Part 25
Esoknya, kami sudah berkumpul semua di rumah Bapak, semua sudah rapi. Bapak juga terlihat gagah sekali dengan setelan yang dipakainya, beda sekali penampilan Bapak saat bersama Emak.Aku? Jangan ditanya. Sudah pasti paling cetar di antara semuanya. Pengantinnya saja pun pasti kalah saing."Wah ... Masih eksis aja ya, Mi, pake emas," sapa Tiwi sepupuku."Iya dong! Tamiii gituu ...." Aku menepuk dada dengan bangga."Banyak duit dong berarti," bisiknya di telingaku."Wooiyaa, jelaaas!" Jawabku sambil mengguncangkan tangan supaya gelang keroncong yang kupakai berbunyi."Boleh utang dong," bisiknya lagi."Hahaha ... Duuh, maaf ya Tiwi, kalo mau ngutangi kayaknya aku gak bisa. Nanti malah nyangkut gak balik-balik lagi uangku," ucapku sambil berlalu meninggalkannya sambil melambaikan tangan. Dasar kere!***Setelah semua persiapan sudah ready, kami langsung menuju ke rumah Yesi. Bapak dan paraPart 26"I-i-ituu ... Itu, kan ...." Seketika aku melotot melihat apa yang dipakai Yesi."Itu kan kalung Emakkuuu ...." Aku langsung menyambar kalung yang sedang dipakai Yesi, namun dengan secepat kilat juga Yesi menepisnya."Apaan, sih, kamu, Mi?""Itu kalung Emakku, 'kan? Balikin!""Enak aja kamu! Ini kalungku!"Jelas-jelas itu kalung Emak, tapi Yesi benar-benar tak mengakuinya. Oke! Kalau Yesi tak mengakuinya, mau tak mau aku harus pakai pemaksaan dan kekerasan ini. Aku langsung menghambur ke Yesi untuk mengambil kalung yang benar-benar sama dengan milik Emak itu. Kupikir Yesi bakalan menyerah jika dipaksa, namun ternyata ia sama beringasnya denganku. Jadilah akhirnya kami adu gulat."Heh! Apa-apaan kalian ini?" Bapak tergopoh-gopoh mendatangi kami yang sudah saling jambak."Maaas ... Tolong aku Maas. Sakiiit." Yesi mulai memainkan dramanya agar Bapak iba."Mii! Lepasin Yesi, udah gila kamu, ya? Dia
Part 27Aku, Bik Nur, dan Santi segera berlari menuju ke depan rumahku, tempat di mana cucu Bik Nur dan Rafa tadi main bersama."Ya, Gustiii! Kok bisa gini Rara?" Tanya Bik Nur syok, yang melihat cucu kesayangannya itu sedang tergeletak di tanah dan tertimpa sepedanya."Dia, bandel kali, Nek ...." Bocah berumur 4 tahun itu mulai terisak sambil menunjuk Rafa, sedangkan Rafa hanya mengejek-ngejek sambil ngoceh gak jelas.Bik Nur kembali bertanya pada Rara, apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata tadi Rafa berusaha memainkan sepeda Bik Nur, tapi memainkannya dengan cara yang bar-bar. Rara yang takut sepeda neneknya itu rusak langsung melarang Rafa, tapi Rafa malah tak terima dan menjatuhkan sepeda Bik Nur ke arah Rara. Begitulah Rara bercerita, tapi sepertinya ia hanya mengada-ngada, secara anakku Rafa, baik budi gitu, lho. Mana mungkinlah kelakuannya begitu. Dasar Rara! Kecil-kecil, kok, udah pandai manipulasi."Rafa, kalo main jang
Part 28Bang Suryo menarik lenganku kasar menjauhi ruang dokter Tedy. Salah apa lagi aku? Kayaknya, kok, terus-terusan salah aku di mata Bang Suryo."Bikin malu aja kamu, Dek! Ngapain ngomong pake bawa-bawa uang segala," ketus Bang Suryo sambil melepas genggaman tangannya."Yah, kan bener apa aku bilang, Bang. Dokter mah gampang, nyaranin ini itu, ini itu. Emang dia pikir yang disaranin dia itu belinya gak pake uang apa? Nyaranin aja pinter, tapi gak bantu dana, buat apa!"Bang Suryo langsung mengangkat tangannya dan meremas-remasnya di depan wajahku, persis seperti orang lagi gemes. Tapi aku memang ngegemesin, sih."Ya gak mesti kamu bantah juga omongan dokter, Deeek. Cukup diam, udah!" Bang Suryo berucap dengan gemas dan langsung meninggalkan aku.Dasar Bang Suryo! Mana ngerti dia pemikiran emak-emak tuh gimana.Aku masuk ke ruang rawat Rafa untuk membereskan barang-barang, sekaligus menyiapkan Rafa untuk pulang. Biarlah Bang Suryo bayar sendiri it
Part 29"Baaang ...." Kucolek pinggang Bang Suryo yang sedang tidur membelakangiku."Hmm." Bang Suryo hanya berdehem tanpa menoleh."Malam Jum'at, lho, ini, Bang," ucapku sambil terus mencolek pinggang Bang Suryo setengah menggelitik.Tapi Bang Suryo hanya bergeming.Kesal karena tak direspon, aku langsung membalikkan badan Bang Suryo dengan sekuat tenaga, hingga membuat Bang Suryo langsung terlentang."Apaan, sih, kamu, Dek? Orang ngantuk juga," sungut Bang Suryo hendak kembali ke posisi semula, tapi buru-buru kutahan."Abang kok jadi gini, sih?""Gini gimana?""Cuek bebek."Bang Suryo memutar bola mata dan hendak kembali ke posisi semula lagi, tapi tetap kutahan."Baaang ...!" Kesal sekali aku karena tak direspon."Apa?""Abang kenapa?""Kamu tanya lagi kenapa? Kamu gak sadar kesalahanmu, Dek?!"Aku bergeming menatap Bang Suryo serius, menunggu ia
Part 30Tapi ternyata bukan nama Wulan yang disebutkan guru tersebut. Beberapa ibu-ibu di belakangku terdengar terkikik dan mencibir kesombonganku tadi.Dengan cemberut menahan malu dan kesal, aku kembali duduk ke posisi semula. 'Tak apa, masih ada rangking dua,' batinku mencoba mengembalikan rasa percaya diri.Namun lagi-lagi aku dibuat kesal, ternyata rangking kedua juga bukan Wulan. Melihat aku yang mulai gelisah, para ibu-ibu semakin berisik mencibirku dari belakang.Hingga wali kelas menyebutkan rangking ketiga, barulah nama Wulan yang terpanggil. Dengan hati kesal aku langsung mengambil raport Wulan."Bu, ini gimana ceritanya, Wulan kok jadi rangking tiga?" Dengan tak sabar kulontarkan pertanyaan, begitu berada di hadapan wali kelas Wulan."Sebentar ya, Bu. Setelah selesai sesi pembagian raport ini, nanti kita adakan sesi konsultasi, bagi yang ingin," ujar guru Wulan.Masih dengan hati kesal kar
Part 31Aku termenung memikirkan perkataan Bu Menik barusan, kucoba mengingat-ingat, apa memang aku pernah berseteru dengan Rina? Masa iya, aku secemen itu melabrak seorang wanita.Lamunanku langsung buyar begitu Lek Anik menyebutkan nominal yang harus kubayar untuk belanja hari ini. Selesai membayar aku buru-buru pulang, karena matahari mulai merangkak naik, bisa terlambat kerja aku. Biarlah nanti kuingat-ingat lagi apa benar yang dikatakan Bu Menik tadi.Sampai di rumah terlihat Tami sudah bangun dan menantiku di teras rumah. Aku langsung mengangsurkan kresek belanjaan pada Tami, dan bergegas siap-siap mandi."Ya ampun, Baaang ... Kok beli ayam, sih? Di rumah juga banyak ayam kita," protes Tami sebelum aku masuk ke kamar mandi.Aku sudah bisa menebak, Tami pasti bakal protes dengan apa yang aku beli."Ayam kita banyak pun, tapi kamu gak pernah ngizinin buat dipotong, kan? Ya buat apa?" Tandasku."Kan pernah juga kita m
Part 32Selesai membersihkan badan, Tami masih saja menceracau tak jelas padaku. Padahal saat ini anak-anak sudah ada di rumah. Tapi ia tetap tak merasa malu berucap yang tidak-tidak di hadapan anak-anak."Emak kenapa, Pak?" Tanya Wulan padaku yang sedang siap-siap akan sholat maghrib."Lagi mens mungkin," jawabku sekenanya."Tadi Bapak bawa sate, Kak. Makan sana, ajak Adek sekalian.""Wah, sate?! Asyiiik ...." Wulan berteriak riang menuju meja makan diikuti Rafa.Aku tersenyum, ada bahagia tersendiri melihat mereka dengan riang menyantap setiap makanan yang kubawa.'Bapak janji, Nak, akan berusaha memberi kalian makanan yang bergizi,' batinku sambil memandang mereka yang dengan semangat membuka bungkusan sate."Bapak gak mau?" Tanya Wulan yang memergoki aku tengah menatap ke arah mereka.Aku menggeleng. "Makanlah! Bapak makan nasi aja nanti. Gak kenyang Bapak kalau makan sate, lambungnya gede." Aku ber
Part 33"Eh, iya Bang. Maaf kalau ganggu," ucapku berusaha semanis mungkin."Oh, gak ganggu sih, Kak. Cuma Suryonya harus buru-buru berangkat ngantar barang. Sudah ditunggu pelanggan soalnya.""Kamu kerja di sini, Bang?" Tanyaku dengan menatap tajam pada bang Suryo."I-iya, Dek. Kamu pulang dulu, ya? Nanti kita bicarakan di rumah," jawabnya masih gugup. Jelas gugup, pasti ia tak menyangka aku akan mengikutinya sampai sini.Dengan terpaksa, aku mengikuti ucapan bang Suryo agar pulang dulu. Lagian di sini juga aku harus ngapain? Masa iya berduaan sama pria yang kuterka bos bang Suryo. Kalau dia mau, sih, ya tak apa juga. Lumayan, sepertinya berduit.Dengan hati kesal aku langsung menuju rumah. Tak habis pikir aku ke bang Suryo, bisa-bisanya ia sekarang tak jujur padaku. Jelas aku sakit hati, bang Suryo sudah keterlaluan menyembunyikan pekerjaan dan penghasilannya dariku.'Lihat saja, Bang. Kali ini aku tak akan tinggal dia
Part 59Lamunanku langsung buyar saat ponsel yang kuletakkan di nakas bergetar. Gegas kuraih ponsel tersebut."Nomor baru?" Gumamku saat melihat ke layar ponsel.Segera kugeser layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut."Hallo ... Siapa ya?" Tanyaku pada sang penelpon."Pak, ini Pak Beni kan?" Tanya seseorang di seberang sana. Terdengar nada panik dari suaranya."Iya saya Beni. Ini siapa ya?" Tanyaku lagi."Saya Risman, Pak. Tetangga sebelah rumah, Bapak," ujarnya masih dengan nada begitu panik."Rumah? Rumah yang mana?" Tanyaku bingung. Jelas aku bingung, selama ini aku tak mengenal seseorang bernama Risman, dan sekarang tiba-tiba ada yang menelpon dan mengaku-ngaku sebagai tetanggaku."Rumah Bapak yang di komplek perumahan Permai Indah Residence."Aku langsung terkesiap begitu lelaki tersebut menyebutkan alamat tempat di mana kutinggalkan Tami sendiri."Oh iya, ada apa? Saya sed
Part 58Masih dengan wajah menunduk, perlahan kuturunkan kaca jendela, agar orang tersebut tak bertambah marah. Namun alangkah terkejutnya aku saat mendapati siapa yang sedari tadi mengetuk pintu mobilku."Su-suryo?" Aku langsung terkejut begitu melihat siapa orang yang sedari tadi marah-marah sambil mengetuk kaca mobilku."Beni?!" Serunya tak kalah kaget."Gila kamu ya, Ben! Main tabrak aja. Keluar cepat!" Hardiknya membuatku sedikit ciut. Padahal dulu saat kami akrab tak pernah kami bertengkar hebat. Lagi-lagi aku menyalahkan Tami atas kerengganganku dengan Suryo.Karena takut kena bogeman dari Suryo, mau tak mau aku pun turun dari mobil. Begitu turun, alangkah terkejutnya aku saat mendapati seorang bapak-bapak sudah tergeletak di hadapan mobilku dengan gerobak yang juga terlihat berantakan akibat tertabrak mobilku."Oooh, ini penabraknya! Tanggung jawab kamu! Atau kami akan laporin ke polisi," ancam salah seorang warga yang be
Part 57Masih dengan menutup hidung, aku masuk ke dalam rumah hendak mencari keberadaan Tami dan bertanya perihal bau busuk ini. Bergegas aku menuju kamar kami, namun ternyata pintunya tertutup. Kucoba perlahan membukanya, ternyata tak terkunci."Tamiii ...." Aku memekik kala melihat Tami yang hanya memakai pakaian dalam itu, sedang tergeletak di atas ranjang dengan posisi meringkuk sambil memegangi organ intimnya.Semakin aku mendekatinya semakin pekat pula bau busuk itu menguar. Atau jangan-jangan memang bau busuk ini berasal dari tubuh Tami?Dengan menahan napas aku berusaha membalikkan tubuh Tami yang membelakangiku. Alangkah terkejutnya aku, saat melihat wajah Tami sudah tak secantik kemarin. Bibirnya terlihat berwarna merah membengkak, begitu juga keseluruhan wajahnya terlihat timbul benjolan-benjolan yang mengeluarkan nanah berbau busuk.Yang lebih parah lagi, saat aku melihat ke arah kewanitaan Tami terlihat banyak sekali cairan
Part 56Dengan kecepatan tinggi Lilis mengemudikan mobil, membuat aku ketakutan dan menjerit-jerit karena takut kecelakaan. Namun, Lilis tetap tak menurunkan laju kendaraannya. Ia terlihat benar-benar gusar. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Nyai Warsih padanya?Setelah melalui perjalanan yang mendebarkan tersebut, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah kami sampai di rumahku. Terlihat Mas Beni sedang duduk santai di teras rumah sambil merokok."Aku pamit langsung pulang ya, Mi," ucap Lilis tanpa menatapku. Pandangannya terlihat menerawang ke depan. Benar-benar aneh sikapnya."Kenapa buru-buru?" Tanyaku benar-benar penasaran dengan perubahan sikap Lilis."Aku sudah ditunggu suami." Lilis menjawab dengan sangat cepat."Tapi, Lis ... Setelah ini aku harus gimana?" Tanyaku lagi meminta solusi pada Lilis."Nanti kita bicarakan lagi ya, Mi. Aku harus cepat-cepat pulang," tukas Lilis. Kali ini dengan menatap wajahku.
Part 55POV ViviHatiku benar-benar panas kala mengetahui soal perselingkuhan Mas Beni dengan karyawannya. Apalagi video mesum mereka sampai viral di medsos. Membuat aku semakin malu dan tak ada muka untuk bertemu dengan geng sosialitaku. Sudah pasti aku jadi bahan gunjingan mereka saat ini.Sejak kejadian video Mas Beni viral, aku mulai membatasi geraknya. Pabrik kuambil alih, begitu juga dengan ponsel. Awalnya setelah perselingkuhannya terbongkar sebenarnya aku berniat mengajukan gugatan cerai pada Mas Beni. Tapi ia langsung memohon-mohon dan mengemis maaf padaku agar aku tak meninggalkannya. Bahkan ia janji tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Awalnya aku tak peduli dan tetap kukuh pada pendirian. Namun saat melihat Mas Beni yang benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin berubah membuat hatiku jadi luluh dan percaya bahwa ia tak akan mengulangi kesalahan itu lagi.Mas Beni juga menunjukkan perubahan. Ia mulai menjauh dari si pelakor te
Part 54Begitu sampai di rumah sakit. Aku langsung mengatakan keluhanku pada dokter yang sedang berjaga di IGD. Mereka memintaku berbaring di ranjang, dan langsung memeriksa bagian sensitifku. Sudah persis seperti orang yang akan melahirkan keadaanku saat ini.Mereka langsung terkejut begitu melihat apa yang terjadi pada organ intimku. Bahkan aku pun lebih terkejut lagi, kala dokter memberitahu bahwa ada belatung yang keluar dari sana. Pantas saja tadi aku merasa ada yang bergerak-gerak di sana.Dokter dan perawat langsung membersihkan cairan yang keluar beserta belatung itu. Terlihat wajah mereka sangat menderita saat melakukannya. Apalagi bau busuk yang keluar semakin kuat. Bahkan mereka sampai memakai masker ganda demi menghalau bau yang keluar dari kewanitaanku.Dokter spesialis kulit dan kelamin pun datang. Berbagai macam pertanyaan ia lontarkan padaku. Apa aku selama ini melakukan seks bebas? Apa aku pernah berhubungan dengan pengidap PMS? A
Part 53Baru saja berjalan sekitar setengah jam, tiba-tiba ponsel Mas Beni berdering. Ia langsung membeliak begitu melihat sang penelpon yang tak lain adalah Vivi. Dengan media video callku pula. Matilah aku!"Gimana ini, Mas?" Tanyaku panik pada Mas Beni yang juga terlihat bingung sambil memandang layar ponsel."Emm ... Kamu keluar dulu bisa, Mi? Sembunyi agak jauh dari mobil," titah Mas Beni membuat hatiku dongkol.Aku berdecak kesal."Kenapa gak dimatikan saja sih, Mas? Ganggu saja!" Keluhku kesal."Gak bisa, Mi. Mas udah janji sama Vivi, bakal sering-sering hubungi dia, karena itu jugalah Vivi mengizinkan Mas pergi," ujar Mas Beni dengan raut wajah memelas.Aku memanyunkan bibir lalu keluar dari mobil sesuai perintah Mas Beni. Baru saja bertemu, sudah ada gangguan. Bagaimana lagi ke depannya? Masa iya sedang sibuk bermesraan nanti pun bakal terganggu dengan Vivi. Huh! Ingin kusantet saja rasanya wanita itu.
Part 52Vivi terus mendekat ke arah kami. Dan begitu sampai di hadapanku ....Plaaak!Belum sempat aku berucap apa-apa, telapak tangan Vivi sudah mendarat di pipiku, meninggalkan rasa panas yang menjalar di sana."Dasar perempuan tak tau malu! Masih ada nyali kau datang ke sini, hah?" Hardiknya dengan mata melotot seperti akan copot dari rongganya."Aku kemari bukan untuk bertemu denganmu!" Tandasku tak mau kalah. Jelas aku tak akan pernah mau mengalah jika itu dengan rival."Terus mau ketemu dengan Mas Beni?! Jangan mimpi!" Ucap Vivi sengit dibarengi oleh tarikan tangannya pada rambutku.Aku langsung meringis menahan perih pada kulit kepala. Ternyata Vivi tak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yang tak mau kalah darinya langsung membalas menarik surai pirang panjang miliknya. Kami pun saling jambak-jambakan satu sama lain, diiringi dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian dari Vivi.Kericuhan ka
Part 51"Tolong, berhenti ... Jangaaan ... Aku betul-betul tak bersalah," rintihku dengan air mata yang mulai menitik, merasa benar-benar terdzolimi dengan perbuatan mereka.Namun bukannya iba dengan keadaanku, mereka malah makin beringas ingin melucuti pakaianku.Saat baju atasanku hampir terlepas sempurna, barulah terdengar suara seseorang membelaku."Hei! Sudah-sudah! Jangan main seperti ini. Matikan kameranya. Jangan asal viral-viralkan!" Terdengar suara seseorang yang amat sangat kukenal. Suara Heni."Halah! Kamu bela karena kamu temannya, kan?" Terdengar sahutan salah satu penghuni kost.Heni berdecak kesal, lalu beralih menatap Bu Diah."Bu, emang ibu mau kalau suami Ibu viral? Ibu udah siap mental belum, kalau dijulidin orang? Terus, apa ibu mau kalau kost ini jadi sepi karena para orang tua tak mempercayakan lagi anaknya ngekost di sini?" Sepertinya perkataan Heni kali ini berhasil meluluhkan mereka, terbukti me