Apa yang disampaikan anak didiknya tadi sungguh membuat Ayesha terus kepikiran. Dia tidak pernah membuat masalah dengan wanita itu, atau sekedar menyinggungnya. Ayesha selalu berhati-hati dalam bertindak. Di sekolah ini dia merupakan guru baru, dan sangat tidak memiliki kuasa. Dia tidak mau mendapat masalah dengan siapapun.
Kebetulan saat jam pulang Ayesha berpapasan dengan Belinda yang juga mau pulang. Tidak membuang kesempatan, Ayesha menghampirinya.
“Ada apa?” tanya Belinda dingin sambil membenahi rambut panjangnya.
“Kita bisa bicara sebentar?” tukas Ayesha menyiratkan ucapannya serius.
Belinda menyipitkan mata dan menerka apa yang ingin di sampaikan Ayesha. Tapi dia tidak menolak permintaannya. Penasaran saja apa yang ingin disampaikannya.
“Terima kasih sudah menjadi guru ganti selama aku izin, tapi hal utamanya adalah, ada perkataanmu yang seharusnya tidak pantas kau ucapkan di depan anak-anak!” Ayesha tidak
“Oh, kumohon, Tuan. Ini hanya masalah kecil. Jangan repotkan Anda untuk hal ini. Lebih baik fokus pada pekerjaan agar lekas selesai!” Ayesha benar-benar tidak ingin pria ini turun tangan untuk hal sepele ini.Hilbram bisa membuat kepala yayasan tempatnya bekerja sampai mengeluarkan surat izin untuknya. Lalu, hanya seorang anak kepala sekolah seperti Belinda. Tentu bisa diatasinya. Ayesha tidak mau melakukan hal itu.“Uhm, kau merindukanku?” Hilbram mencerna kata-kata Ayesha sebagai kode ingin Hilbram cepat balik.Ayesha ingin dia segera menyelesaikan pekerjaannya. Kata yang sederhana itu jadi terdengar bucin di telinga Hilbram?Oh, dia semakin tidak sabar untuk cepat pulang dan menghempaskan kerinduannya saja.“Sha?” Hilbram mengusik gadis yang tidak menjawabnya itu. Apa sulit membalas ucapan kerinduannya?Baru pertama ini dia tidak berdaya hanya ingin mendengar ucapan
“Aku dengar kau mengadukanku pada mama tentang mulut comel anak didikmu itu?”Belinda sekalian membahas tentang laporan orang tua Vinza. Dia merasa punya senjata untuk membuat Ayesha takut dengannya. Cemas mendapat masalah kareena aduan anaka-anak, dia merubah rencananya. Mengintimidasi guru ini dengan rahasia rumah bordil itu.“Kau tahu yang mengadu bukan aku. Jika kau sampai tidak mengakui hal itu, seharusnya kau malu, Bu Linda.”Ayesha tahu betapa buruknya sikap Belinda. Dia tentu bisa saja mengelak mengakui kesalahannya dengan intrik jahatnya. Lebih buruk lagi, Ayesha-lah yang akan dijadikan kambing hitam.“Malu?” Belinda tersenyum sinis. “Kaulah yang harusnya malu, Ayesha. Wanita munafik yang menutup dirinya dengan hijab tapi sebenarnya seorang pelacur yang suka mengangkang di hadapan pria-pria yang membayarmu!”Ayesha terkesiap mendengar ucapan sadis Belinda. Tangannya sudah me
Zain melihat Ayesha merenung, dia segera menghampiri sang nyonya.“Nyonya, biarkan saya membantu masalah, Nyonya.”Kehadiran Zain membuat Ayesha terkejut. Apalagi wanita itu menyinggung tentang masalah. Apakah dia sejak kemarin ada di sini?“Kau di sini?” tanya Ayesha menatap Zain yang menggenakan Jaket hoodi dengan tudung terpasang di kepala. Penampilannya itu akan membuat orang mengira dia seorang pria.“Tugas saya mendampingi dan melindungi, Nyonya. Saya tidak bisa jauh-jauh dari Nyonya.” Zain mengingatkan Ayesha tentang pekerjaannya.Ayesha enggan membahas banyak hal. Dia sedang merasa kecewa dengan sikap sahabatnya itu. Lalu melirik Zain dan memintanya duduk di sampingnya.Ayesha sedang sedih, sedianya ingin menyendiri. Namun jika Zain berkeras menemaninya, Ayesha menyerah. Mungkin berbicara dengan wanita ini bisa mengenyahkan rasa sesak di dadanya karena peliknya masalah hidupnya.&ldquo
“Zain?” panggil Ayesha setelah acara selesai.Saat di panggung tadi Arif mengatakan bahwa dirinya sudah ditunggu seseorang di depan. Ayesha penasaran dan langsung beranjak ke luar aula.Melihat Zain sudah berdiri di sana, Ayesha menduga pasti wanita ini yang menunggunya.“Aku pikir siapa, Zain?” tukasnya lagi menghampiri Zain.“Sudah selesai acaranya, Nyonya?” tanya Zain.“Sebentar lagi anak-anak kembali ke sekolah untuk selanjutnya pulang, apa kau menungguku untuk pulang?”Zain hanya tersenyum.“Oh, Zain. Maaf, ya. Kau pasti lelah mencoba mengikutiku tiga hari ini.”Ayesha jadi tida tega terus membuat Zain terpaksa mengikutinya. Padahal dia sudah tahu memang seperti itulah pekerjaannya. Dia orang susah, melihat ada yang susah menjadikannya mudah berempati.“Nyonya terlalu baik, pekerjaan saya memang menjaga Anda.”Zain kemba
Meski masuk musim hujan, malam ini cuacanya sedang cerah. Mereka bahkan bisa melihat gugusan bintang yang berpijar diantara langit yang menggelap.“Di gang itu ada banyak penjual jajanan. Kalau Tuan tidak keberatan, aku mau kesana sebentar.” Ayesha meminta pendapat Hilbram. Dan pria itu tidak mempermasalahkannya.Asal tidak memintanya mengambil bintang di langit saja, Hilbram akan mengiyakan saja apapun keinginannya.“Kau sering ke tampat ini?” tanya Hilbram saat keduanya sudah duduk di kursi besi sambil menikmati kacang rebus.“Dulu, waktu masih kecil ibuku sering mengajakku serta saat acara pelatihan sekolahnya di sekitar sini. Ayahku jarang pulang jadinya tidak mungkin meninggalkanku sendiri di rumah.”“Oh, jadi ibumu juga seorang guru?”Ayesha mengangguk. Dari ibunya-lah cita-cita menjadi guru terbit. Tiba-tiba seseorang datang menawarkan minuman hangat
“Tuan???”Ayesha mencengkeram kain sprei menahan buncahan rasa. Merelakan dirinya seperti sebuah hidangan bagi pria ini.Tangan Hilbram nampak tak jemu menyusuri setiap lekuk maha karya Tuhan yang indah itu. Memberikan rangsang disetiap sel syaraf tubuhnya. Hingga mengejang karena kewalahan menampung gelora yang memabukan itu.Ketika penyatuan akhirnya terjadi, mata sang wanita terpejam. Bibirnya sedikit terbuka meloloskan desah lembut yang tercipta dengan sendirinya. Membuat tatapan mata pejantan itu semakin ingin menguasainya“Panggil namaku, Sha!”Suara serak itu terdengar seksi di telinga Ayesha. Membuatnya membuka mata dan melihat wajah tampan yang merongrongnya itu. “Tuan?...”“Bram, panggil Bram!” desak Hilbram menggigit lembut cuping Ayesha.Bibir itu tidak juga bersuara, membuat Hilbram harus memaksanya untuk patuh.“Panggil namaku!&r
Ada notifikasi email dari ponselnya. Ayesha membukanya dan jadi menghela napas panjang.Undangan resmi rapat akhir tahun ajaran bersama pihak yayasan.Jujur, dia baru sekali ini mengikuti rapat bersama pihak yayasan. Tidak tahu seperti apa model rapatnya. Apa saja yang dibicarakan dan hal lainnya.Yang diresahkannya adalah, Belinda memintanya mengakui tentang pembulian anak-anak dikelasnya. Atau, dia akan mempermalukan Ayesha di rapat bersama itu.“Kau terlihat tegang? Apa ada yang mengusikmu?” tanya Hilbram sepagi itu melihat Ayesha sudah rapi. Tapi raut mukanya seolah memikirkan hal berat.Ayesha menggeleng dan mengulas senyum di wajahnya. Pria ini juga sedang sangat sibuk. Dia tidak akan menganggunya.Semalam, dini hari baru pulang. Dan sepagi ini pun sudah bersiap di meja kerjanya karena harus berkordinasi dengan Rahman yang menghandle urusannya di Qatar. Ayesha tidak sampai hati membuatnya lebih repot lagi.&ldq
“Bu Ayesha izin tidak ikut rombongan bus guru saat pulang acara champ. Pasti kejadian itu setelah acara champ, lihat saja tempatnya di sekitar area champ kita!”Bisik-bisik mulai mendengung dan banyak gumaman yang lain menambah berisik ruangan.Hingga suara Dirga membuka michropon, membuat yang lain terdiam menunggu apa yang akan disampaikannya.“Maaf, bukannya saya tidak menghormati pimpinan rapat. Tapi saya ingin memberikan klarifikasi gambar itu.”Arif yang menjadi pimpinan rapat tidak menolak. Dibiarkannya sang putra menjelaskan apa yang ingin dijelaskannya.“Sebenarnya ini adalah kamera dokumentasi pelaksanaan champ beberapa hari yang lalu. Ketika rombongan pulang, saya masih ada sedikit urusan bersama Tiko dan uwais yang ikut mobil saya. Tidak tahunya dua anak itu malah membidik kameranya pada dua insan yang sedang bucin itu. Bahkan di tempat umum pun mereka masih terlihat bucin dan bermesraan. Sunggu
“Selamat ulang tahun, Sayang!” bisik Hilbram di telinga Ayesha yang semalaman terlelap manja dalam dekapannya itu. Mata itu terbuka perlahan. Melihat suaminya sudah nampak berseri dia hanya menunduk malu. Rona pipinya jadi kemerahan. “Kenapa? Kau tidak suka hadiahku semalam?” Hilbram mengelus pipi yang kemerahan itu. “Hadiah yang mana?” Otak Ayesha sudah blank saja sepagi ini. “Hmm?” Hilbram menatapnya heran, apa sudah lupa hadiah yang diberikannya? Apa maksud Ayesha menanyakan hadiah yang mana? Hilbram jadi menahan senyumnya. “O-oh, suka, kok, Mas. Terima kasih!” dengan cepat Ayesha menjawab. Dia akan bertambah malu kalau saja sampai ketahuan memikirkan hadiah satunya lagi. Mudah-mudahan Hilbram tidak memahami maksudnya. “Terima kasihnya untuk hadiah yang mana?” Hilbram malah menggodanya. Ayesha mencebik sebal dan membuat Hilbram terkekeh. Apa pria ini benar-benar ingin membuatnya malu habis? “Benar ‘kan kata orang, setelah mengalami pertengkaran dan masalah, membuat hubung
Saat Hilbram meraih jemari itu dan menciuminya, Ayesha baru tersadar seharusnya menarik tangannya dari suaminya itu. Dia masih bingung dengan dirinya sendiri, sementara Hilbram terus berusaha memepetnya.“Sebelum meninggal, Kakek benar-benar memohon padaku agar menjaga dan menyelamatkan anak-anaknya. Aku terlibat janji yang tidak bisa aku ingkari—pada pria yang sudah memberikan hidup dan segalanya padaku. Aku harap kau bisa memakluminya, Sha. Setelah ini aku janji hidup dan matiku hanya tentangmu dan anak-anak kita,” ucap Hilbram berharap Ayesha memberinya sedikit pengertiannya.Kata-kata yang ditandaskan Hilbram semakin membuat Ayesha merasa begitu egois. Dia gelisah namun tidak lagi bisa berkutik dengan banyak alasan lagi untuk menghindar.“Kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku, Sayang. Aku harap kau mengingatnya dengan baik.”Hilbram sungguh tidak sabar dengan keadaan yang bertele-tele ini. Dia mereng
“Aku baru tahu kalau sering berhubungan bisa membuat persalinan lancar.” Hilbram sepertinya sengaja mengulas perkataan dokter tadi saat mereka sudah di jalan pulang. Ayesha memang pernah membaca hal seperti itu, tapi tidak menyangka kalau dokter tadi menyarankannya begitu. Mana belum-belum dia sudah bilang janji, lagi, akan melakukan saran dokternya. “Itu kalau tidak sungsang, kalau sungsang percuma juga melakukannya!” Ayesha sedikit sebal karena pria ini seolah tampak bersemangat setelah mendengar hal itu. Pasti di kepalanya yang mesum itu sudah membayangkan tidur bersamanya. “Sepertinya kau keberatan kalau lahiran normal? Tidak apa juga sih, kita bisa pindah ke kota untuk proses persalinanmu.” “Enggak begitu, aku justru mau lahiran normal. Adam dulu lahir normal, kalau bisa adiknya juga harusnya lahir normal. Lagian, lahir dengan alami akan baik juga bagi kesehatan bayinya.” Sebenarnya Ayesha menyembunyikan kenyataan kalau dirinya takut jika membayangkan tubuhnya dibedah. Tidak
Kata-kata Ayesha seperti panah yang menancap tepat di jantung Hilbram. Pria ini sudah dikubangi perasaan yang bersalah sepanjang waktu. Terisak tanpa suara dan menangis tanpa air mata. Menyesap luka-luka batinnya seorang diri. Dan kini, mendengar langsung kekecewaan sang istri, perasaanya laksana kertas yang diremas-remas hingga meski di luruskan lagi bekas itu tetaplah sulit dilenyapkan.Matanya memerah dan dia hanya bisa menunduk sedih. Ingin sekali dia bersimpuh di kaki Ayesha dan bersujud padanya agar wanita itu tahu, dia sungguh merasa bersalah. Hatinya remuk mendengarnya mengalami semua ini.Namun wanita itu sudah bangkit dan terburu meninggalkannya. Sepertinya, Ayesha masih sangat terluka. Hilbram jadi sedih dan cemas menatap pintu kamar itu. Apakah istrinya di dalam sana sedang menangis?Dia jadi merasa kehadirannya sangat tidak ada gunanya.Ayesha berusaha mengontrol dirinya. Dihelanya napas panjang kemudian dia mulai se
Mbok Sri masuk untuk mengambilkan minyak dengan aroma eucaliptus. Dia mengatakan Ayesha menyukai aroma itu karena membuatnya merasa tenang dan nyaman.Hilbram mengambil botol minyak itu dan bergegas hendak ke kamar Ayesha. Namun Mbok Sri yang suka bertutur itu merasa harus memberitahunya dulu. “Habis mijit di kaki, biasanya Mbak Ayesha minta diolesi di perutnya. Soalnya kadang suka terasa gatal kalau tidak diolesi minyak,” Mbok Sri memberitahu apa adanya. Mereka suami istri, jadi sekalian agar Hilbram tahu kebiasaan istrinya itu.“Oh, baik, Mbok!”“Tapi ingat, Mas. Tidak boleh dipijit perutnya, hanya di olesi dengan lembut.” Perempuan itu mengingatkan, siapa tahu Hilbram tidak paham bahwa wanita hamil tidak boleh dipijit di bagian perutnya.“Iya, terima kasih atas penjelasannya, Mbok.”“Kalau begitu saya suapi Den Adam dulu ya, Mas. Sekalian mau bilang, ha
Adam terlihat senang sekali melihat kambing yang diikat di halaman samping rumah. Anak kecil itu menyodorkan rumput pada moncong kambing itu, yang kemudian segera dilahap kambingnya.Hal seperti itu saja sudah membuat Adam tertawa senang dan heboh sekali. Dia terlihat sangat bahagia apalagi sang papa sudah ada di dekatnya.“Papa, mana Pus?” Adam tiba-tiba menghampiri Hilbram karena teringat kucingnya.Saat pergi bersama kakeknya naik kereta mengelilingi kota Zermatt waktu itu, Adam membawa serta kucingnya. Sayangnya, dia harus meninggalkannya di stasiun Kota Visp ketika terjadi pengejaran. Tidak di sangka, Adam mengingat kucingnya itu lagi. “Oh, nanti kita cari pus lagi, ya?” jawab Hilbram lembut.Hilbram mengangkat Adam dan mendudukannya di pangkuan. Dia rindu sekali dengan putranya itu. diciuminya Adam dan sedikit bercanda dengannya.Bocah itu sudah banyak bicara sekarang. Padahal baru 4 bulan mer
Elyas sudah bersiap di depan rumah untuk di antar Miko ke stasiun kereta terdekat, mengingat sudah memutuskan akan berangkat sendiri dengan kereta api. Dia tidak ingin Miko meninggalkan Ayesha meski sudah ada anak buahnya yang lain berjaga.Adam merajuk pengen ikut, tapi entah apa yang disampikan Miko hingga anak kecil itu tidak lagi merajuk. Kini kembali ke sang mama yang masih berdiri di teras untuk melepas sang ayah.Sayang sekali, tiba-tiba ada tamu tidak di undang yang membuat Elyas tidak bisa segera masuk ke dalam mobil Miko.“Lho, Pak Carik? Ada apa?” sapa Elyas melihat pria yang waktu itu memberitahu ada surat untuknya, kini datang pagi-pagi padanya.“Saya bukan Pak Carik lagi, Pak. Pak Cariknya sudah tidak cuti. Jadi sudah tidak gantin tugas lagi.”Miko yang awalnya tampak awas mulai menatap pria itu sedikit santai. Sepertinya bukan pria yang berbahaya.“Ehem, okelah, Pak Tono mau apa?&rdquo
“Anak pintar makan yang banyak, ya!” tutur Ayesha pada Adam agar mau makan dengan lahap.“Ya, Mama...” sahut bocah lucu itu sambil terus mengunyah makanan yang sudah disuapkan ke dalam mulutnya.“Adik makan?” Adam menunjuk-nunjuk perut Ayesha yang membuncit itu, di dalam sana Adam sudah paham bahwa ada mahluk yang akan dipanggilnya adik.“Iya, Adik nanti makan sama Mama. Adam harus makan banyak biar kuat, biar besok bisa jagain adiknya.” Ayesha memberi pengertian pada anaknya yang tidak tahu apa sudah bisa memahaminya atau belum? Usianya baru 2 tahun lebih beberapa bulan. Masih sangat dini seharusnya memiliki seorang adik. Apalagi mengingat rumah tangganya kini mulai retak. Ayesha terkadang sempat berpikir, apakah keputusannya meminta cerai adalah hal yang tepat?Suara mobil terdengar di halaman rumah membuat Adam yang sedang disuapi Ayesha bangkit dan berlari keluar. Ayesha jadi ikut pen
“Om Bobby, aku pasrahkan perusahaan di Indonesia saat ini atas nama Farin. Itu haknya sebagai cucu keluarga Al Faruq. Tolong jaga untuk keponakan dan tanteku. Aku yakin, Om bisa melakukannya dengan baik," tutur Hilbram di depan para anak dan menantu keluarganya itu.Saat ini, dia akan melepas seluruh tanggung jawab untuk melindungi mereka dengan memberikan kekuasaan sehingga mereka bisa mengatur dan melindungi diri mereka masing-masing.Hilbram harus mengambil langkah ini meski akan keluar dari wasiat kakek neneknya yang menyerahkan sepenuhnya perusahaan Al Faruq atas namanya. Hilbram tidak ingin lagi mengabaikan keluarga kecilnya hanya untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lain.“Tentu, Bram. Aku akan berusaha mengelolanya dengan baik.” Bobby menampakan kesanggupannya menerima tanggung jawab yang besar itu dari Hilbram—yang seharusnya semua ini adalah miliknya.“Terima kasih, Bram!” Hamida ber