Penolakan Tama membuat atmosfer yang melingkupi kamar Elvina langsung memanas. Syera yang tidak ingin ikut campur memilih berpura-pura tidak mendengar dan menggendong Elvina yang menangis. Tampaknya bayi itu juga tak ingin pergi ke mana-mana. “Apa? Tidak boleh? Kamu pikir kamu bisa melarang Mama membawa cucu Mama sendiri? Kamu tidak boleh egois, Tama! Mama juga berhak mengasuh Elvina. Apalagi kalau kamu terus mempertahankan pembunuh itu di sini, lebih baik Elvina tinggal bersama Mama!” tegas Bianca yang mulai tersulut emosi. Tama memijat pelipisnya yang berdenyut. “Ma, aku tidak melarang. Tapi, sebelum aku menemukan kejelasan tentang kecelakaan Kirana, aku tidak mau Elvina lepas dari pengawasanku. Mama bisa mengasuhnya di sini.”Syera yang diam-diam mencuri-curi pandang sontak memalingkan wajah ketika Tama melirik ke arahnya. Berpura-pura kembali mengajak Elvina mengobrol, padahal tengah menajamkan telinga dan mendengarkan pembicaraan orang-orang di dekatnya. Syera cukup terkej
Syera duduk bersebrangan dengan Tama nyaris menyemburkan air minumnya saat mendengar jawaban enteng lelaki itu. Bukan hanya petugas kapal di hadapan mereka yang terkejut, tetapi juga beberapa rekannya yang berada di dekat sana. Tidak banyak orang yang mengetahui pernikahan mereka. Terlebih, di tempat ini ada lebih banyak karyawan keluarga Tama yang bekerja di kantor ataupun tempat lainnya. Sudah jelas mereka tidak mungkin mengetahui pernikahan Tama dan Syera. Syera berdeham keras, sengaja menginterupsi Tama agar segera meralat kalimat yang terlontar dari mulut lelaki itu sebelumnya. Namun, sang empunya malah bersikap santai, seolah tidak melakukan kesalahan apa pun, dan hanya meliriknya sekilas. “Aku tidak masalah satu kamar dengan karyawan lain kalau pemilik kamarnya juga tidak keberatan.” Karena Tama tidak bisa diajak berkompromi, Syera memutuskan membuka suara. “Bisa tolong tunjukkan di mana kamarnya? Aku harus menyimpan barang-barangku.” Sedari tadi Syera sudah menahan malu ka
Syera yang sudah tersulut emosi, tanpa sadar langsung mendorong wanita berseragam pelayan di hadapannya itu. Ia mengedarkan pandangan, menatap tajam orang-orang yang sedari tadi begitu asyik menggunjingkan dirinya. “Kalau kalian tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, lebih baik diam dan jangan asal menuduh!” tegas Syera dengan wajah mengeras. Syera tak ingin melakukan ini kalau saja mereka tidak menguji kesabarannya hingga ke ambang batas. Sedari tadi ia sudah mencoba bersabar dan menulikan pendengarannya. Akan tetapi, mereka terus saja berkicau seolah-olah dirinya tidak berada di sini. Syera sengaja ingin menyibukkan diri di sini karena tak bisa tidur lagi. Namun, sepertinya ia salah memilih tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak terlalu bagus malah semakin kacau. Bahkan, orang-orang yang ada di sini lebih berani mengatai dirinya dibanding para pelayan di kediaman Tama. “Justru karena kami tahu, makanya kami berbicara seperti itu,” jawab wanita yang berdiri di samp
Mual yang menderanya tiba-tiba menguap tak bersisa. Pertanyaan Tama berhasil membuat Syera membeku. Namun, sepersekian detik kemudian wanita itu kembali menetralkan ekspresinya. “Kenapa Tuan bertanya seperti itu?” Diam-diam Syera kembali mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia sedikit lega menyadari hanya mereka saja yang berada di sana. Semoga benar-benar tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka. Karena itu bisa menimbulkan banyak spekulasi negatif. Pertanyaan yang Tama berikan sukses menyentil sudut hati Syera. Ia baru ingat kalau hingga saat ini dirinya belum mendapat tamu bulanannya. Tetapi, Syera tak ingin berpikir macam-macam. Mungkin saja tamu bulanannya sedikit terlambat datang karena dirinya kelelahan. Di tengah kekhawatiran yang perlahan-lahan mulai menggerayanginya, Syera berusaha meyakinkan diri jika tidak akan ada yang terjadi padanya. Gejala yang ia alami saat ini hanyalah karena masuk angin dan kelelahan, bukan karena alasan lain. “Kamu tidak mungkin melupaka
Syera membuka matanya perlahan-lahan, samar-samar garis yang tertera pada alat tes kehamilan itu mulai terlihat. Tentu saja ia sangat berharap hanya ada satu garis di sana. Namun, tampaknya semesta sedang tidak berpihak padanya. Dua garis berwarna merah itu terpampang jelas di depan matanya. Syera spontan membekap mulutnya yang nyaris memekik. Kakinya mendadak lemas hingga tubuhnya meluruh di lantai toilet yang dingin. Setetes cairan bening lolos dari manik matanya yang menatap nanar benda pipih di tangannya itu. “Ti-tidak mungkin! Kenapa harus seperti ini?” gumamnya lirih. Meskipun belum memiliki pengalaman, Syera tahu apa artinya dua garis yang melintang pada alat tes kehamilan itu. Dirinya hamil. Peristiwa malam itu meninggalkan satu nyawa di rahimnya. Betapa bodohnya ia tidak memikirkan kemungkinan ini sebelumnya. Seharusnya Syera lebih cepat melakukan pencegahan dengan cara apa pun. Sekarang semuanya sudah terlanjur terjadi. Wanita itu meremas piyama tidurnya sembari mena
Kepala Syera nyaris terbentur dashboard mobil ketika Tama tiba-tiba menginjak rem tanpa sebab. Jantungnya berdetak keras, seolah akan keluar dari tempatnya. Wanita itu kontan menoleh ke samping, melirik tajam Tama yang dengan santai kembali melajukan mobilnya. “Kalau Anda ingin bunuh diri, jangan libatkan aku. Masih ada banyak hal yang belum kirain dan aku tidak mau mati muda!” gerutu Syera sinis. Cukup lama Tama tidak memberi tanggapan apa pun dan fokus menatap jalanan di hadapannya. Syera menebak jika aksi membahayakan yang lelaki itu lakukan barusan adalah imbas dari pertanyaannya. Pertanyaan itu juga spontan tercetus dari mulutnya. Syera menghela napas berat. Seharusnya ia sadar diri jika Tama tidak mungkin melepasnya semudah itu. Lelaki itu sangat terobsesi mengikatnya dengan kontrak seumur hidup. Sangat mustahil Tama tiba-tiba membiarkan dirinya hidup bebas di luar sana. “Memangnya kamu siap berpisah dengan anak itu?” Tama yang cukup lama terdiam akhirnya membuka suara.
Pesan itu berhasil membuat senyum Syera memudar. Ia lupa kalau Viandra juga ikut serta dalam liburan ini. Seharusnya, kalau Tama memang tidak memiliki niatan mengabulkan keinginannya, lelaki itu tidak perlu menjanjikan apa pun. “Apa dia tidak bisa mengirim pesan yang lebih enak dibaca?! Atau setidaknya meminta maaf karena membatalkan janjinya sendiri?!” gerutu Syera seraya menekan tombol close pada layar ponselnya dan langsung menyimpan benda pipih itu di tempat semula. Syera mengelus perutnya dengan ekspresi muram. “Kita harus terbiasa dengan hal-hal seperti ini, oke? Meskipun daddymu seperti itu, Mommy tetap menyayangimu. Kita pasti bisa melewati semuanya bersama-sama.” Mungkin Syera yang tadi berharap terlalu tinggi. Berpikir Tama akan semudah itu mengabulkan permintaannya yang pasti terkesan konyol di mata lelaki itu. Ia terlalu antusias sampai lupa jika dirinya tidak sepenting itu di mata Tama. Setelah ini, Syera tidak akan meminta apa-apa lagi. Kalaupun kebetulan menginginkan
“Kamu punya kenalan yang tinggal di dekat sini?” tanya Tama yang tidak jadi melahap masakan buatannya. Tentu saja Syera langsung menggeleng. Jangankan kenalan, dirinya saja belum pernah menginjakkan kaki di tempat ini sebelumnya. Terlebih dirinya juga jarang keluar dari vila, tidak banyak orang yang ia temui selain orang-orang yang menempati tempat ini. “Kamu makan saja, biar aku yang menemuinya.” Tama langsung mendorong kursi yang di tempatinya dan bergegas beranjak pergi dari sana. Syera yang juga penasaran memilih mengikuti Tama sembari menyuapi Elvina. Ketika hendak berbelok ke lorong yang terhubung dengan pintu utama, ia malah mendapati suaminya sedang berdebat dengan seseorang di dekat pintu samping. Syera mengerutkan keningnya saat melihat Dareen yang tampaknya ingin masuk, namun dihalangi oleh Tama. Meskipun sebenarnya tak ingin ikut campur, rasa penasaran membuatnya tanpa sadar melangkah mendekat ke sana. Syera baru tahu kalau Dareen juga berada di tempat ini karena s
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas