Hilbram bergegas kembali ke rumah sakit setelah mencoba menemui Rahman namun pria itu mengabaikannya. Dia masih waras hingga tidak menghancurkan benda-benda di sekitarnya ketika mendapat penolakan di perusahaannya sendiri. Hibram bahkan tidak bisa menembus keamanan yang diciptakan mantan asistennya itu demi bisa menemuinya secara langsung.Panggilan dari sang istri membuatnya teralihkan sementara dan mengenyahkan urusannya dengan Rahman. Bagaimanapun Hilbram pernah memikirkan melepaskan semua ini demi bisa hidup tenang bersama keluarganya.“Katakan pada tuanmu yang baru itu, aku menunggunya berinisiatif menemuiku!” ujar Hilbram pada pengawal Rahman yang mengantarnya keluar perusahaan.Pria itu hanya mengangguk, masih terlihat sopan pada pria yang sebelum ini adalah sang big bos mereka. Namun, dia hanyalah pekerja dan harus tunduk dengan atasannya.Memasuki rumah sakit, Hilbram melihat Ayesha yang duduk terpekur dengan gelisah. Sementara Miko berdiri menjaganya.Mengetahui sang suami
Hilbram memasuki ruang rawat inap Elyas dan melihat kemesraan ayah dan putrinya itu. Ketika langkah kakinya hendak berbalik saja, Ayesha mengetahui kedatangannya dan memanggil. “Mas? Kenapa balik?”“Aku hanya akan menganggu kemesraan kalian saja!” tukasnya seperti anak kecil yang ngambek pada sang mama yang tidak memperhatikannya.“Sayang, ayolah. Apa tidak mau menyapa ayahku?”Ayesha bangkit melepas genggaman tangannya pada sang ayah dan berjalan menghampiri suaminya. Sementara Elyas menahan tawa, baru tahu kalau pria yang terlihat tangguh itu bisa juga nampak seperti anak kecil di depan putrinya.Elyas masih begitu menyesali bagaimana bisa pernah hampir melenyapkan nyawa pria ini. Dia melihat putrinya sepertinya sangat mencintainya. Beruntung Tuhan masih menyelamatkan nyawa Hilbram meski dirinya sudah merancang dengan baik drama kecelakaan itu. Kalau tidak, Elyas tidak akan memaafkan dirinya sendiri.“Sayang, Ayahku sebenarnya...” Ayesha hendak menceritakan sedikit tentang ayahn
Fatma meringis mengelus kakinya yang tak kunjung membaik. Setelah dari rumah sakit untuk periksa, dokter menyarankan untuk melakukan CT scan, namun Fatma menolak. Dia merasa hanya keseleo saja dan tidak perlu sampai berlebihan begitu. Namun, semakin hari kakinya justru terasa lebih nyeri. Bahkan sudah hampir seminggu ini dia malas berjalan karena kakinya terasa nyeri sekali saat dipakai berjalan. Thalita merasa cemas dengan kondisi mamanya, apalagi melihat kaki itu terlihat kebiruan di bekas tempat keseleonya. “Dibawa ke rumah sakit lagi, Ma?” Thalita yang mendegar keluhan mamanya jadi tidak tega saja. “Asam urat kali, Tha,” ujar Fatma sambil mengurut kakinya. Dia enggan pergi ke rumah sakit. “Makanya kita periksa lagi, yuk?” Thalita masih mencoba membujuk ibunya. Fatma berpikir-pikir, mungkin memang seharusnya dia kembali periksa ke rumah sakit. rasa nyerinya terasa menganggu sekali. Namun, teringat sesuatu dia jadi kesal kembali. “Bukannya kau bilang sudah dua hari ini
“Kalau kau mau menurut begini sejak awal, aku akan memberikan isi dunia ini padamu!” tukas Rahman sambil merapikan dirinya. Tidak memperdulikan betapa menyedihkan keadaan wanita yang dihadapannya itu.“Ambil uang ini!” Rahman melempar sebuah amplop yang di dalamnya berisi uang pada Thalita. Uang itu hampir menimpuk wajah yang kacau itu.“Pergilah, dan jika aku memintamu datang untuk melayaniku kau harus suka rela datang padaku. Kau mengerti?” Kembali pria itu mengingatkan Thalita, lalu berlalu keluar dari ruang kerjanya. Meninggalkan seorang wanita yang bahkan untuk menangispun dia tidak bisa.Penampilannya sangat kacau. Eyeliner matanya meluber ke mana-mana, warna bibirnya yang tadi merah menyala kini memucat karena lipstiknya berpindah di sekitar pipi. Thalita bangkit dengan keadaan yang seadanya itu dan berjalan keluar ruangan Rahman.Ketika beberapa pengawal melihat wanita itu sungguh memalukan dengan pakaian yang serba tembus pandang itu, Thalita bahkan tidak memperdulikannya. S
Ada yang sedang berpesta ria karena merasa telah memiliki dunia ini. Rahman pikir ini adalah hasil kerja kerasnya. Dia sudah rela menahan diri terus dijadikan sebagai anjing piaraan oleh keluarga Al Faruq. Jika kali ini dia ingin melampiaskan euforianya, baginya itu adalah hal yang pantas.“Mau minum bersamaku, Bos?” Seorang wanita penghibur yang seksi datang menawarkan segelas anggur lengkap dengan penampilan menggoda. “Boleh” Rahman menarik lengan wanita itu hingga duduk di pangkuannya kemudian begitu saja menuangkan anggur itu di tubuh sang wanita dan menyesapnya langsung di kulit mulusnya.“Ahhh, Tuan agresif sekali. Apa aku akan dapat bonus? .” Dengan suara desahan yang menggoda wanita itu meminta bonus pada Rahman. Mumpung pesonanya sudah menarik hati pria itu.“Haha, semua wanita itu sama. Hanya mau melayaniku kalau sedang ada maunya,” ucapannya yang sudah tentu dimaksudkan pada seseorang. Rahman yang sudah mulai mabuk itu langsung membopong tubuh seksi itu ke dalam kamar u
“Tuan, kau membutuhkanku?”Momo tahu Rahman sedang menunggu seseorang karena itu dia datang untuk mengalihkan perhatiannya.Momo yang selama ini sudah dilambungkan angan dan harapannya, tidak mau begitu saja dijatuhkan setelah pria ini sudah mengambil semua dari dirinya.“Aku tidak sedang menginginkanmu!” ujar Rahman menatap Momo tidak suka karena tiba-tiba datang padanya tanpa dia minta.Rahman memang membutuhkannya di malam-malam panjangnya yang kesepian.Namun kali ini, wanita yang diharapkannya, sudah bersedia mendatanginya dan mengusir malam-malam dinginnya. Rahman tidak membutuhkan Momo lagi.“Oh, Tuan. Aku harap Tuan tidak lupa dengan janji-janji Tuan untuk meratukanku setelah semua ini.” Momo dengan terpaksa mengingatkan pria itu agar tidak lalai dengan apa yang sudah diucapkannya. Sedangkan, hanya tatapan tajam yang didapatnya dari pria yang benar-benar berubah itu.“Berani kau menanyakan hal itu padaku? Siapa kau?!” Rahman menjambak rambut panjang Momo hingga wajah itu terd
Setelah puas menikmati pemandangan kota Zermatt dengan kereta gantung yang mengantar mereka ke Matterhorn Glacier Paradise— yang merupakan stasiun gondola tertinggi di Eropa itu, Ayesha sudah nampak tidak murung lagi.Sayang sekali Adam tidak mau diajak dan lebih memilih bersama sang kakek pergi ke suatu tempat. Kalau tidak, mereka bisa bersenang-senang bersama.“Kau tahu kita sekarang ada di ketinggian 3.883 meter di atas permukaan laut? Kita ada di puncak gunung Alpen. Kalau cuaca mendukung kita bisa melihat banyak pemandangan indah di sini. Sayang kau sedang hamil, jadi aku tidak bisa mengajakmu bermain ski dan snowboard di sini.”Hilbram menggandeng tangan Ayesha dan mengajaknya ke sebuah kabin yang masih ada di sekitar stasiun itu. Kabin-kabin itu dilengkapi dengan lantai kaca yang memungkinkan bisa melihat pemandangan gletser dari bawah kaki mereka.Ayesha terkagum-kagum dengan apa yang d
“Sayang, ada panggilan!”Ayesha mengingatkan suaminya di sela kegiatan intim mereka yang baru saja dimulai.“Iya, nanti saja. Aku sudah merindukanmu,” bisik Hilbram sambil membaluri sang istri dengan ciuamannya.Suara panggilan itu terhenti seolah memberikan kesempatan pada dua insan itu untuk memadu cinta kasih. Suara desah tercipta semakin membangkitkan gelora hasrat yang masih juga membara, meskipun saat ini Ayesha sedang berbadan dua.“Katakan kalau kau merasa tidak nyaman,” tutur Hilbram saat memasuki sang istri.“Tidak apa, Mas. Aku baik-baik saja,” Ayesha yang juga menikmati sensasi itu tidak mau begitu saja mengakhirinya. Dia juga merindukan sang suami.“Dulu, saat hamil Adam, aku terkadang merindukan Mas Bram, namun hanya bisa menangis seorang diri,” cerita Ayesha selesai kegiatan intim mereka.“Maafkan aku!” ujar Hilbram memeluk istrinya dan menciumi puncak kepalanya. Teringat lagi bahwa semua itu terjadi karena ulah Rahman. Dia sudah memiliki rencana untuk menghukum pria
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber