"Lelah bukan terus menerus mengejar orang yang sama sekali tidak ingin dikejar, seperti ku, Aina?" Jaka bertemu dengan Aina di restoran, dia muak dengan perilaku Aina yang terus mengejar Jaka padahal Jaka sudah jatuh terhadap kecintaan dia kepada Nasya. "Justru menyenangkan bagiku, bermainlah dengan pria yang sama sekali tidak ingin bersama ku, siapa duga ini begitu membuatku sangat tergila-gila pada kamu," ucap dia, Aina begitu membingungkan, apalagi Jaka sekarang sedang sakit kepala, dia tidak mau kembali kepada Aina karena Aina begitu populer dan akan sangat merepotkan berada di sisi seorang gadis yang terkenal seperti halnya Aina yang cantik dan digemari para penggemar. "Semuanya sebaiknya berhenti di sini, aku dan kau seharusnya sudah cukup, rasanya tidak mau lagi aku berurusan dengan mu, apalagi dengan ibuku. lelah kau harus paham, sangat melelahkan. " Tatapan Jaka menunduk, dia tidak ingin melanjutkan pertandingan, jug kebencian yang berada di antara mereka berdua. Tatapan J
Kepala Nasya terasa pusing, dia menyentuh rambutnya yang berantakan dan tiba-tiba saja dia bergumam sesuatu yang aneh, "Aduh apa yang terjadi, kenapa aku di sini, astaga kepala ku sakti sekali, kenapa ...." Dia berhenti bicara sambil menengok ke sisi kiri dan kanan, dia sama sekali tidak bisa mengenali tempat itu, bahkan saat dia bangun, balita berusia setidaknya hampir tiga tahun berada di sampingnya. Mata Nasya membelalak dia lalu bertanya kembali, "Siapa ... Siapa anak ini, astaga ini tidak mungkin, aku harusnya tidak berada di sini, Mas Anjas pasti sudah menunggu ku pulang, sudah jam berapa? Handphone ku di mana, handphone ini punya siapa? Kenapa aku tidak ingat semuanya." Kepala Masya terasa sangat sakit, dia begitu lelah sampai tak menyadari bahwa semuanya sudah berlalu. Dia lalu turun dari ranjang, menuju ke arah jendela dan membuka jendela rumah, menelan saliva berkali-kali lalu kembali berucap, "Ini tidak mungkin, pasti aku sedang bermimpi, astaga, Anara! Mas Anjas! Di mana
Di balik kebingungan yang dia rasakan, setidaknya terdapat rasa yang membuat jantung dna dadanya terasa sesak, sebuah ketidakpastian yang menggerogoti pikirannya. Namun, Jaka berdiri di dekatnya, tangannya perlahan menyentuh bahu Nasya, dia mencoba memberi ketenangan kepada tubuh yang kaku itu. “Nasya." Sambil mengernyitkan kening, "Ini rumah kita, kau dan aku di sini karena kamu memilih untuk meninggalkan masa lalu, kamu di sini, aman bersama aku,, bersama dengan Aysan," tatapan dan suara Jaka lembut, penuh ketulusan. Sayangnya saat ini Nasya malah terlihat semakin bingung. “Rumah kita? Tapi… kenapa aku merasa asing? Mas Anjas… Anara… mereka di mana?” Sepertinya saat ini, penyakit yang pernah diderita olehnya, dan sebuah mimpi buruk kembali datang, ini adalah sesuatu yang akan sangat menyulitkan jika Alzheimer kembali menggerogoti pikiran dan ingatan Nasya. Jaka diam, menarik napas panjang, seperti mencari kata-kata yang tepat. Dia memahami ini bukan pertama kalinya Nasya kehi
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
“Mas, kok semenjak ada Anara di sini, Mas udah nggak pernah nyentuh aku?" Pertanyaan yang sudah memenuhi pikiran wanita bermanik cokelat itu selama dua bulan terakhir akhirnya diungkapkan juga. Sembari sesekali menengok ke arah dapur karena khawatir adiknya sendiri mendengar percakapannya, Nasya kini menatap suaminya dengan nanar. "Aku kan sibuk, lagi ada banyak pekerjaan di kantor, gak punya waktu untuk mikirin itu," ucap Anjas santai, matanya bahkan tak sempat menatap Nasya. Pria itu terlalu sibuk dengan layar laptop yang ada di depannya. Jawaban Anjas tentu saja membuat Nasya kecewa, namun, ia tetap berusaha tak menunjukkan emosinya di depan sang suami. "Mas, tapi katanya mas mau anak dari—” Nasya yang hendak melanjutkan terpaksa menghentikan ucapannya ketika Anara, adik kandungnya, tiba-tiba masuk ke dalam dapur, berjalan pelan sambil bermain ponsel. Selama setahun terakhir, Nasya memang mengizinkan adiknya untuk tinggal di rumah pribadi miliknya dan sang suami karena
Bibir Nasya terbuka, menganga tipis, dia tentu sangat terkejut dan tanpa berpikir panjang dia langsung menelpon Anara tapi sang adik tidak menjawab panggilan Nasya dan lebih memilih mengirimkan pesan kepada Nasya, pesannya berbunyi, “Maaf Mbak, salah kirim.” Nasya yang merasa penasaran akan ke mana Amara mengirim pesan itu, membalas, “Memangnya mau dikirim ke mana gambar kayak gitu?” Nasya menunggu beberapa saat agar Anara menjelaskan tentang pesan salah kirim itu, tapi fokus Nasya terganggu ketika salah seorang murid laki-laki berkata di sampingnya, “Bu Nasya.” Nasya menoleh ke arahnya, “Maaf Bu tapi, Ibu belum mulai mengajar?” “Oh iya astaga, baik, Ibu mulai sekarang ya,” Nasya tersenyum dan memilih untuk menaruh ponselnya dan membuka buku cetak yang berada di samping ponsel miliknya. Maka pada saat ini Nasya memilih untuk mengajar dan memilih untuk lupa dengan apa yang dia baca tadi, atau dia memang lupa. Tak ada bagi Nasya ingatan sama sekali dengan foto yang baru sa