"Ssst, jangan teriak, aku nggak bakal apa-apain kamu." Anjas yang sekarang berada di dalam tenda Nasya. Sementara Nasya saat itu hanya diam saja, "Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu, mau nggak kamu?"!Nasya yang tidak paham dengan sikap Anjas yang tiba-tiba itu hanya mengangguk, berharap bahwa Anjas tidak akan melakukan hal buruk kepadanya. Mereka pun keluar dari tenda, berjalan-jalan di malam hari hingga akhirnya tiba di tempat yang Anjas inginkan. Jauh dari tenda. Jauh dari yang lainnya. Nasya tak paham dengan sikap Anjas tetapi dia juga tidak melawan. "Lihat." Anjas menunjuk ke arah semak di antara pepohonan di malam hari, semak yang dihiasi dengan kunang-kunang yang bercahaya emas. "Pecinta alam akan sangat suka dengan pemandangan ini. Aku sudah sering melihatnya, tapi kebanyakan orang-orang yang bisa menikmati pemandangan ini hanya ada di desa, tidak di kota. Kunang-kunang sudah mulai punah dan sangat jarang ditemukan di kota seperti ini." Anjas yang menangkap satu kunang-kunang l
"Gue tidak akan pernah menyerah apa pun rintangannya, Nasya bakal jadi milik Gue!" Anjas yang mahasiswa aja menatap ke arah Nasya, dia berpura-pura masuk ke dalam area fakultas bahasa hanya agar bisa bertemu dengan Nasya. Kali ini dia mengikuti Nasya masuk ke dalam perpustakaan pusat yang terletak di dalam fakultas bahasa. Sudah mencari tahu banyak hal mengenai Nasya. Walaupun dia merasa bahwa banyak yang mencurigai dirinya karena akhir-akhir ini dia sering kali bertanya mengenai pacar dari Jaka. Jadi sudah banyak yang tersebar berita bahwa Anjas menyukai Jaka. "Lu udah dengar nggak, Jak, kalau Anjas naksir sama cewek lu?" Pertanyaan yang diberikan oleh teman sekelas Jaka, mereka sekarang berada di kantin, "Gue heran sih, kenapa lu berdua naksir sama Nasya, padahal dia itu biasa aja, apalagi dia juga nggak berasal dari keluarga terpandang, orang tuanya dia aja dari desa, ya walaupun dia cukup punya nama karena penulis karya tulis ilmiah yang jadi kebanggan kampus. Tapi selebihnya ng
"Ya elah Anjas, kok sampai kau bunuh diri, jangan bercanda lu!" Temannya menepuk lengan Anjas dan membuat Anjas terhentak, "Lu pikir bakal mudah buat nyuruh cewek cantik ngegoda cowok kayak Jaka? Kurus gitu siapa yang mau. Kalau gue ya, mungkin Jaka bakal ada yang suka, karena bapak dia orang kaya, lah kalau sekedar ngejebak aja kan, aduh cewek mana yang nafsu sama dia, Anjas! Itu pun si Nasya juga sebanding, dia mau cantik tapi cantiknya biasa aja, jadi serasi lah sama Jaka, tapi kalau nyuruh cewek paling cantik, susah pasti." Anjas memahami perkataan temannya, tetapi teman-temannya sama sekali tidak paham dengannya, tidak paham dengan perasaan dan apa yang dirasakan Anjas mengenai Nasya. Saat teman-temannya menceritakan Nasya, bahwa gadis itu biasa-biasa saja, maka Anjas mengingat mengenai pertama kali dia melihat Nasya, senyum yang mekar, bibir yang berisi tapi tidak tebal, mata yang membentuk sabit, dan lesung pipi, ya jangan lupakan itu. Anjas tidak bosan menatapnya. Dan dia tid
"Aku sayang sama kamu Nasya kamu mau kan nikah sama aku?" Mereka saling bertatap di atas gedung di bawah langit malam, "Aku udah beli rumah, dan aku kau kamu liat rumah itu hari ini, buat kita, untuk pernikahan kita," ucap Anjas sekali lagi. "Rumah?" "Iya, aku pengen kita nikah secepatnya, aku juga udah dapat pekerjaan dan udah bisa beli rumah karena tabunganku, semua itu buat kita, kamu dan keluarga yang akan kita bangun. Aku cuman mau kamu cepat lulus saja, tahun ini kan kamu udan lulus kuliah, dan aku juga sudah punya pekerjaan tetap, jadi aku sama kamu sudah bisa nikah, tabungan ku juha semuanya udah banyak, ayo Nasya, kita nikah." Nasya terharu, dia langsung meneteskan air mata, secepat ini? Bahkan Nasya belum punya pekerjaan dan tidak memberitahu orang tuanya mengenai pernikahan, dan Anjas langsung mengajaknya menikah. "Kenapa ... Kenapa kamu nangis, apa ada yang salah ... Apa kamu nggak mau nikah sama aku ... Kenapa?" Nasya menggelengkan kepala dan tersenyum, "Ngg
"Anjas ... Tolong ... Tolong pelan-pelan ... Ah ... Ah ... Ah ... Ini pertama kalinya, buat aku Ah ...." "Ini ... Juga pertama kalinya buat aku." Nasya mendesah apalagi ketika Anjas mulai memasukkan batang yang mengeras itu, junior miliknya yang sudah sangat lama ingin menyentuh Nasya yang sudah sangat ingin menyentuh kekasihnya. "Argh ... Sakit." "Memang sakit, awalnya. Kata orang, memang pada awalnya, perempuan akan kesakitan saat pertama kali." Nasya mengigit bibir bagian bawahnya, dan meremas seprei kasus, tetapi Anjas dengan pelan-pelan dia terus mendorong pinggulnya dan membuat Nasya mengerang. "Tapi perlahan demi perlahan Nasya, sayang ku, kamu juga akan suka." Anak muda menang seperti itu, mereka mengetahui cara bercinta dengan sendirinya, tanpa diberitahu, dan ketika mereka sudah merasakannya, maka mereka tidak akan berhenti, Anjas memang jujur, bahwa ini adalah pertama kalinya dia melakukan hubungan intim, dan Nasya pun demikian, tidak ada yang berbohong di sini, mere
Semua memori yang Anjas miliki mengenai Nasya tiba-tiba saja muncul, mulai ketika pertama kali mereka bertemu hingga akhirnya menikah, tapi sekarang bagaimana dia akan bertahan sendirian, tanpa Nasya. Mungkin dia akan mencoba, apalagi tabungan yang dia miliki mulai menipis, dia juga tidak bekerja lagi dan sebaiknya dia mencari pekerjaan, surat perceraian Nasya juga sudah datang padanya tapi masih belum dia tandatangani. Mungkin saat ini yang Anjas lakukan sebaiknya adalah menonton berita, televisi dan hidup tenang tanpa memusingkan sesuatu yang hanya akan menguras tenaganya, saat ini Anjas duduk dengan kaki terlentang ke depan, di atas sofa. Dan berita yang pertama kali muncul di layar televisi adalah berita mengenai pria yang ditemukan dengan kondisi patah setelah dia digebukin di dalam gedung kosong, pada nyatanya pria itu adalah sosok yang juga dilaporkan telah melakukan pemerkosaan terhadap salah satu rekan kerjanya. "Bukankah dia teman kerjanya Nasya?" Anjas yang mengernyitka
"Kamu laporin semuanya, Mas?" Nasya yang terlihat sangat panik, dia tinggal di apartemen yang Jaka berikan kepadanya dan tidak ingin tinggal serumah dengan pria lain selama dia masih resmi adalah istri seseorang. "Nggak aku nggak ngelakuin itu, Nasya. Aku cuman nyuruh anak buah aku buat nangkap dia tanpa memberikan informasi apa pun," jelas Jaka yang kuga berusaha untuk memberikan penjelasan kepada Nasya. "Tapi kenapa Mas, kenapa kamu ngelakuin ini, kenapa Mas harus laporin Roy, dia mungkin salah tapi sampai seperti ini? Kan jadinya semakin rumit, bagaimana kalau Mas Anjas tahu? Dia pasti bakal kecewa, dan marah sama aku. Apa mas nggak mikirin aku ya?" "Nasya, justru aku mikirin kamu jadi aku ngelakuin ini semua. Roy pantas akan apa yang dia alami sekarang. Roy pantas menderita. Dia udah ngelakuin hal yang nggak pantas sama kamu, tapi kamu masih mikirin Anjas dan nasib Roy?" Nasya terdiam mendengar perkataan Jaka yang memang benar dan tidak bisa mengelak, sementara Nasya menunduk
"Jadi cowok yang sering berhenti di depan rumah itu, dia?" Anara mengernyitkan kening setelah menyadari bahwa pemuda yang sering mengintip masuk dari kejauhan ke rumah Nasya dan Anjas ternyata adalah Roy. Selama ini Anara memang sudah sangat sering menemukan Roy menatap masuk ke dalam rumah mereka, tetapi Anara sama sekali tidak pernah ingin menegur atau bahkan menggubris mengenai Roy. Yang dilakukan Anara hanya menatap keluar jendela setiap saat tetapi tidak pernah berani untuk mendatangi Roy dan menanyakan maksud dari tindakan yang dia lakukan. Jadi sekarang anara yang duduk hanya dengan menatap ke layar ponsel menerima banyak pesan dan juga membaca banyak berita selain itu sampai saat ini Anjas masih tidak pernah menghubunginya. Sebenarnya Anara masih memiliki sedikit rasa suka atau bahkan harapan terhadap Anjas, karena dia sendiri memang dari dulu menyukai kakak iparnya itu, baikan jika saja Jaka tidak menawarinya untuk menggoda Anjas, maka dia akan tetap melakukan hal yang sam
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa