Thalita mengerung kesal saat tangan kekar itu menarik dan melemparnya ke atas ranjang besar. Dia menatap dengan marah pada pria yang sangat dibencinya itu. Berani-beraninya memperlakukannya seperti ini. Lihat saja, dia akan mengadu pada Hilbram tentang sikap kasarnya. “Aku bilang jangan ikut campur dalam hidupku!” ketusnya pada Rahman yang sudah dengan paksa membawanya pulang saat baru saja ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang di club malam. Pemerintah Qatar sudah mulai melonggarkan kegiatan sosial. Jadinya, Thalita yang terbiasa kluyuran itu merasa menjamur di rumah saja selama pembatasan karena covid.“Aku suamimu sekarang, jadi patuhlah!” Rahman tidak berhenti dibuat kesal atas tingkah wanita yang lebih pantas menjadi anaknya itu. Minum-minuman keras dan clubbing adalah hobinya yang sangat dibenci Rahman.“Cih! Bangga sekali kau bilang suamiku. Sejak dulu kau pasti sudah mengincar ini agar kau mendapatkan ap
“Kau menertawaiku, huh?” Hilbram menatap bocah kecil yang kini ikut rebahan di ranjangnya. Sementara sang mama sedang mandi. Adam hanya terkekeh sembari memiringkan tubuhnya mencoba bangkit dan meraih wajah Hilbram untuk dicengkramnya. “Aku bilang jangan tertawa, dasar penganggu cilik!” Hilbram tampak gemas melihat Adam yang malah tertawa, kemudian ikut tertawa dan menciumi bayi yang menggemaskan itu. “Papapapa...” celoteh Adam sambil menepuk-nepuk pipi Hilbram. “Benar, aku papamu. Tapi kita sepakat ya, kau jangan menggangguku saat bersama mamamu. Oke?” Hilbram masih juga perhitungan mengingat kegiatan yaang baru panas itu sudah dihentikan karena Adam menangis tidak melihat mamanya saat terbangun. “Mamamama...” Hanya itu yang bisa dijawab Adam. “Kenapa? Kau bilang mamamu hanya milikmu?” Hilbram dengan isengnya menerjemahkan sendiri ocehan bayinya. Bayi itu hanya tergelak seolah menertawakan kegabutan orang dewasa yang sedang kesal di depannya itu. “Adam sudah ganteng dan wangi,
Setelah diantar ke lantai tempat Hilbram berkantor, Taher menyambutnya di depan pintu lift. Dengan tersenyum ramah, mempersilahkan sang nyonya untuk mengikutinya menuju ruang direktur utama perusahaan ini.Lantai ini tampak sepi. Sepertinya memang hanya untuk ruangan big bos dan para direksinya. Di depan pintu lift tadi Ayesha sekilas membaca tulisan, hanya pegawai yang punya akses saja yang bisa masuk ke lantai ini. “Silahkan, Nyonya. Tuan sudah menunggu di dalam!” Taher membukakan pintu untuk Ayesha lalu segera menutupnya lagi.Ruangan yang luas dan tampak elegan. Lalu, di mana Hilbram?“Aku di sini!” suara lirih yang tepat di telinga Ayesha mengejutkannya. Hilbram sudah berdiri di belakangnya dan tangan itu langsung menyabuk ke pinggang Ayesha. Memepetkan tubuh mereka.“Eh, Tuan!” Ayesha mencoba menahan tangan Hilbram namun justru malah terhempas di pelukan pria itu. Dia terlihat tidak tenang. Bahkan pintu itu masih bisa dibuka dari luar, tadi.Bagaimana kalau nanti ada orang y
“Nur, Adam tidak rewel?” tanya Ayesha saat sudah masuk jam istirahat namun pria ini belum juga melepaskannya. Malah terlelap dan memeluknya di samping.“Tidak, Nyonya. Adik baru saja tidur siang!” jawaban yang terdengar dari seberang membuat Ayesha lega.Tadinya ingin mengubah setelan panggilan menjadi mode video call, tapi dibatalkannya karena melihat dirinya yang masih polos dipelukan pria yang sudah mendesaknya tadi.Lihatlah, sekarang! Pria ini malah menyenyakkan diri dalam tidurnya. Tampak puas dan lega sekali. Batin Ayesha tersenyum geli dan kesal dalam waktu yang bersamaan.Bisa-bisanya pria ini menyempatkan melakukannya di jam kerja. Bukankah dia bilang akhir-akhir ini sedang sibuk di kantor?Pasti Taher di luar sedang bingung mengatur pekerjaan karena sang tuan yang sedang berduaan bersama istrinya, yang dia tidak tahu sedang apa di dalam sana.“Baiklah, Nur. Aku tidak bisa mengunjungi Adam istirahat ini. Tapi aku usahakan untuk pulang lebih cepat, ya?” tukasnya lagi pada pe
Ini masih jam makan siang. Ayesha tidak langsung turun ke lantai tempat ruang kerjanya. Bertemu Nola dan beberapa rekan yang lain sedang menikmati makanan di lounge, dia akhirnya memutuskan untuk singgah sebentar di sana.“Dari mana saja kamu?” Nola bertanya pada Ayesha yang tampak segar itu.Aroma shampo di kamar mandi ruang kerja Hilbram begitu tajam. Bahkan Ayesha bisa membaunya sendiri. Jadi merasa Nola menatapnya dengan penuh kecurigaan.“A-aku tadi dari ruangan Tuan Hilbram, lanjut menyempatkan sholat dulu.”“Aku juga baru sholat, kok tidak ketemu?” Nola masih bertanya.“Barusan kok, tadi aku lihat kamu baru keluar mushola saat aku masuk!”Duh, jadi serba salah begini ya?Tenang, Sha...Ayesha berusaha menguasai dirinya. Dia cemas sekali kalau sampai harus terlihat mencurigakan. Rasanya sudah seperti berselingkuh dengan big bos di kantor ini. Padahal big bosnya suaminya sendiri.“Aku pesan makanan dulu!” Ayesha bangkit dan mengambil makanan di rak hidangan. Melirik ke arah Nol
Hilbram termenung menatap kosong hadapnya untuk menunggu panggilannya bisa tersambungkan cepat. Ketika, ponselnya berdering dia segera mengambil benda itu dan mengupingnya.“Maaf, Tuan! Pak Rahman sedang menjemput anak dan pengasuhnya di bandara,” suara Damian, sekretarisnya di Qatar terdengar.“Kau tidak bisa menghubunginya?” Hilbram sedikit kesal, sejak kapan dia harus menunggu jika harus menghubungi asistennya?“Kalau saya bisa menghubungi beliau, tentu sudah saya sampaikan apa yang Tuan inginkan!” Damian masih mencoba menjelaskan.Hilbram terhenyak dan tidak mengerti dengan jalan pikiran Rahman. Sepertinya pria itu sudah mulai menunjukan taringnya untuk bisa melawannya perlahan. Hilbram harus memikirkan banyak kemungkinan dan cara agar bisa memahami Rahman dengan baik.Dibanding Rahman yang sejak kecil sudah membersamainya, Hibram sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk mengerti dan memahami orang yang sejak dulu melayaninya itu. Rahmanlah yang punya kewajiban memahaminya.Na
Ayesha terkejut dengan sindiran Fatma yang merasa sudah menunggunya sejak tadi. Lalu buru-buru meminta maaf.“Maaf, Tante,” ujar Ayesha pada wanita itu.“Jangan mentang-mentang kau nyonya di sini lalu merasa seenaknya sendiri, ya?” Fatma tidak tahan ingin memarahi wanita yang sudah merebut perhatian Hilbram dari anaknya itu. “Sekali lagi saya minta maaf kalau sudah membuat Tante merasa kurang nyaman.” Ayesha masih berusaha menjaga sikapnya.“Benar, kau benar-benar sudah membuatku tidak nyaman!” Fatma menatap Ayesha yang bahkan belum duduk itu.Biar saja melihat wanita itu berdiri di sana. Fatma merasa wanita ini sungguh tidak pantas bersanding dengannya. Setelah mengetahui fakta bahwa keponakannya itu memungutnya dari rumah bordil, Fatma punya alasan untuk merasa muak pada Ayesha.Ayesha hanya menunduk. Dilihatnya tadi aura kebencian yang tersirat dari tatapan mata wanita ini, seolah menyadarkannya bahwa kastanya sangat berbeda dengan kasta wanita itu—yang merupakan putri dari kel
“Heran saja dengan keluarga Tante, setiap hari bergumul dengan kemewahan, lalu mendapatkan warisan saja sudah membuat Tante dan Charlie gelap mata. Macam orang yang tidak pernah pegang banyak uang saja!” sindir Hilbram pada tantenya itu.“Charlie hanya kena tipu, Bram!” Fatma membela suaminya.“Hanya?” Hilbram tersenyum miring.Hilbram tahu Charli bukanlah seorang pebisnis. Dia hanyalah sutradara film yang bahkan tidak ada satu pun karyanya yang sukses. Lalu sok-sokan mencoba berbisnis bermodalkan harta warisan tantenya itu.Sekarang, wanita ini datang menangis-nangis karena Charli sudah tanpa persetujuannya menjual saham bagiannya—demi lolos dari tuntutan hukum orang-orang yang berinvestasi dalam proyeknya bersama temannya—yang sudah kabur membawa uang mereka.“Bisakah kau mencarikan jalan keluarnya, Bram?” Fatma yang kebingungan itu hanya butuh solusi dari Hilbram, bukannya malah dicecar banyak pertanyaan.“Setelah Charli sudah menjual saham bagian Tante, tidakkah itu sudah menyel
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber