Sully menyemprotkan parfum mahal yang ia dapat dari hasil endorse toko online ke leher dan pergelangan tangannya. Rino sebentar lagi datang. Aktor pendatang baru yang ketampanannya dinilai nyaris menyerupai Dewa Yunani itu akan menyambangi apartemennya untuk pertama kali. Mengingat hal itu, Sully terkikik sembari menambahkan parfum ke leher. Ia sudah membayangkan bakal bermesraan bersama Rino sejak pagi. Mumpung Oky asistennya baru akan kembali malam nanti.
Ponsel Sully bergetar pendek-pendek. “Pasti pesan dari Rino,” ucapnya, mengecek bulu mata ekstensi sebelum mengusap layar ponsel dan membaca pesan.
‘Aku udah sampai di lobi. Jemput, ya.’
“Okay, Babe,” ucap Sully seraya mengetikkan balasan. Ia kembali memutar tubuhnya di pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca.
Sully merasa langkahnya seringan bulu dan cuping hidungnya mengembang saat beberapa orang wanita di sofa lobi melihat Rino langsung memeluk pinggang dan mengecup pipinya kanan-kiri. “Cantik banget,” kata Rino.
“Kamu juga … ganteng banget.” Sully menggandeng Rino dan menyeret pria itu ke lift untuk menuju lantai sepuluh.
“Kamu tinggal sendiri aja?” tanya Rino, mengeratkan pelukannya di pinggang Sully.
“Aku tinggal bareng Oky. Asistenku yang kemarin ketemu kamu. Oky juga temanku dari SMP,” jelas Sully, membuka pintu kamar dengan kuncinya.
“Ooo … jadi apartemen ini milik kamu?” tanya Rino, mengedarkan pandangan ke tiap sudut unit apartemen dua kamar yang baru dimasukinya.
Sully melepaskan pelukan Rino dengan senyum canggung. Itu adalah kali pertama ia dan Rino berdua di tempat tertutup. Biasanya ia bertemu Rino di café, atau clubbing bersama asisten dan teman-teman mereka. Tidak pernah pergi berdua. Hari itu bisa dikatakan sebagai kencan pertama atau pendekatan hari pertama. Entahlah. Whatever. Sully hanya ingin terlihat sempurna dan keren. Ia tak mau Rino tahu kalau itu adalah apartemen kontrakan. “Iya, ini apartemen aku,” jawab Sully tanpa menatap Rino. Ia meninggalkan Rino untuk membuat minuman di mini bar.
“Ternyata Sully keren banget,” ucap Rino, mendatangi Sully yang sedang berdiri di mini bar membuat dua gelas es teh leci untuk mereka.
Sully terkesiap saat Rino memeluknya dari belakang. Melingkarkan tangan di pinggangnya dengan erat, lalu mengecup lehernya hingga ia setengah terangkat. Isi gelas yang dipegangnya sedikit berguncang. Sully menunduk memandang jemari Rino yang seputih pualam mengusap perutnya dari atas kaus.
“Wangi banget,” bisik Rino, mengecup cuping telinga Sully dengan mata terpejam.
Gerakan Sully mengaduk es teh terhenti. Ia menelengkan kepala menikmati kecupan-kecupan kecil yang didaratkan Rino di lehernya. Kuduknya merinding karena embusan hangat napas pria itu. Sully merasa tubuhnya limbung, lalu Rino menguatkan cengkeraman di perutnya.
Tak sadar Sully mengerang halus dan meletakkan pengaduk ke meja bar. Es teh leci bisa menunggu. Mereka sudah sering meminumnya. Berbeda dengan kesempatan langka bisa bertemu dan bercumbu di luar jadwal Rino yang padat. Saat ia merasa jemari Rino menyusup menyentuh kulit pinggangnya, Sully memutar tubuh. Ia menautkan pandangan pada Rino yang sudah menatapnya dengan sorot sayu.
“Sully memang cantik,” ucap Rino, mengusap pipi Sully dengan punggung jarinya. Pria itu lalu membawa tubuh Sully semakin rapat, kemudian menunduk.
Sully memejamkan mata menantikan ciuman Rino.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan keras di pintu membuat keduanya membuka mata. “Siapa?” bisik Rino, memandang Sully.
Tok! Tok! Tok!
“Lis! Buka!” teriak suara dari luar.
Sully membelalak dan melepaskan pelukan Rino dari pinggangnya. “Itu asisten aku. Kamu duduk aja. Aku buka pintu sebentar.” Sully kikuk menghampiri pintu seraya merapikan pakaian dan rambutnya. Ia membuka pintu dengan sedikit celah. “Ada ap—” Ucapannya terhenti. Seorang wanita berpakaian batik dan dua orang wanita berseragam polisi berdiri di belakang Oky.
“Di dalam ada Rino, kan? Minta dia pulang sekarang juga. Bilang aku ada urusan yang lebih penting dan perlu pakai ruang tamu. Sekarang juga,” bisik Oky.
Sully menoleh gelisah pada tiga wanita asing di belakang Oky. “Ada masalah apa, sih? Memangnya enggak bisa kamu selesaikan di lobi aja?” Sully melihat ke dalam ruangan. Rino sedang tersenyum manis ke arahnya. “Tunggu ke lobi aja. Aku susul ke bawah sebentar lagi.”
Oky berdecak kesal dan membuka sebuah kantung serut besar yang ditentengnya sejak tadi. “Masalah ini. Kamu ingat?” tanya Oky dengan bisikan bernada tajam. “Kamu jual barang palsu, Lis.”
Mata Sully terbelalak. Ia membekap mulut untuk mencegahnya berteriak. Sebuah tas brand high-end LEMMES yang baru dijualnya seminggu yang lalu pada Istri Kapolda sekarang berada di tangan Oky.
Sully segera masuk ke dalam dan tak lama menyeret Rino ke depan pintu. “Maaf—maaf. Asistenku…Mbak Oky maksudnya baru kasih info kalau hari ini ada jadwal meeting,” kata Sully, meraup bum bag dan kunci mobil Rino dari meja lalu menjejalkannya ke dekapan pria itu.
“Meeting?” Rino menerima semua barang-barangnya dengan wajah bingung. Ia melirik kehadiran dua wanita berseragam polisi bersama Oky.
“Meeting kerja sama mengisi acara ulang tahun Bayangkari. Ini sepatu kamu. Ayo, dipakai,” kata Sully, berjongkok menyodorkan sepasang sepatu Rino, lalu mendorong punggung pria itu agar cepat keluar dari apartemen. “Ayo, ibu-ibu silakan masuk. Ky, tamunya dibawa masuk dulu. Aku antar Rino sampai ke lift.” Sully menelan ludah dan mengangguk pada tiga orang wanita yang menatapnya tajam. Sekejab saja ia merasa tubuhnya tak dialiri darah. Tangannya sedingin es dan keringat membasahi dahinya. Ia bahkan tidak mendengar apa yang dikatakan Rino sebelum mereka berpisah di mulut lift.
“Barang palsu? Barang palsu? Kok, bisa palsu? Selama ini aman-aman aja.” Sully menyugar rambutnya dengan kalut sebelum masuk ke apartemennya.
Sully berdeham pelan dan duduk di sebelah Oky. Seorang wanita memakai pakaian batik duduk di seberang mereka. Sedangkan dua wanita yang memakai seragam tetap berdiri mengawasi.
“J-jadi gimana, Ky?” tanya Sully terbata. Ia tak berani menatap wanita di seberangnya.
“Istri Pak Kapolda minta pengembalian uang segera. Tas ini terbukti palsu. Kamu juga bisa dituntut pasal perbuatan tidak menyenangkan. Katanya sudah membuat malu Istri Pak Kapolda. Beliau merasa dilecehkan di depan teman-temannya. Gimana, Lis?” Oky bicara dengan nada setenang mungkin. Rahangnya terjatuh rapat setelah itu.
“M-maaf, Bu. Saya benar-benar tidak ada maksud mempermalukan beliau. Terakhir kali bertemu kami makan siang dan semuanya baik-baik aja. Itu adalah tas kedua yang dibeli beliau dari saya. Dari supplier yang sama. Saya juga enggak tahu kalau itu palsu. Kalau untuk penggantian seluruhnya, uang saya tidak cukup—”
“Tapi kamu harus bertanggung jawab,” potong wanita dengan baju batik.
Sully tersentak menyentuh dadanya. “Iya, Bu…iya. Saya pasti tanggung jawab. Sekarang saya cuma punya seratus juta,” kata Sully. “Saya pasti kembalikan semuanya. Tapi saya perlu waktu. Saya mau cari suppliernya. S-saya enggak mungkin punya uang sebanyak itu sekarang-sekarang ini,” tambah Sully cepat-cepat.
“Sully pasti tanggung jawab, Bu. Dia juga enggak akan berani macam-macam. Apalagi customernya orang penting,” tambah Oky.
Wanita dengan baju batik menarik napas memandang Sully dan Oky bergantian. Dia meraih ponselnya dan mengetik cukup lama, kemudian menunggu beberapa saat.
Lalu ….
“Kita buat surat perjanjian di atas materai. Pelunasan sesuai harga tas paling lama diterima bulan ketiga di tanggal yang sama dengan hari ini. Uang seratus juta tadi bisa ditransferkan sekarang ke rekening beliau. Beliau tunggu sekarang.”
Sully mengambil ponselnya dan menatap Oky dengan wajah merana. Dalam hitungan menit uang seratus juta sudah berpindah tangan dan menit berikutnya ia sudah menandatangani perjanjian pengembalian 700 juta paling lama tiga bulan ke depan.
“Oke, surat perjanjian ini akan saya bawa dan tas palsu ini juga akan tetap saya bawa sebagai barang bukti. Mbak Sully diharap untuk selalu mengupdate kabar terbaru soal progress kasus ini dan saya akan meminta dua anggota saya untuk rutin datang ke sini.”
Sully dan Oky saling pandang dan membisu cukup lama. Sampai dengan semua tamu pulang, Sully menangis sejadi-jadinya. “Ky, aku enggak mau didatangi polisi lagi. Aku pasti bayar, tapi aku enggak mau ketemu polisi-polisi itu lagi.”
“Jadi, gimana?”
“Aku mau pergi dari sini. Ke mana aja. Yang penting enggak ketemu polisi,” jawab Sully dalam isakan.
“Kabur? Lagi?” Oky menendang coffee table dengan putus asa.
To Be Continued
Suara ruang tamu apartemen itu diisi dengan langkah kaki mengetuk lantai dan berlatar isak tangis Sully. Oky hilir-mudik di ruang tamu masih dengan sepatunya, sedangkan Sully memasukkan pakaian dan kosmetiknya ke koper.“Apa harus pergi lagi? Ibu ajudan tadi cuma bilang bakal ngecek ke sini sesekali. Bukan tiap hari. Kamu…maksud aku, kita enggak perlu kabur. Cuma perlu meng-update berita. Istri Kapolda cuma minta itu,” kata Oky, menghentikan langkahnya di depan kamar Sully.“Enggak. Aku enggak mau didatangi polisi lagi. Aku enggak salah, Ky. Aku enggak niat jual barang palsu. Itu tas yang biasa aku ambil dari Mbak Kokom. Sekarang Mbak Kokom enggak bisa dihubungi. Aku enggak sanggup,” kata Sully berurai air mata. Tangannya bergetar saat memasukkan hair dryer dan alat catok ke dalam koper kabin miliknya. Unit apartemen itu berpendingin udara, namun keringatnya tak berhenti mengucur. Rambutnya yang tadi tergerai mengembang dengan bagus, sudah lepek dalam waktu singkat karena keringat.“Ja
Oky mengabaikan Sully yang terlihat panik. “Tapi, rumah Bu Tarmiah masih di sini, kan, Mbak? Mungkin Bu Tarmiah ada anaknya,” ucap Oky penuh harap.“Ada. Anak Bu Tarmiah satu orang laki-laki. Baru menikah bulan lalu. Sekarang rumah Bu Tarmiah ditinggali anaknya yang pengantin baru itu.” Wanita itu berbicara dengan pintu yang sudah terbuka lebih lebar.Oky menggeleng samar. Rasanya memang tak mungkin menumpang di rumah orang yang sudah tidak ada lagi hubungannya dengan kenalan mereka. Pengantin baru pula. “Terima kasih, kita pamit dulu. Mau menyapa anak Bu Tarmiah ke rumahnya.” Oky berjalan mendekari Sully yang berdiri di dekat gapura desa.“Ky, kok, Bu Tarmiah meninggal, sih?” Wajah Sully terlihat makin putus asa.“Enggak tahu. Iseng kali,” kesal Oky, meletakkan bawaannya di dekat Sully.“Jadi, sekarang kita bermalam di mana, Oky ....” Sully hampir menangis.“Aku udah bilang kita pulang kampung aja. Kenapa, sih, kamu selalu milih kabur dari masalah?” Setelah sekian lama diam di perjala
Beberapa detik Sully dan Oky terdiam saling pandang. Sully lalu menghapus air matanya dan berdiri menatap Wira. “Maksudnya gimana, Mas?” tanya Sully dengan suara sengau. Sisa-sisa air mata masih terlihat di bulu matanya. “Begini, Mbak…siapa namanya?” Wira memandang Sully. “Saya Sully, ini teman saya namanya Oky.” Sully memandang Oky sebagai penunjuk bagi Wira. “Baik, Mbak Sully dan Mbak Oky … saya jelaskan garis besarnya karena ini sudah larut malam. Kita sama-sama capek dan saya juga ada masalah yang bikin pikiran saya benar-benar ruwet.” Wira menarik napas panjang dan berjalan mendekati dua wanita di dekat gapura. Sully dan Oky merapatkan tubuh mereka. Tangan keduanya saling mencari dan menggenggam. Isi pikiran keduanya sama. Pria di hadapan mereka bisa saja orang jahat yang berniat merampok. Wira maju selangkah, Sully dan Oky mundur satu langkah. Wira mengernyit, lalu maju selangkah lagi. Namun, Sully dan Oky kembali mundur selangkah. Akhirnya Wira berhenti untuk menarik dan me
Sully merasa tangannya gemetar karena teriakan pria tua di ambang pintu yang menatapnya tajam. Perkataan Wira barusan membuat bapaknya murka. Detik itu ia menyesali usul konyol soal bersandiwara menjadi istri Wira. Angan-angan bisa tidur meluruskan kaki malam itu pun, lenyap seketika.“Jangan sampai suara Bapak membangunkan tetangga,” ucap Wira pelan. Langsung mengingatkan bapaknya akan hal yang menjadi momok di desa. Yaitu, menjadi gunjingan.Sully menunduk untuk mengibas betisnya yang baru digigit nyamuk. Lalu, satu kakinya terangkat untuk menggaruk betisnya. Ingin rasanya ia meminta kedua anak dan bapak itu berdamai setidaknya untuk malam itu saja. Ia benar-benar sudah sangat lelah dan mengantuk.“Masuk,” pinta pria tua di depan pintu. Menepikan tubuhnya dengan kedua tangan terkepal di belakang.“Ayo, masuk. Kamu pasti udah capek,” kata Wira, mendatangi Sully dan memegang lengan wanita itu. Sejenak ia lupa bahwa satu tangan Oky masih terkait ke lengan Sully. Lagi-lagi Oky mendengus
Wira duduk mencerna perkataan bapaknya. Dari sudut mata ia melihat Sully yang sedang memperhatikannya tak berkedip. Sedikit risi. Mau apa wanita menor itu memperhatikannya? Wira yakin kalau Sully tidak mendengar semua ucapan bapaknya malam itu. “Bapak sudah ngomong ke orang tua Ratna kalau kamu bakal pulang kampung. Memang Bapak belum ada ngomong soal bakal melamar Ratna. Tapi gadis itu duduk meladeni Bapak dengan sangat sopan. Kalau kamu tiba-tiba pulang bawa istri, bisa-bisa enggak bakal diterima, Gus. Paham warga kampung soal orang kota, apalagi wanita yang….” Pak Gagah memandang Sully sekilas, “yang dandanannya begini pikirannya sudah ke mana-mana. Bapak sendiri enggak yakin kamu memang sudah menikah. Bisa-bisa kamu cuma kumpul kebo. Ketemu dengan istrimu di mana?” Pak Gagah memandang Wira dengan sorot curiga. “Pak,” tegur Wira pelan. Pak Gagah seketika terdiam dan mengerling Sully yang masih memperhatikan Wira. Perhatian pria tua itu kemudian berpindah pada Sully. Dan benar sa
Sebegitu pintu kamar Wira tertutup, Sully langsung menghempaskan tangan Wira yang menggandengnya. “Udah berapa kali hari ini kamu pegang-pegang aku? Ngambil kesempatan aja,” sergah Sully. Wira menaruh ranselnya di meja dan membuka jaket. “Jangan keluar dulu. Bapak masih ngeteh di dapur. Saya mau ke kamar mandi di belakang. Mau cuci muka dan bersih-bersih sedikit. Kalau Mbak Sulis mau ikutan biar sekalian. Soalnya kamar mandinya di luar.” “Jadi, sampai jam berapa aku di kamar kamu?” Sully masih berdiri di balik pintu. “Terserah Mbak sampai jam berapa. Yang penting tunggu Bapak balik ke kamarnya,” kata Wira, membuka lemari pakaian dan mengambil handuk dari dalam. Sully menunduk melihat kakinya yang kotor terkena becek. Sejak memasuki jalanan yang mulai berlubang di kampung itu, ia memang sudah melepaskan sandal bertali bertapak tebal yang dikenakannya. Dan mendengar soal kamar mandi, hasrat buang air kecilnya muncul tiba-tiba. Sully berdiri merapatkan kakinya. Huru-hara sejak siang
“Aku belum selesai pakai baju. Kamu jangan gitu. Tunggu di luar sebentar,” ucap Sully pelan. Nyalinya mulai ciut melihat tatapan Wira yang sangat serius memandangnya. “Jangan lama-lama,” pesan Wira lagi saat melangkah keluar. Tak sampai sepuluh menit berselang, Sully sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan sepasang piyama sutra celana pendek. “Mbak Sulis bisa kembali lebih dulu ke rumah. Di luar banyak nyamuk,” kata Wira dari dalam kamar mandi. Sully berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah pada bagian sekitar kamar mandi yang awal tadi tak begitu diperhatikannya. Di dekat kamar mandi itu ada pohon nangka. Buahnya besar-besar dan dua diantaranya ditutup karung putih. Dari tempatnya berdiri nangka tertutup karung itu membentuk rupa yang menyeramkan di kegelapan Sully merapatkan tubuhnya ke pintu. “Mas Wira … jangan lama-lama. Aku takut,” ucap Sully. Pandangannya kembali menyapu sekeliling. Bagian belakang rumah Wira benar-benar dikelilingi kebun de
Sully menunduk menatap ponsel yang dipenuhi puluhan notifikasi dari orang-orang yang mencarinya. Juga balasan dari Bu Kapolda yang langsung membalas pesannya lagi. ‘Kalau bisa jangan terlalu lama ya, Sul. Kamu juga jangan bawa-bawa soal masalah ini ke dalam konten kamu. Saya enggak mau orang-orang tahu soal masalah ini. Demi nama baik suami saya.’ Sully menatap nanar balasan pesan itu. Ia lalu menggulir pesan yang dikirimkannya ke distributor tas bernama ‘Mbak Kokom’ yang dikiriminya pesan bertubi-tubi namun hingga detik itu hanya mendapat tanda centang satu. “Mbak Sulis …,” panggil Wira. “Ha?” Sully mendongak menatap Wira. Tak sadar jarak mereka kini tak lebih dari setengah meter. Dalam terangnya lampu kamar, kali itu Sully bisa memperhatikan wajah Wira dengan jelas. Wajahnya lebih segar karena rambut lurusnya yang basah. Saat itu Wira menatapnya dengan sangat serius. “Sebentar … aku cek pesan-pesanku dulu,” kata Sully sedikit mengulur waktu. Jajaran pesan-pesan di ponselnya tak
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak