"Ibu,""Nona, hati-hati. Jangan berlari," peringat Oscar saat baru saja menepikan mobilnya namun sosok cantik di sampingnya sudah melesat dengan rasa gugup yang tak biasa. Dia tersenyum lemah, mengikuti langkah Chana dalam ritme yang stabil.Chana bergerak cepat saat melihat sosok kurus yang tengah berdiri menikmati lautan lepas. Di sebuah desa terpencil, sunyi dan asri. Dia berlari hingga terjatuh, membuat kedua lututnya tergores. Air matanya jatuh, rasa rindu, khawatir dan seluruh perasaan yang tak bisa dia ungkapkan teraduk menjadi satu. Saat ini ibunya belum mati. Di masa depan, ibunya tiada, bahkan dia sama sekali tak tahu penderitaan seperti apa yang ibunya rasakan."Ibu, ibu!" Chana berteriak di antara tangisannya. Membuat sosok kurus itu membalikan badannya."Ibu."Sebuah pelukan yang mungkin sangat Chana rindukan. Dia melemparkan tubuhnya saat melihat wanita cantik itu melebarkan kedua tangannya. Ibunya benar-benar masih hidup. Ibunya benar-benar berada di desa kecil ini. Kak
"Apa yang kalian lakukan!"Pertanyaan itu terdengar untuk kedua kalinya. Chana menatap tak percaya pada pria tinggi yang berdiri di tengah pintu. Panik, merasa bersalah seolah tertangkap tengah melakukan hal buruk. Rasanya sangat tidak nyaman. Lalu kemudian dia mengingat ingatan masa depan yang akan terjadi. Saat dia memergoki perselingkuhan Logan dengan Chassy.Apakah seperti ini rasanya? Apakah Logan merasakan rasa tak nyaman dan ketakutan seperti ini? Anehnya Chana sama sekali tak mendorong tubuh Matteo yang masih menempel layaknya lem.Matteo melihat ekspresi Chana, satu sudut bibirnya tertarik pelan. Sebagai aktor, dia jelas tahu ekspresi apa yang Chana tunjukkan. "Kakak ipar, hal apa yang ingin kau tunjukkan?" bisiknya lembut. Tangannya masih dengan posisi yang sama. Memeluk tubuh Chana erat."Entahlah, dia bahkan tak kuharapkan," jawab Chana dingin. Rasa di hatinya benar-benar mati."Chana!" Kali ini bentakan keras diiringi gerakan cepat yang menarik tubuh Matteo menjauh dengan
Dia adalah priaku. Kata-kata Chana benar-benar seperti guntur yang membawa petaka. Siapa yang menyangka, Alice, tunangan bisnis dari dua keluarga yang telah setuju, mengikuti Matteo sejak awal, telah mendengarkan semuanya. Gadis ini berdiri di balik pintu, tak bergerak, menutup bibirnya tak percaya dalam gemetar kemarahan. Rasa cintanya, rasa sukanya dan rasa ingin menaklukkan Matteo kini terasa jauh dan kian jauh. Hal ini dia tak akan membiarkannya. Gadis yang merebut tunangannya, dia tak bisa membiarkannya. "Liam, bagaimana kau bisa seperti ini. Sudah kukatakan, bahwa kau tak bisa memiliki wanita lain. Keluargamu dan keluargaku telah membangun mimpi bersama untuk bersatu. Harusnya kau patuh. Harusnya kau menurut dan mengikutiku. Harusnya kau tetap diam dan menjadi aktor yang baik. Aku sudah bersabar dengan banyaknya skandalmu selama ini. Tapi sekarang sepertinya kau benar-benar menganggap wanita itu istimewa. Dan aku tak bisa membiarkan rumput liar menghalangi jalanku." Alice men
Chana mulai membuka kedua matanya yang masih berat saat hari sudah mulai sore. Lengan berat di atas perutnya, membuatnya mengernyit curiga. Dia mencoba memahami dalam diam sebelum melirik ke atas pelan, pada wajah tampan yang masih terpejam. Mereka dalam satu selimut yang sama. Dalam kamar yang sama, dan saling berpelukan seolah itu bukanlah hal yang aneh. Tapi kesadarannya yang baru kembali telah membuat kedua matanya terbelalak lebar.Pria tampan ini kenapa bisa ada disini? Tidak, yang lebih parah kenapa mereka berdua terbaring tanpa busana di bawah selimut yang sama? Tak berani bergerak, Chana mencoba mengingat semuanya. Tapi wajah tampan di dekatnya membuat seluruh fokusnya hilang tak terarah. Dia justru menikmati wajah tampan yang terpejam seolah kesempatan itu adalah hal yang langka.Menelusuri setiap inci ketampanan wajah di depannya sangat menyenangkan. Dia menyadari bahwa mungkin Tuhan terlalu menyayangi pria ini hingga menciptakan ketampanan yang sedemikian rupa. Seperti p
"Kakak pertama, kakak ipar dalam bahaya. Seorang pria yang mengaku sebagai tunangannya mencoba merebut tempatmu tepat di depan mataku. Karena aku dalam masa hukumanmu, maka aku hanya akan memberikan info ini padamu." Seseorang mencoba meraih tempatnya? Orang itu pasti bermimpi. Saat itu, Axel tengah dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke kota A namun pesan yang Matteo kirimkan mengganggu ketenangannya. Dia berniat menyelesaikan urusannya dengan Chana saat sudah kembali tapi tak menyangka jika keadaan akan berubah seperti ini. Akhirnya dia mencari keberadaan Chana lalu menemukan Chana tengah menikmati minuman hingga mabuk. "Apa kau benar-benar akan menuntutku? Hmn?" Pertanyaan itu terlontar lagi. Chana berdiri, tubuhnya terhuyung karena kakinya tak berpijak dengan benar hingga Axel membantunya agar tak terjatuh. Rasa pusing di kepalanya begitu hebat, tapi perasaan yang sebelumnya membaik kini berubah menjadi sedih dalam sesaat. "Kau mabuk, ayo kita pulang." "Axel!" bent
"Chana, jangan menggodaku. Tetaplah diam dan jangan bergerak."Tatapan Axel meredup, dia mengatur napasnya, dan mencoba mengendalikan dirinya sebaik mungkin. "Ingatlah Axel, kau adalah pria yang baik. Aku pria yang baik, aku pria yang baik. Ya Tuhan, aku adalah pria yang baik," ucap Axel dalam hati. Mengingatkan dirinya bahwa dia tak boleh melakukan hal yang begitu dia inginkan."Axel.""Tidak.""Axel, aku ingin ... dirimu." Chana meraba dada Axel, mengelusnya lembut hingga tubuh Axel menegang. Merasakan perubahan di wajah Axel, dia merasa itu sedikit berhasil. Dia pun semakin berani, menelusupkan tangannya, menepikan jas Axel lalu meletakkan tangannya di atas kemeja Axel. Tangannya mulai bermain di tombol-tombol kemeja yang terkancing rapat."Chana, hentikan." Mata Axel menggelap saat bibir Chana mengatakan hal itu. Seluruh darahnya bergejolak hebat. Sentuhan lembut membuatnya memikirkan hal tersebut berkali kali. Keinginannya mulai bangkit setelah mencoba meredakan berkali kali. Dia
Keduanya terjalin erat diiringi rintihan yang memenuhi ruangan. Chana terlihat sedikit lelah tapi tubuhnya diluar kendalinya. Axel, yang masih menggerakkan tubuhnya terlihat sesekali mencium bibir Chana kuat. Keduanya saling memuaskan dalam hentakan-hentakan yang dalam."Axel, aku lelah.""Sayang, bukankah kau sudah berjanji beberapa jam yang lalu?""Ugh, a-aku lupa.""Siapa aku?""Hu-hubby," jawab Chana sambil mengerang.Axel tersenyum, mengecup tengkuk Chana lalu menggigit pelan, meninggalkan jejak kepemilikan untuk kesekian kalinya. "Kapan kita akan menikah.""E-esok.""Kau akan menepati janjimu kan?"Chana tak menjawab, bibirnya terlalu sibuk untuk mendesah. Tak mendapatkan jawaban, Axel berhenti menggerakkan tubuhnya dan membiarkan Chana menyadarinya."Hubby, lagi. Ayo lagi," pinta Chana tanpa sadar.Axel tersenyum, dia bergerak sesuai kemauan Chana."Lagi, lebih keras lagi.""Sayang kau belum menjawabnya.""A-apakah i-itu penting," elak Chana di antara desahannya.Dan lagi - lag
"Bisakah aku mengajukan syarat?" Chana menunduk, mengaduk makanan di depannya.Axel meletakkan tabletnya. Dia menatap Chana sedikit. "Apa kau memiliki suatu keadaan?""Itu, aku memiliki sedikit urusan. Sampai saat itu selesai bisakah kita merahasiakannya?""Urusan seperti apa?""Axel,""Sayang, aku suamimu sekarang. Aku berhak tahu hal-hal yang kau lakukan."Chana terdiam. "Itu bukan masalah yang akan menyeret namamu. Aku janji.""Tidak. Aku tetap harus tau.""Hubby, kumohon."Axel memejamkan matanya, setiap melihat Chana memohon dengan mata bulat bersinar, dia selalu kalah. "Kau tak akan mengajukan kontrak seperti terakhir kali kan?"Chana menggeleng."Chana, pernikahan kita sah secara hukum. Aku mengingatkanmu karena terakhir kali kau mengajukan pernikahan kontrak.""Itu tidak akan terjadi. Hubby, kau adalah yang terbaik. Kau tahu itu," Chana memujinya. Saat seperti ini, dia harus bersikap lembut agar Axel luluh."Dan jangan pernah menyentuh alkohol kedepannya. Jika kau dalam situa
Chana membuka pintu kamarnya dan teringat dengan flashdisk yang dia terima. Rasa ingin tahunya meningkat pesat namun dia juga sadar bahwa dia tak memiliki laptop di rumah ini. Menyelinap ke ruang kerja ayahnya, dia membawa dua flashdisk yang dia dapatkan dengan tangan gemetar karena pertama kalinya menyelinap ke ruang kerja ayahnya. Awalnya dia sangat bimbang untuk memilih flashdisk mana yang akan dia buka dulu. Tapi ketika mengingat wajah tampan Richard, dia pun memutuskan untuk membuka flashdisk yang Richard berikan terlebih dahulu. Mata Chana terfokus pada layar monitor yang mulai menampilkan gambar. Dia menyilangkan kedua tangannya di dada setelah memilih salah satu video dari tiga video yang ada. Namun setelah beberapa detik layar monitor itu tetap gelap. Kesunyian mendominasi kecuali suara gemerincing besi yang sesekali terdengar. "Apa ini. Video ini dalam ruangan yang gelap. Apakah Richard ingin mempermainkan aku?" Tapi kemudian Chana terpana saat ruangan gelap dalam video i
Chana merasakan aneh karena tiba-tiba Oscar menjauh seolah menjaga jarak. Tanpa sadar dia mengikuti arah pandang Oscar yang jatuh pada pria tinggi yang mulai datang menghampirinya. Entah kenapa, rasa tak peduli hadir saat dia mengingat kejadian yang dia temukan di kantor Axel. Axel berdiri di tengah pintu cukup lama, matanya mengedar pelan dan pandangannya jatuh pada peti mati lalu Chassy dan Elden yang masih menangis berpelukan. Rion adalah orang yang memberitahu dirinya tentang kematian Agraf saat mereka baru saja berkumpul bersama malam ini. Tapi dia juga tak menyangka bahwa akan melihat Oscar begitu dekat dengan Chana. Keduanya tampak sangat akrab dengan pembicaraan yang terlihat serius. Tapi hal yang mengusik pandangannya adalah tatapan Oscar pada istrinya begitu menganggu. Axel tak menyukainya. Saat melihat Oscar menjauh, dia sedikit lega, tapi dia tak menyangka akan mendapatkan tatapan acuh tak acuh dari istrinya. Tatapan yang mengatakan bahwa kehadirannya menganggu dan dia t
Damon membanting pintu ruangan kerjanya lalu mengunci rapat. Meletakkan tubuh Chelsea ke lantai dingin tanpa perasaan. Matanya menyala melihat wajah cantik di depannya tengah mengigit jari lentik dengan menjulurkan lidah secara sensual. Tanpa sadar, tangannya terulur, menarik stoking tipis yang Chelsea gunakan. Robekan yang terjadi membuat pemandangan menjadi semakin indah. Chelsea terlihat sangat cantik dengan pakaian yang tak lagi utuh, kulit paha yang mulus dengan rambut panjang berwarna pirang yang tergerai acak. "Nona, kau sangat cantik." Pujian itu tulus, Di mata Damon kecantikan yang sempurna akan lebih nyata jika wanita di depannya tak mengenakan pakaian apa pun. Sebagai pria dia memiliki gairah yang normal. Dan di depannya, seorang wanita dengan sengaja menggoda dirinya secara terang-terangan. "Tuan, dari mana kita akan mulai?" Chelsea kehilangan seluruh kesadarannya. Ingatannya hanya berputar pada malam-malam panjang penuh jeritan kenikmatan yang pernah dia lalui sebulan
Damon menyeret Chelsea kasar memasuki sebuah lift yang terletak di balik kamar ruang pribadi Axel di Axion Company. Axel hanya menatap datar saat tubuh ramping Chelsea mencoba memberontak dan melambaikan tangan padanya. Kemudian sudut bibir Axel terangkat tipis, dia melihat secangkir teh yang dipaksakan Damon untuk Chelsea minum. Meski menolak, nyatanya wanita gila itu meminumnya meski tak semuanya. "Tidak, Axel, Axel, tidak. Aku tak ingin kembali. Axel," "Nona, diam dan patuhlah. Atau tuan muda akan marah." "Lepaskan, lepaskan tanganku. Aku harus menamparnya karena berani mengusirku dan menikahi wanita lain!" Damon tak bereaksi dan tetap menyeret tangan Chelsea. Meski Chelsea terjatuh di lantai, Damon tetap menarik tangan kurus itu tanpa memperdulikan cakaran yang bersarang di tangannya. Mendengar kata-kata Chelsea, sudut bibir Axel tertarik. Minatnya tiba-tiba bangkit saat dia melirik cangkir teh yang telah kosong. "Damon, lepaskan dia." Damon terhenti, dia berbalik. "Tuan mud
Chana tersenyum tipis. "Aku tidak peduli." Lebih tepatnya dia pura-pura tak peduli. Karena dia tak ingin menjadi sejata bagi orang lain. Semua orang disekitarnya hari ini selalu membahas Axel. Pria itu tak terkejut. Dia meraih tangan Chana secara tiba-tiba lalu meletakkan sebuah flashdisk di genggaman tangan Chana. "Aku tahu kau tak peduli, tapi alangkah baiknya jika kau mengetahui suamimu dengan baik." Chana menatap flashdisk di tangannya. "Apa tujuanmu?" Chana tidak bodoh. Berdiri sebagai Tuan muda Axion, Axel jelas memiliki banyak musuh. Dia hanya sedikit waspada, meski dia sendiri juga melihat Axel memeluk seorang wanita, lalu Alice yang telah memperingatkannya. Kini seorang pria asing yang bahkan tak dia kenali datang memberikan informasi. Mungkin Alice hanya ingin dia hati-hati tapi pria ini, pasti memiliki tujuan pasti. Dia tak akan terseret dengan mudah. "Membawamu pulang ke keluarga Aster," jujur pria itu terbuka. "Kakek ingin melihat salah satu cucunya yang tak pernah di
Chana mempercepat langkahnya saat telepon Oscar terhubung. Untuk sesaat, semua hal tentang Axel yang dia pikirkan hampir setengah hari terlupakan begitu saja. "Nona, ibu nona mengunjungi rumah utama Oswald." Wajah Chana sedikit panik. "Siapa yang menyambutnya?" "Itu ... Nona Chassy yang ada di rumah utama. Sedangkan tuan besar masih belum kembali." "Apakah ibu baru berangkat atau sudah di sana?" "Kemungkinan sudah tiba di rumah utama." "Bagaimana dengan kakek?" "Ketua akan kembali lusa.""Baiklah. Aku akan segera bergegas." Chana menutup telepon yang tersambung dan segera kembali. Sedangkan di rumah utama Oswald, Kelsyana masih berdiri saat pintu rumah utama Oswald terbuka. Chassy berdiri di tengah pintu dengan wajah muram. "Kami tak menerima tamu," Kelsyana yang baru menjalani operasi pita suara dua minggu lalu tersenyum. Suaranya kembali meski belum begitu normal. "Aku bukan tamu." Chassy terbelalak, tangannya bergerak untuk menutup pintu tapi tertahan saat tangan Kelsyan
Jika Chana masih merenungkan kata-kata Alice, di Axion Company, Axel sangat terkejut dengan kedatangan Chana untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya dia tak pernah berpikir bahwa suatu hari istrinya akan datang berkunjung. Masalahnya, kenapa istrinya datang di saat yang tak tepat. Hal ini membuatnya gusar. "Chana," gumam Axel cukup jelas. Dia mendorong tubuh wanita yang memeluknya hingga terjatuh. Kepanikan terlintas sesaat di mata hitamnya. "Chelsea, menjauh dariku!" Dia bergegas mengejar Chana namun tertahan saat tangan Chelsea menahan kakinya yang baru melangkah. "Axel, jika kau berani mengejarnya maka jangan salahkan aku jika kakek mempercepat pernikahan kita." Langkah Axel terhenti, dia berbalik menatap wanita cantik yang telah merapikan pakaiannya. Tatapan matanya menghujam dalam, dia meraih rahang Chelsea tanpa belas kasihan. "Ulangi sekali lagi." Chelsea tersenyum, dia menatap mata Axel tanpa takut. "Kita akan menikah." Axel tersenyum lembut. Sangat lembut hingga orang meng
"Axel aku merindukanmu, sangat merindukanmu." Tatapan Chana terpaku pada dua orang yang berpelukan erat. Seluruh tubuhnya kaku, dan sesuatu yang berat menghantam sudut egonya. Sesuatu dalam dirinya seolah menertawakan dirinya sendiri, yang entah bagaimana bisa sampai di tempat ini. "Axel," ujarnya lirih. Dia ingin sekali tertawa saat kilas masa depan terbayang sekilas. Penghianatan!Sesuatu yang menjijikkan terasa merayap di atas kulitnya. Menggelitik namun sangat menyakitkan. Akhirnya matanya terbuka jelas. Sesuatu seperti ini memang tak cocok untuknya. Tidak, dia tak akan tertipu dan jatuh pada lubang yang sama. Hal seperti ini, dia harus menyingkirkannya. Langkahnya sangat ringan, berbalik meninggalkan ruangan yang terbuka lebar. Satu sudut bibirnya tertarik sinis. "Kau mengejarku layaknya seorang pria tak tahu malu tapi kau memeluk wanita lain di belakangku. Axel, kau sangat luar biasa." Hatinya yang mati kini seolah tersiram racun yang lebih mematikan. Seluruh darah di tubu
Paris, Perancis. Kota A. Bangunan tinggi yang merupakan perusahaan terbesar di kota A, Axion company, tampak sangat tenang siang ini. Di sebuah ruangan yang sunyi, Axel duduk memeriksa tumpukkan dokumen penting sedangkan Dominic baru saja masuk."Tuan muda," Axel menoleh sesaat dan kembali fokus pada dokumen di tangannya."Apa kau mengawasi mereka?" Dominic mengangguk. Dia menghela napas sesaat lalu menyuarakan laporannya. "Tuan Muda, Nona Chassy tidak keluar dari kediaman Oswald selepas pemakaman ibunya dua minggu ini. Tuan Agraf terlihat sangat sibuk memunguti sisa-sisa bisnisnya yang dapat diselamatkan. Namun itu adalah hal yang sia-sia. Karena orang kita telah melenyapkan semuanya." "Bagaimana dengan keadaan di sekitar istriku?""Nyonya Chana menemui ketua Oswald yang telah kembali dan tinggal di Villa barat kota A. Lalu akhir-akhir ini, seorang pria asing dari negara Inggris, kota G, sering mengunjungi ibu nyonya." Axel mendengarkan laporan Dominic dengan seksama. Dia menge