Di balik kebingungan yang dia rasakan, setidaknya terdapat rasa yang membuat jantung dna dadanya terasa sesak, sebuah ketidakpastian yang menggerogoti pikirannya. Namun, Jaka berdiri di dekatnya, tangannya perlahan menyentuh bahu Nasya, dia mencoba memberi ketenangan kepada tubuh yang kaku itu. “Nasya." Sambil mengernyitkan kening, "Ini rumah kita, kau dan aku di sini karena kamu memilih untuk meninggalkan masa lalu, kamu di sini, aman bersama aku,, bersama dengan Aysan," tatapan dan suara Jaka lembut, penuh ketulusan. Sayangnya saat ini Nasya malah terlihat semakin bingung. “Rumah kita? Tapi… kenapa aku merasa asing? Mas Anjas… Anara… mereka di mana?” Sepertinya saat ini, penyakit yang pernah diderita olehnya, dan sebuah mimpi buruk kembali datang, ini adalah sesuatu yang akan sangat menyulitkan jika Alzheimer kembali menggerogoti pikiran dan ingatan Nasya. Jaka diam, menarik napas panjang, seperti mencari kata-kata yang tepat. Dia memahami ini bukan pertama kalinya Nasya kehi
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
“Mas, kok semenjak ada Anara di sini, Mas udah nggak pernah nyentuh aku?" Pertanyaan yang sudah memenuhi pikiran wanita bermanik cokelat itu selama dua bulan terakhir akhirnya diungkapkan juga. Sembari sesekali menengok ke arah dapur karena khawatir adiknya sendiri mendengar percakapannya, Nasya kini menatap suaminya dengan nanar. "Aku kan sibuk, lagi ada banyak pekerjaan di kantor, gak punya waktu untuk mikirin itu," ucap Anjas santai, matanya bahkan tak sempat menatap Nasya. Pria itu terlalu sibuk dengan layar laptop yang ada di depannya. Jawaban Anjas tentu saja membuat Nasya kecewa, namun, ia tetap berusaha tak menunjukkan emosinya di depan sang suami. "Mas, tapi katanya mas mau anak dari—” Nasya yang hendak melanjutkan terpaksa menghentikan ucapannya ketika Anara, adik kandungnya, tiba-tiba masuk ke dalam dapur, berjalan pelan sambil bermain ponsel. Selama setahun terakhir, Nasya memang mengizinkan adiknya untuk tinggal di rumah pribadi miliknya dan sang suami karena
Bibir Nasya terbuka, menganga tipis, dia tentu sangat terkejut dan tanpa berpikir panjang dia langsung menelpon Anara tapi sang adik tidak menjawab panggilan Nasya dan lebih memilih mengirimkan pesan kepada Nasya, pesannya berbunyi, “Maaf Mbak, salah kirim.” Nasya yang merasa penasaran akan ke mana Amara mengirim pesan itu, membalas, “Memangnya mau dikirim ke mana gambar kayak gitu?” Nasya menunggu beberapa saat agar Anara menjelaskan tentang pesan salah kirim itu, tapi fokus Nasya terganggu ketika salah seorang murid laki-laki berkata di sampingnya, “Bu Nasya.” Nasya menoleh ke arahnya, “Maaf Bu tapi, Ibu belum mulai mengajar?” “Oh iya astaga, baik, Ibu mulai sekarang ya,” Nasya tersenyum dan memilih untuk menaruh ponselnya dan membuka buku cetak yang berada di samping ponsel miliknya. Maka pada saat ini Nasya memilih untuk mengajar dan memilih untuk lupa dengan apa yang dia baca tadi, atau dia memang lupa. Tak ada bagi Nasya ingatan sama sekali dengan foto yang baru sa
Kepala Nasya terasa begitu pekat, dia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini dia merasakan rasa sakit kepala yang luar biasa. Bahkan dia tidak ingat apa yang terjadi semalam, bahwa dia malam dia dan Anjas berencana untuk ke rumah sakit. Dia juga tidak ingat bahwa Anjas dan dirinya menjalani malam yang panas, tapi dia bisa merasakan tubuhnya yang saat ini masih lelah. Sesekali dia memijat-mijat keningnya, dan tatapannya kini mengarah ke arah jam dinding yang berada di sebelah barat, sudah jam lima pagi. Hal itu membuat Nasya merasa aneh, tidak sering suaminya bangun terlalu dini, dan kadang Anjas juga harus dibangunkan ketika pagi. “Mas , Anjas?” Nasya memanggil dan memilih untuk berjalan ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, tapi tak ada seseorang di sana. Maka Nasya memilih untuk keluar dari kamarnya, menuju dapur dan mengecek kamar mandi dapur. Tetapi sayangnya suaminya Anjas, masih tidak ditemukan olehnya, Nasya mulai kesal, mungkin saja Anjas lari pagi atau sedang
Ponsel Nasya terus berdering beberapa kali tapi Nasya tidak menjawab panggilan yang sudah sejak tadi memanggilnya, Nasya berpikir mungkin yang memanggil adalah Anjas dan Nasya saat ini sedang tidak ingin bicara dengan suaminya, namun dia salah, karena yang saat ini memanggilnya adalah seseorang yang lain, Jaka. Jaka sendiri adalah atasan Anjas di perusahaan tempat Anjas bekerja, tetapi juga adalah mantan kekasih Nasya saat masih kuliah dulu. Anjas sendiri adalah senior Jaka di jurusan yang sama, dan Nasya lah yang meminta Jaka untuk menerima Anjas bekerja di perusahaan Jaka. Namun saat ini, hampir saja Nasya melempar ponsel miliknya karena berpikir bahwa yang memanggilnya berkali-kali adalah sang suami, kini rasa kesal yang dia hadapi memuncak, hingga akhirnya Nasya menyadari sesuatu bahwa, Nasya yang berjalan menuju ke arah rumah sepulang mengajar tiba-tiba tersadar bahwa dia tidak berada di jalan menuju rumah. Nasya malah menemukan jalan buntu dan berdiri di hadapan dinding