menghancurkan hatinya adalah pilihan yang bijak?Luka hatinya masih perih jika mengingat semua sikap pria itu terhadapnya. Ayesha benar-benar mulai merubah penilaiannya terhadap pria yang pernah mengatakan sangat mencintainya itu. Semua kebenaran yang dilihatnya sendiri mematahkan anggapannya selama ini—bahwa Hilbram masih mencintainya.Hanya saja, dia harus mengesampingkan semua itu demi bisa bertahan hidup dan
“Kenapa tidak enak?” Santi terkejut tiba-tiba Ayesha menyampaikan akan tinggal di rumahnya sendiri, setelah mendapat kabar bahwa Kakak Hanin akan pulang bersama istrinya.“Tidak apa, Tante. Adam juga sudah lebih besar. Insyaallah saya bisa ngurus sendiri.” Ayesha tidak mau terus-terusan merepotkan.“Kakaknya Hanin mungkin hanya beberapa hari di rumah, masih ada kamar lain di rumah ini. Sudah, di sini saja!” Santi masih merasa tidak tega.“Tidak apa, Tante. Lagipula kasihan rumahnya kalau enggak ditempati dan dirawat, bisa-bisa banyak barang yang rusak.”Santi tidak medesak lagi. Bagaimanapun Ayesha juga punya hak untuk menentukan tinggal di mana. Dia juga bukan putrinya yang harus dipaksa menuruti sarannya.“Tapi kalau kamu jadi kerja, Adam bagaimana?” Santi teringat bahwa Ayesha memutuskan mengambil pekerjaan yang ditawarkan suaminya. Katanya, masih minggu depan baru dapat panggilan.
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber