Sebagai orang yang sudah mengalami jatuh bangun dalam hidup, Ayesha pasti sudah memiliki insting bahwa Verni dan kawannya berusaha mempermalukan dirinya di depan Hilbram dengan harus menyanyi. Ketiga wanita yang merasa kelasnya lebih tinggi dari yang lainnya itu berpikir, bahwa big bos perusahaan ini akan datang bersama keluarganya agar bisa membuatnya cemburu dan tersisih. Sayangnya, hal itu tidak akan bisa mereka dapatkan dikarenakan istri dari sang big bos yang mereka tunggu--adalah yang bernyanyi di panggung untuk menghibur. Tidak masalah. Ayesha juga belum pernah bernyanyi langsung di depan suaminya itu. Anggap saja dia ingin mempersembahkan perasaannya pada pria di sana yang sudah duduk dan masih bercengkrama dengan kolega bisnisnya. Ketika master ceremonial memberitahu bahwa Ayesha harus segera bersiap untuk tampil, dia pun berkomunikasi sejenak dengan grup musik dan meminta untuk memainkan sendiri piano pengiring lagunya. Di layar besar yang menjadi latar belakang panggung
“Dasar wanita tidak tahu diri! Bisa-bisanya dia mau ke depan!” Cibel dengan geram melihat Ayesha yang sudah berdiri di samping Hilbram sambil tersenyum seolah tidak ada yang salah. “Yang tahu tentang affair itu kan cuma segelintir kita, itu para cecunguk di sana mana tahu tentang kebusukan wanita itu!” Maya juga ikutan sebal. Apalagi Verni yang rasanya ingin menghancurkan panggung itu. “Kenapa kalian?” tiba-tiba suara Praja mengagetkan mereka. Mereka lupa bahwa ada orang lain yang duduk tidak jauh dari sana. Dan itu pria yang juga dekat dengan Ayesha. “Oh, bukan apa-apa, Pak!” Verni yang merupakan pegawai biasa tidak selevel Maya dan Praja sedikit segan menanggapi pria itu. “Kenapa sejak tadi sepertinya kalian membicarakan wanita yang di depan sana?” Ketiganya diam. Rasanya tidak ingin membahas hal itu dengan pria ini. Bagaimanapun Praja adalah orang yang dekat dengan Ayesha. Sudah tentu akan menganggap Ayesha selalu baik. “Lebih baik jangan bicara macam-macam kalau tidak tahu
Selesai menyuapi Adam makan siang, Ayesha mencoba menggendong anaknya. Namun bayi 8 bulan itu sudah tidak mau digendong lagi. Adam mencoba melepaskan diri dari sang mama. Dia dengan gesit merangkang mengambil mainan yang terserak, bahkan sudah bisa mencoba berdiri sambil berpegangan di dinding. “Ya Allah, Nur. Adam sudah pengen jalan itu?” Ayesha yang mengetahui anaknya berdiri segera mengambil ponselnya untuk mengabadikannya. Papanya harus tahu ini. “Sayang, kemari, Nak?” Ayesha memanggil Adam yang tertawa-tawa sendiri saat merasa bisa menunjukan kemampuannya berdiri. “Ya udah deh, kalau Adam enggak mau sama Mama, Mama berangkat kerja lagi ya?” Ayesha tahu biasanya Adam akan langsung berlari ke arahnya kalau dia mengatakan akan pergi kerja. Padahal tadi dia terus menolak digendongnya. “Mamama...” celoteh Adam sambil merangkak menghampiri kaki Ayesha karena sudah berdiri menenteng tasnya. Dia tahu akan ditinggal karenanya datang menahannya. Ayesha tertawa dan langsung menggendon
“Apa Anda melihat bayiku?” Ayesha dengan panik menanyakan hal itu pada setiap orang yang dilihatnya. Dia bahkan sudah memasuki setiap ruangan untuk bertanya. Namun mereka menggeleng dan hanya menatap wanita itu dengan heran. “Nyonya, apa yang terjadi?” Dua orang tergesa mendatangi Ayesha yang kebingungan itu. mereka sepertinya datang terlambat. “Anakku hilang!” ucap Ayesha dengan frustasi pada dua orang itu. Dia tidak mengenalnya tapi sudah mengira itu adalah anak buah suaminya. “Baik, akan kami urus!” Keduanya segera bergerak untuk menemukan sang tuan muda yang menghilang di usianya yang bahkan belum setahun itu. Saat mendapat kabar itu, Taher yang menemani sang tuan meeting penting belum bisa memberitahu. Dia berharap dua anak buahnya itu bisa mengatasinya. “Ada apa, Taher?” Hilbram langsung bertanya pada Taher dan menjeda meeting mereka. Dia takut ada hal urgent yang bahkan sampai membuat Taher yang tenang itu jadi resah. “Adik Adam hilang, Tuan!” Suhu di ruangan tiba-tiba m
Semua yang di sana menelan salivanya mendengar wanita yang selama ini bekerja bersama di satu devisi mereka ternyata adalah istri dari sang big bos perusahaan ini.Beberapa yang akrab dengan Ayesha merasa senang dan berbangga bahwa pernah menjadi teman baik saat bekerja.Namun beberapa yang lain yang mengikuti jejak tingkah Verni yang sering membebani Ayesha tentu menjadi mulai mencemaskan posisinya. Jangan sampai dipecat di saat seperti ini. Kembali teringat tentang Dannil yang tiba-tiba dipecat karena alasan yang bahkan mereka tidak pernah tahu sebelumnya. Saat ini, mereka yakin, pemecatan itu pasti ada hubungannya dengan Ayesha. Karena semua tahu, Dannil selalu menggoda Ayesha.“Di mana Verni?” Ayesha masih belum bisa melupakan ketegangan yang terjadi. Membayangkan putranya sampai kenapa-kenapa emosinya belum bisa diturunkan.Tidak mungkin Adam bisa turun dari strollernya sendiri kalau bukan wanita itu yang menurunkannya. Karena itu, Ayesha merasa tidak bisa membiarkan hal itu b
Saat makan malam pria itu tampak risau, hingga setelahnya Ayesha menjadi tidak enak kalau ingin menanyakan atau memberitahu sesuatu.Bukan hanya itu, Ayesha tentu saja menjadi ill feel karena bisa jadi panggilan yang di balkon itu berasal dari Thalita. Lebih-lebih melihat Hilbram sampai secemas itu pada Thalita.“Adam sudah tidur?” tanya Hilbram menggugah lamunan Ayesha yang tercenung di atas tempat tidurnya itu.“Oh, sudah, Mas!” jawab Ayesha yang melihat suaminya baru masuk ke kamar.“Ya sudah, istirahat gih! Sudah malam,” titah Hilbram mengusap rambut kepala Ayesha lalu masuk ke dalam kamar mandi.Begitu keluar dari kamar mandi, Hilbram masih juga melihat Ayesha di posisinya semula. Padahal Hilbram hampir ketiduran di bathup tadi.“Kenapa?” tanya Hilbram mengikat tali bathrobe yang digunakannya lalu duduk di samping istrinya itu. Sepertinya ada yang menganggu pikiran Ayesha.“Mau ngobrol sebentar sama, Mas. Itu pun kalau Mas tidak merasa keberatan,” ujar Ayesha melirik suaminya.
“Mama lebih percaya pada pria rendahan itu?” Thalita marah karena Fatma justru memarahinya. Tidakkah dia melihat luka memar yang ada di wajahnya karena tamparan pria itu?“Lalu Mama harus percaya pada siapa?” Fatma menjadi bingung karena penjelasan Thalita yang sebaliknya.“Dia tidur bersama pengasuh bayinya, apa salah kalau aku memberi wanita murahan itu pelajaran?”“Sejak kapan kau peduli dengan siapa Rahman tidur? Bukankah kau juga tidur seenaknya dengan pria lain?”“Apa yang kau bicarakan Nyonya Fatma? Apa hanya karena Rahman memberimu banyak uang lalu kau lebih memihak padanya?” Thalita menjadi emosi kemudian menatap mamanya dengan tatapan menantang.“Aku jadi sadar sekarang, kalau kau dan Tante Hamida memang sama. Tidak ada bedanya sama sekali. Yang ada dalam pikiran kalian hanya uang dan kepopuleran. Kau lebih mementingkan gengsimu juga pandangan teman-temanmu tentang dirimu —daripada keadaan putrimu yang mengenaskan ini!”“Jangan samakan aku dengan Hamida, Tha! Aku dan dia t
Fatma menghampiri Rahman di kantor tempat kerjanya lalu sedikit mendesaknya untuk menahan putrinya yang sudah berencana balik ke Indonesia. “Kenapa kau hanya diam saja? Tidakkah kau tahu bahwa Thalita sudah mempersiapkan diri untuk balik ke Indonesia? Sebagai suaminya harusnya kau menahannya!” Pria itu bangkit dan berdiri menghampiri ibu mertuanya itu, lalu dengan senyum miring berkata, "Putri Anda tidak pernah menganggapku sebagai suaminya, kenapa harus mengingatkanku sebagai suaminya saat begini?” “Dia akan mendatangi Hilbram dan mengadu macam-macam padanya. Kau tahu ‘kan, Hilbram menyayangi Thalita sejak dulu. Dia tidak akan terima kalau adik kesayangannya itu terlihat menyedihkan?” “Apa yang Anda takutkan?” Fatma menatap Rahman dengan heran. Mereka sudah membicarakan hal itu sebelumnya. Apakah pria ini tidak cemas, Thalita akan bisa merusak rencana mereka? “Aku kenal Tuan Bram lebih baik dari semua orang di dunia ini. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Dan Anda seharusnya
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber