Ayesha resah sejak tadi mencoba memejamkan kedua matanya tapi tidak juga bisa terlelep. Padahal biasanya dia sudah terlelap jam begini. Dia bangkit dari tidurnya dan duduk termenung di atas ranjang. Entah apa yag dipikirkannya. Hanya untuk mengusir kejemuan, dia iseng membuka ponselnya. Memeriksa barangkali ada pesan yang belum terbaca atau sekedar melihat status teman-temannya. Tiba-tiba pesan dari Hilbram masuk ke ponselnya. [Kenapa masih online jam segini?] Pesan itu terbaca di netra Ayesha yang tidak sengaja menekan layar tepat di nomor yang bahkan belum diberinya nama itu. Ayesha tadinya enggan membalas. Tapi statusnya sudah centang biru. Mulai ada rasa tidak enak jika mengabaikannya. Apalagi mereka ada janji besok siang untuk belanja keperluan Adam. “Balas tidak ya?” gumamnya sendiri berperang dalam keraguan. Sepertinya berat untuk mengubah sikapnya dengan beramah tamah membalas pesan yang tidak penting itu. Ayesha tidak mau akhirnya menjadi nyaman dengan obrolan ini.
Semua orang sepertinya bekerja dengan sangat terburu-buru. Ayesha menyapa Nola yang juga baru datang kemudian sedikit bertanya padanya.“Ada meeting penting dengan perwakilan perusahaan dari jepang dan korea di Indonesia. Tadinya ‘kan meetingnya siang, tapi karena suatu hal diubah menjadi pagi hari. Makanya bagian penyelenggara keteteran!”Ayesha melihat beberapa karyawan sampai berlari-lari demi mempercepat persiapan yang seharusnya dipakai siang tapi diajukan pagi ini.Undangan ini mungkin sekalian mengenalkan kantor baru perusahaan Al Faruq di Kota Surajaya, kepada para pimpinan perusahaan yang memiliki ikatan kerja sama dengan perusahaan Alfaruq.Ayesha jadi ingat, kemarin Hilbram mengcancel sebuah meeting hanya karena ingin mengantarnya membeli keperluan Adam. Apa mungkin meeting yang ini?Kalau benar begitu, dia berlebihan sekali. Membeli keperluan Adam bisa lain waktu, tidak perlu juga sampai harus mengubah jadwal meeting hingga membuat banyak orang keteteran seperti ini. Para
“Sha, letakan Adam di strollernya. Kita harus bicara!” ucap Hilbram melihat Ayesha masih menggendong Adam yang sudah tertidur itu.Mereka baru selesai berbelanja dan saat ini sedang memesan makanan di sebuah kafe. Hilbram yang suka privasi meminta satu ruangan untuknya disterilkan dari pengunjung. Ayesha sudah paham dengan hal itu.Beberapa saat kemudian, Ayesha melihat Hilbram mulai terihat serius. Sepertinya ingin membicarakan sesuatu yang penting. Bukankah semalam mereka memang berbalas pesan dan pria ini ingin menjelaskan semuanya?“Bagaimana?” tanya Hilbram saat Ayesha sudah menaruh Adam di strollernya.“Apa?” Ayesha tidak paham pertanyaan Hilbram.Hilbram menghela napas dan memperbaiki posisi duduknya. Melihat Ayesha sepertinya belum sepenuhnya bisa menerima kehadirannya kembali. Dia inginnya malam ini mengakhiri jarak diantara mereka. Ayesha adalah istrinya dan tidak boleh jauh darinya lagi.“Kau sudah tahu ‘kan kalau kita masih terikat pernikahan? Seharusnya kita tidak tingg
Hilbram baru bersiap ke kantor ketika pesan dari Miko dibacanya. Ayesha mengatakan tidak ke kantor pagi ini. Hilbram menanyakan apakah Ayesha atau Adam sakit? Dan Miko menyampaikan bahwa anak dan istrinya itu baik-baik saja.Ada apa?Apa dia marah padanya?Hilbram berpikir apa kira-kira yang membuatnya marah. Perkataannya yang mana yang membuatnya tersinggung sampai marah?Mungkin nanti, selepas menyelesaikan pekerjaannya, Hilbram akan menemuinya.❤️❤️❤️“Jadi di sekolah ada kebijakan menjadwal siswa yang masuk. Hari ini kebetulan kelasku libur!” Hanin menggendong Adam dan menimang-nimangnya. Kangen sekali dengan bayi gemoy itu.“Padahal kota kita termasuk salah satu kota yang belum ada kasus Covid. Tapi Pemprov sudah menerapkan kebijakan seperti itu. Berlebihan enggak sih?” Hanin seolah tidak setuju dengan kebijakan meliburkan sekolah. Padahal sejak dulu di kota ini protokoler kesehatan sudah diterapkan dengan baik. Anak-anak yang diliburkan tidak semuanya mau belajar di rumah. Kese
Selesai membersihkan dirinya Ayesha keluar kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Tidak ada pengering rambut di rumahnya.Masuk ke dalam kamar yang sedikit berantakan karena mainan Adam, Ayesha akhirnya membersihkan kamarnya dulu. Mumpung Adam masih anteng dengan Hanin.Melihat mainan-mainan yang memenuhi kamarnya, Ayesha merasa pria itu berlebihan sekali dengan membelikan mainan sebanyak ini pada anak sekecil itu. Mungkin karena sambil menggerutu, kakinya menginjak mainan kerincingan Adam hingga terpeleset.“Auhhh!” teriak Ayesha sedikit keras saat terjatuh. “Kenapa, Sha?”Mendengar suara yang tidak asing itu Ayesha terkejut, bagaimana dia ada di sini?“Jangan sentuh aku!” Ayesha menolak tangan Hilbram yang hendak membantunya, apalagi Ayesha hanya menggunakan daster rumahan pendek dan rambut masih basah. Ayesha yang terbiasa berhijab merasa malu harus dilihat seorang pria dalam kondisi demikian.Baru ketika merasakan nyeri di tangannya yang hebat, Aye
Hilbram tidak tahu seperti apa rasanya menderita karena cintanya? Ayesha tidak bisa begitu saja melupakan apa yang terjadi pada dirinya.Rasa sakit karena mencintai lebih membuatnya tersiksa ketimbang sekedar menghadapi hidup yang serba kekurangan ini.Ayesha merasa memilih untuk mengakhiri hubungan ini adalah yang terbaik. Dia tidak ingin meribetkan diri dengan perasaan yang berlebihan ini.Ayesha hanyalah gadis miskin, yang tidak akan pantas bersanding dengan Hilbram dari segi apapun. Dia ingin memilih hidup apa adanya tanpa ada keruwetan masalah.Terlalu sering diremehkan dan dipandang rendah orang lain membuat Ayesha merasa bahwa tempat yang sesuai dengan keadaannya adalah seperti saat ini. Menjalani hidup dengan bekerja keras untuk bisa membayar listrik, biaya makan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya —bukannya menjadi istri pria kaya raya dan berkuasa ini.“Maaf, aku tidak bisa!” Lagi ucapan itu membuat Hilbram yang
“Jangan kuatir, tadi sebelum aku bawa pulang, aku mampir lagi ke rumahmu ambil stok ASI-nya Adam. Amanlah!” ujar Hanin menjawab panggilan Ayesha.“Biasanya kalau malam suka kebangun dia, Nin.” Terdengar Ayesha masih terlihat mencemaskan Adam.“Its, oke! Jangan pikirin Adam dulu. Pikirin kamu sembuh dulu. Kalau tengah malam begini kamu enggak segera tidur, mana bisa cepat pulih! Adam kan butuh mama yangg kuat!” Hanin menasehati Ayesha.“Baiklah, besok pagi-pagi aku sudah pulang, kok! Tolong videoin Adam dong. Aku mau cium dan peluk jauh buat anakku...” pinta Ayesha yang sudah kengen saja dengan Adam.“Baik, tapi jangan berisik. Kasihan dia baru tidur habis ngedot!” Hanin berjalan masuk ke dalam kamar lagi untuk memvideokan Adam sesuai keinginan Ayesha.“Ahaha, maaf, dia memang kuat banget ngedotnya!” ujar Ayesha yang tahu Hanin belum masuk ke dalam kamar. Jadi masi
“Aku harus pumping, tapi alat dan botolnya tertinggal di rumah.” Ayesha tampak ragu menyampaikannya.“Baiklah, aku akan carikan di kantin rumah sakit!” ujar Hilbram bangkit segera keluar.Melihat pria yang biasanya hanya bisa menyuruh-nyuruh orang, dan sekarang malah mengerjakan apapun sendiri, hati Ayesha sebenarnya mulai melembut. Tapi masih malas untuk berpikir tentang bagaimana hubungan mereka akhirnya.Mungkin, memang ada hal yang mendesak yang membuat Hilbram tidak lekas mencarinya waktu itu. Bisa jadi ada sesuatu juga yang membuat Hilbram tidak membalas pesan-pesannya.Masalah pernikahan Hilbram dengan sepupunya, sudah pria itu jelaskan dan mereka sudah tidak bersama lagi.Thalita sudah dinikahkan dengan Rahman, sang asisten yang sudah dengan kejam membuangnya. Dan Ayesha akhirnya mengerti mengapa tidak lagi melihat Rahman di samping Hilbram.Hati Ayesha yang mudah lemah it
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber