Syera yang baru saja terjaga kembali dibuat terlonjak ketika tubuhnya ditarik paksa oleh Rebecca—ibu mertuanya. Wanita itu meringis pelan ketika lututnya bergesekan dengan lantai dan sepertinya sedikit terluka. Rebecca menghempas lengan Syera yang diseretnya, kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya, seakan sedang membersihkan kotoran dari sana. “Semakin hari, tingkahmu semakin berani saja! Kamu pikir setelah putraku menikahimu, kamu bisa menjadi nyonya di rumah ini?” Syera yang tak terima atas perlakuan buruk Rebecca langsung berusaha bangkit dari posisinya. Dihiraukannya nyeri yang bersarang di lututnya. Sebelumnya ia tidak sempat melakukan perlawanan, tetapi sekarang tidak lagi. “Apa Anda tidak bisa bertanya baik-baik dulu sebelum melakukan sesuatu, Nyonya? Perlu Anda tahu kalau aku tidak seperti yang Anda tuduhkan. Aku tidak pernah memggoda siapa pun! Putra Anda sendiri yang memintaku menemaninya di kamar ini semalam.” Syera tak menyangka paginya kali ini akan menjadi suram karen
Tanpa sadar Syera melangkah mundur, seakan sedang memberi ruang untuk Tama dan seorang wanita asing yang bersama lelaki itu masuk. Ia berusaha menerka siapa gerangan wanita cantik berpakaian modis itu. Namun, wajah itu terasa cukup familiar baginya. Rasanya Syera sudah seperti seorang istri yang memergoki suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain. Meskipun kenyataannya memang seperti itu, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Ia tidak merasa sakit hati atau dikhianati. Mungkin hanya sedikit kecewa, karena dirinya sudah menunggu lelaki itu berjam-jam dan ternyata yang ditunggu olehnya malah asyik bersama wanita lain. Sesaat, Syera menatap keduanya secara bergantian tanpa membuka suara. Karena tak ingin dianggap pengganggu, wanita itu nyaris membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, suara wanita yang datang bersama Tama itu menginterupsi langkahnya. “Jadi, kamu yang menabrak Kirana?” Wanita bernama Viandra itu sembari bergerak memutari Syera dan melipat kedua tangannya
Helaan napas berat berulang kali lolos dari bibir Syera. Wanita itu menatap ke arah jendela di sampingnya dengan pikiran berkelana ke mana-mana. Ia tidak tahu mengapa dirinya malah nekat melakukan ini. Padahal jelas-jelas lebih baik jika ia berpura-pura tidak tahu saja. Pesan terakhir dari pengirim misterius itu cukup mengganggu pikiran Syera. Membuat dirinya yang seharusnya sudah bergelung di bawah selimut saat ini malah berada di sini. Menunggu sampai mobil yang dikendarai oleh salah satu supir Tama ini tiba di alamat yang dirinya tunjukkan sebelumnya. Tama pernah memberikan ultimatum jika dirinya tidak diperbolehkan keluar rumah dan seharusnya ia cukup menurut saja. Sayangnya, entah kenapa hatinya malah tergerak untuk mendatangi alamat tersebut tanpa memedulikan segala risikonya. “Nona, kita sudah sampai di alamat yang Anda berikan tadi,” ucap sang supir yang berhasil membuyarkan lamunan Syera. Syera mengedarkan pandangan, menatap gedung bertingkat di hadapannya dengan soro
Syera bertingkat kaget mendengar pintu yang tertutup dengan suara nyaring. Setelah memastikan jika Tama telah pergi, ia baru berani mengubah posisinya. Pelan-pelan wanita itu bangkit dengan bibir meringis karena tubuhnya terasa remuk redam. Alih-alih langsung beranjak dari ranjang, Syera malah sengaja mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Manik matanya kembali berkaca-kaca karena tak sengaja melirik bercak darahnya yang mengotori seprei. Netranya bergulir menatap pakaiannya yang berceceran di mana-mana dengan kondisi terkoyak. Syera memejamkan matanya sembari menghela napas berat. Setetes cairan bening kembali lolos dari matanya yang membengkak. Ia membiarkan air matanya kembali mengalir dan membasahi wajahnya. Hidupnya yang telah lama hancur semakin hancur karena peristiwa semalam. “Sampai kapan kamu akan menangis di sini? Berharap ada orang yang ada dan mengasihani dirimu?” sindir Tama yang kembali datang dengan sebuah paper bag di tangannya. “Cepat pakai itu dan buang b
Syera tak sempat menarik tangannya ketika Viandra sengaja melukai lengannya sendiri menggunakan pecahan cangkir itu. Darah segar sudah mengalir dari tangan wanita itu yang tersayat cukup dalam saat orang-orang mulai berdatangan. Viandra sengaja menjatuhkan lututnya di lantai sembari menjerit kesakitan. Syera menatap Viandra dengan sorot tak percaya, tidak menyangka wanita itu akan memfitnah dirinya dengan drama menjijikkan. Wajahnya berubah merah padam, menahan amarah yang perlahan mulai menyelimuti dadanya. “Aku tidak melakukan apa pun! Aku tidak melukaimu!” pekik Syera dengan napas memburu. “Kamu sendiri yang memecahkan cangkir itu! Jangan memfitnahku! Jelas-jelas kamu yang melukai tanganmu sendiri!”“Kamu pikir orang gila mana yang akan mempercayaimu, hah?! Aku tidak mungkin melukai diriku sendiri! Setelah membunuh sepupuku, apa sekarang kamu juga ingin menghabisiku?” balas Viandra setengah membentak dengan air mata yang sudah bercucuran. Berbagai tatapan tertuju pada Syera.
Syera hanya bisa pasrah di posisinya dan membiarkan Tama melakukan apa pun yang lelaki itu inginkan sesuka hati. Tama tidak memperlakukan dirinya dengan kasar seperti tempo hari, namun tetap saja Syera tak kuasa untuk sekadar memberontak. Tama berhasil membuat Syera berdiri pasrah dengan posisi yang kurang menguntungkan untuk memberontak. Tiba-tiba wanita itu merasakan sesuatu yang asing dan membuatnya tersentak sebelum kembali lunglai. Syera sontak membuka mata ketika tak merasakan sentuhan lelaki itu lagi. Wajahnya semakin merona melihat Tama yang sudah kembali berdiri di hadapannya dan kini sedang menatapnya. Wanita itu spontan mengalihkan pandangan dan berdeham pelan. Buru-buru ia meraih handuknya yang teronggok di lantai dan segera mengenakan benda itu dengan benar. Sebelah sudut bibir Tama terangkat. Lelaki itu maju selangkah, sengaja mempertipis jarak di antara dirinya dan Syera. “Ini adalah hukuman karena kamu berani berpenampilan seperti ini di depanku. Diam di sini, j
Penolakan Tama membuat atmosfer yang melingkupi kamar Elvina langsung memanas. Syera yang tidak ingin ikut campur memilih berpura-pura tidak mendengar dan menggendong Elvina yang menangis. Tampaknya bayi itu juga tak ingin pergi ke mana-mana. “Apa? Tidak boleh? Kamu pikir kamu bisa melarang Mama membawa cucu Mama sendiri? Kamu tidak boleh egois, Tama! Mama juga berhak mengasuh Elvina. Apalagi kalau kamu terus mempertahankan pembunuh itu di sini, lebih baik Elvina tinggal bersama Mama!” tegas Bianca yang mulai tersulut emosi. Tama memijat pelipisnya yang berdenyut. “Ma, aku tidak melarang. Tapi, sebelum aku menemukan kejelasan tentang kecelakaan Kirana, aku tidak mau Elvina lepas dari pengawasanku. Mama bisa mengasuhnya di sini.”Syera yang diam-diam mencuri-curi pandang sontak memalingkan wajah ketika Tama melirik ke arahnya. Berpura-pura kembali mengajak Elvina mengobrol, padahal tengah menajamkan telinga dan mendengarkan pembicaraan orang-orang di dekatnya. Syera cukup terkej
Syera duduk bersebrangan dengan Tama nyaris menyemburkan air minumnya saat mendengar jawaban enteng lelaki itu. Bukan hanya petugas kapal di hadapan mereka yang terkejut, tetapi juga beberapa rekannya yang berada di dekat sana. Tidak banyak orang yang mengetahui pernikahan mereka. Terlebih, di tempat ini ada lebih banyak karyawan keluarga Tama yang bekerja di kantor ataupun tempat lainnya. Sudah jelas mereka tidak mungkin mengetahui pernikahan Tama dan Syera. Syera berdeham keras, sengaja menginterupsi Tama agar segera meralat kalimat yang terlontar dari mulut lelaki itu sebelumnya. Namun, sang empunya malah bersikap santai, seolah tidak melakukan kesalahan apa pun, dan hanya meliriknya sekilas. “Aku tidak masalah satu kamar dengan karyawan lain kalau pemilik kamarnya juga tidak keberatan.” Karena Tama tidak bisa diajak berkompromi, Syera memutuskan membuka suara. “Bisa tolong tunjukkan di mana kamarnya? Aku harus menyimpan barang-barangku.” Sedari tadi Syera sudah menahan malu ka
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas