Edisi Malam Jum'atan. “Bang, semua badan Abang pada kenapa? Seperti penyakit kulit? Mengerikan!” Kiya pun bergidik ngeri. Ia berlari keluar kamar begitu saja, meninggalkan suaminya yang tercengang. Elang mengembuskan napas kasar, lalu tergelak di balik bibirnya yang terkatup. Di satu sisi ia bersukur bahwa Kiya tidak memakai kacamatanya sehingga tanda cinta ini dikira penyakit kulit. Untuk sementara ini adlah yang terbaik. Tidak apa dikira penyakit kulit, sehingga ia tidak perlu berbohong lebih banyak pada istri tuanya itu. dengan cepat Elang mengganti baju kausnya dan juga celana panjangnya. Kiya masuk kembali ke dalam kamar sambil membawa plastik hitam. Elang menoleh dan melihatnya dengan aneh. “Bang, baju Abang yang habis dipakai itu masukin sini, saya gak mau sampai terkna penyakit menular dari Abang. Baju dan celananya dibuang saja. Saya tidak mau mencucin
Dua Istri 20Hidangan makan malam kali ini terlihat lebih spesial. Sejak selesai Magrib sampai menjelang Isya, Huri sibuk menyiapkan makan malam untuk suaminya. Ini pertama kalinya Elang melewati malam bersamanya layaknya suami pada umumnya—ikan gurame goreng bumbu, sayur tumis kangkung dengan topping udang kupas, dan juga sayur acar kuning dengan hamparan cabai rawit setan di bagian atasnya. Karena belum pernah menghabiskan malam seperti ini, maka Huri sangat bersemangat membuat sesuatu yang spesial untuk suaminya.Elang turun dari lantai dua dengan wajah segar. Bu Rima mengedipkan sebelah matanya pada Bu Latifah. Kedua wanita paruh baya itu mengulum senyum di balik bibirnya dengan hati yang terasa sangat senang. Piyama yang dikenakan Elang sama persis dengan yang dipakai Huri. Piyama kapel kalau kata lidah orang tua.“Masak apa, Ri?” tanya Elang sambil menarik kursi makan, la
Telepon berdering, Huri tersentak dari tidurnya. Leher bekangnyan terasa begitu kaku. Ia baru menyadari jika semalamam ia tertidur di meja gambarnya. Udara Lembang yang begitu dingin membuat matanya selalu ingin terpejam. Jarum jam tepat berada di angka lima. Huri segera beranjak dari kursi dan berjalan setengah terhuyung menuju kamar mandi. Dengan jari telunjuknya ia merasa dinginnya air bak. Seluruh aliran darahnya bagai tersengat listrik saat merasai begitu dinginnya air. Tidak, ia tidak akan pernah mau mandi Subuh sejak sampai di Lembang.Siang hari adalah jadwalnya mandi dan itu pun hanya satu kali dalam sehari. Ia cuti dari kampus, sehingga bisa sejenak santai dari rutinitasnya. Sambil menenangkan hati setelah memutuskan untuk berpisah dari Elang.“Mama harus ke Jakarta, ada orang yang mau membeli rumah kita,” ujar Bu Rima membuka percakapan saat mereka tengah menikmati sarapan bubur kecang hijau.
Ketika kamu tidak bisa mengontrol dengan baik amarahmu, sebaiknya engkau pergi menjauh. Hal itu yang dilakukan oleh Elang. Ia tidak mungkin terus menjadi tontonan orang banyak saat bertengkar dengan Kiya. Selain rasa malu, ia juga tidak ingin sampai hatinya mendidih mendengarkan cecaran Kiya dalam setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.Ia baru sadar, seorang Huri terlalu baik untuk ia sakiti. Gadis itu mungkin hanya minta sedikit perhatian, tidak lebih. Bahkan jatah menginap tidak ada pun, ia tidak protes, lalu saat ini istrinya itu pergi meninggalkan dirinya. Bukan lagi hanya sekedar merajuk, tetapi juga menceraikannya.Elang melajukan motornya menuju kampus Huri. Lelaki itu tidak tahu harus ke mana lagi untuk mencari keberadaan istrinya. Ia mendesak Bu Latifah mengaku dan mengatakan di mana Huri kini, tetapi ibunya selalu mengatakan bahwa ia tidak tahu.Mungkin sebagian menganggapnya suami yang bodoh, karena benar-ben
Ternyata tidak semudah itu untuk melupakan lelaki bernama Elang Herlambang. Huri mulai kehilangan nafsu makan sejak kemarin. Mulutnya terasa pahit dan lidahnya terasa tebal. Semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya terasa hambar dan membuat perutnya merasa mual.Hari ini yang paling parah. Rasa mual itu tidak mau berhenti, padahal dia sudah membawa mata dan tubuhnya untuk beristirahat. Sore hari Huri terbangun dengan wajah sembab, karena tidur siang yang sangat lama. Kepalanya terasa begitu berat dan menyiksa."Non Huri, masih gak enak badan?" tanya Bik Upah yang menemaninya selama tiga hari ini."Iya, Bik. Saya mau dikerokin ya, Bik. Sepertinya masuk angin," kata Huri sambil menunjuk minyak kayu putih yang ada di meja dengan dagunya.Bik Ipah masuk ke dalam kamar Huri, lalu meraih botol minyak kayu putih dan mengambil uang koin dari dalam saku dasternya. Hur
Elang tiba lebih awal di pengadilan. Setelah mengonfirmasi kehadiran pada petugas, Elang duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Orang berlalu-lalang pun banyak. Bola matanya bergerak ke sana-kemari memperhatikan begitu banyak orang di tempat seperti ini.Ada yang membawa anak kecil, orang tuanya, mungkin temannya, dan juga ada yang membawa bayi. Sungguh kasihan anak sekecil itu sudah merasakan panasnya udara persidangan.Elang masih mencari keberadaan Huri dan ibunya. Sambil mengunyah potongan buah mangga yang ia bawa dari rumah, mata Elang tidak berkedip memantau gerbang masuk pengadilan."Masih pagi sudah makan mangga, Mas, perutnya gak sakit?" tanya seorang ibu yang baru saja duduk di sampingnya."Iya, Bu, saya tidak bisa makan apapun, rasanya eneg. Malah makan mangga seperti ini baru tidak mual," jawab Elang sambil memegang perutnya. Si Ibu tersenyum hangat, lalu berkata, "istrinya sedang hamil y
Elang memilih langsung pulang ke rumah karena merasa demam dan sakit kepalanya semakin berat. Dengan mengendarai motornya, lelaki itu sempat berhenti tiba-tiba beberapa kali karena pandangannya yang samar menatap jalan raya yang hari ini sangat ramai. Jika bisa berteriak, ia ingin sekali langsung ada yang menggotongnya untuk berbaring di ranjang. Namun tidak mungkin, dengan sisa tenaga ia mengendari motor dengan sangat pelan, hingga berhasil sampai di rumah dengan selamat.Kiya yang sedang memasak di dapur, langsung meninggalkan aktifitasnya untuk menghampiri suaminya yang pulang lebih awal. Diraihnya kerudung yang ia gantung di punggung kursi, lalu ia pakai asal. Pintu depan ia kunci tadi, sehingga suara ketukan dari suaminya membuat Kiya bergegas mencari kunci rumah yang tiba-tiba saja lupa di mana ia taruh.TokTok"Assalamualaikum, Kiya ... cepat buka pintunya," seru Elang dengan suara lemas di seberang sana.
"Bagaimana, Bu?" Bu Rima menatap nanar layar monitor USG. Matanya yang mulai berkaca-kaca mengerjap beberapa kali. Ia akan menjadi seorang nenek sebentar lagi. Bukan hanya ada satu, tapi kembar."Ma," panggil Huri dengan suara tercekat. Gadis itu menggeleng keras, sama seperti air mata yang mengalir juga dengan derasnya. Bu Rima tersenyum hangat, lalu mengusap rambut panjang Huri yang berkeringat."Mama akan menemanimu membesarkan mereka," ujar Bu Rima akhirnya. Dokter kandungan dan juga perawat ikut terharu dengan keadaan di depan mereka saat ini. Wanita yang cantik dan terlihat dari kalangan mampu, tetapi nampak tidak bahagia dan penuh kesedihan."Baiklah, saya akan berikan vitamin terbaik agar keduanya tumbuh sehat dan lincah di dalam sana ya." Dokter itu kembali tersenyum hangat pada Bu Rima dan juga Huri. Ia menuliskan resep yang harus ditebus dan meminta Huri berkunjung kembali ke rumah sakit bulan depan.
Kiya tengah melipat pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran. Duduk di ruang depan rumahnya sambil menemani Kamelia yang sedang bermain masak-masakan. Semua daun-daunan yang ditanam di pekarangan rumah sederhananya digunakan untuk bermain."Kiya, buatin mi rebus," seru Jaelani pada istrinya."Iya, Mas, tunggu sebentar, nanggung lipatin pakaiannya. Tinggal dua potong baju ....""Kamu kalau disuruh suami itu gerak cepat, alesan aja. Aku lapar nih!" sentak Jaelani dari dalam kamar. Kiya hanya bisa menghela napas kasar, lalu segera bangun dari duduknya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan suaminya."Jangan lupa pakai telur," seru Jaelani lagi dari dalam kamar."Telurnya habis, Mas, harus beli dulu," sahut Kiya sambil menyalakan api kompor gas."Kebiasaan deh kamu, kalau habis itu ya beli
Ijab kabul itu dilaksanakan pada hari Minggu pukul sebelas siang, di kediaman Huri. Tidak banyak tamu undangan yang datang. Hanya beberapa kerabat dan juga teman dekat Huri maupun Elang. Ada dua orang dosen yang juga diundang Huri. Sedangkan Elang hanya bicara pada dua orang yaitu Pak Asep dan Bu Jumi, bahwa ia akan menikah dengan Huri, tetapi bukan hanya dua orang yang datang, melainkan dua puluh orang.Dari tiga puluh mahasiswa di kelasnya, lebih dari delapan puluh persen menghadiri syukuran pernikahan Elang dan Huri. Untung saja beberapa tetangga sigap membantu untuk memesan makanan kembali sehingga suguhan untuk tamu Elang yang tiba-tiba membludak."Bang Elang, selamat ya. Kami beneran senang deh, Abang menikah lagi dengan ibunya anak-anak. Gak nyangka dosen kita adalah mantan Bang Elang. Beruntung sekali yang jadi Bang Elang. Istrinya cantik, pintar, kaya, kayak artis pula. Saya boleh minta kontak dukun yang bias
Huri tidak menyangka ia menjadi dosen ekonomi dari mantan suaminya. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Sejak dulu, Huri memang ingin mengajar tetapi karena basicnya design, ia tidak berani mencoba. Namun disaat salah seorang dekan kampus yang tidak lain adalah sepupu dari mamanya menawarkan untuk mengajar mata kuliah ekonomi, maka Huri menyanggupi.Huri sendiri saat ini tengah menempuh S2 jurusan managemen yang baru berjalan selama setahun. Sedangkan kuliah design-nya sudah selesai. Siapa sangka, di kampus ini ia malah bertemu dengan Elang;lelaki yang tidak pernah benar-benar hilang dari kepala dan juga hatinya."Apa tugasnya sudah selesai?" tanya Huri setelah tersadar dari lamunannya."Sebentar lagi, Bu," sahut beberapa orang bersamaan. Ekor mata Huri melirik ke bangku Elang. Lelaki itu duduk bersampingan dengan perempuan yang menurut Huri sangat pecicilan dan juga genit. Hana terus saja tertawa cekikikan sambil memuku
Rasa penasaran Elang terbawa hingga esok hari. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan anak kecil yang keluar dari toko roti semalam. Saat akan menuju kampus, Elang menyempatkan diri untuk mampir ke toko roti itu lagi. Untung saja sudah buka sejak pukul sembilan, sehingga tidak mengganggu jadwalnya yang masuk pukul sepuluh.Elang memarkirkan motornya di parkiran toko. Lalu ia masuk dan memilih beberapa jenis roti untuk ia santap jam makan siang nanti."Selamat pagi, Mas, ada yang bisa kami bantu?" sapa pelayan toko dengan ramah."Pastinya saya mau beli roti, Mbak, karena kalau beli batako bukan di sini tempatnya," sahut Elang dengan bercanda. Pelayan toko berwajah manis itu pun ikut tertawa."Silakan dipilih mau roti apa, Mas," kata pelayan itu lagi sambil menunjuk etalase roti yang sudah penuh dengan varian roti dengan berbagai rasa dan harga. Kantong Elang yang tidak ke atas juga tidak ke bawah, tentu s
"Bang Elang, pocong apa yang disukai emak-emak?""Kamu kalau ngasih tebak-tebakan pasti jawabannya gak bener," sahut Elang dengan wajah malas. Wanita itu tergelak, diikuti enam ibu-ibu lainnya.Sejak teman-teman satu kelas di kampusnya mengetahui ia duda, khususnya para ibu sering sekali menggoda dan cari perhatian padanya. Bukan dirinya GR, hanya saja sedikit gembira saja. Maklumlah, kelas yang ia ambil ini adalah kelas ekstensi khusus karyawan yang jam kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu saja. Jika Senin sampai dengan Jumat dia bekerja di toko servis AC, maka akhir pekan ia akan kuliah.Wajar saja jika di dalam kelasnya didominasi oleh kaum para emak dan para bapak. Walau tetap ada juga yang masih gadis, perawan tua, janda pun ada. Sering sekali ia digoda oleh teman-temannya dijodohkan dengan janda kembang bernama Hana."Bang, ye ... kok melamun? Jawab dulu pertanyaan gue dong!""Han, lu pa
"Jadi besok kamu akan menikah?" tanya Elang dengan suara lemah dan mata berkaca-kaca. Huri yang tengah menunduk, dengan gerakan pelan akhirnya mengangguk."Mmm ... selamat ya, Huri. Semoga pernikahannya sakinah, Mawaddah, wa Rohmah." Suara Elang bergetar menahan tangis."Saya harap, kamu dan anak-anak bisa berbahagia selamanya walau tidak dengan saya," katanya lagi dengan wajah teramat sedih."Oh, iya ... AC kamar hanya bermasalah di remote-nya saja. Sudah bisa dipakai lagi. Saya permisi dulu." Elang mengusap telapak tangannya dengan gugup, lalu berdiri dengan cepat. Langkahnya begitu berat meninggalkan Huri yang masih enggan memandangnya.Lelaki itu menoleh ke kiri dan melihat si kembar El tengah digendong oleh dua wanita yang memakai seragam baby sitter. Pasti calon suami Huri yang telah memberikan dua orang wanita untuk membantu menjaga El. Elang memantapkan hatinya, bahwa ini adalah yang terbaik bagi a
Apakah Bu Latifah percaya nama yang ada pada kartu undangan adalah nama mantan menantunya? Tentu tidak. Ada banyak nama Huri Hamasah. Tidak mungkin Huri yang ia kenal baik dan saat ini tengah dicari oleh anaknya. Lagian setahunya, Huri tinggal di Bandung dan bukan di Jakarta.Bu Latifah yang penasaran, memutuskan mencari tahu dengan mengecek isi rumah melalui jendela samping rumah. Rumah itu begitu besar dengan banyak perabotan mahal di dalamnya. Tidak ada yang bisa ia temukan di dalam sana, sebagai tanda bahwa ini adalah rumah Huri. Tidak mungkin.Bu Sanusi pasti kenal dengan Huri, karena pernah ikut ngebesan saat Elang menikah dengan Huri waktu itu. Bu Latifah menepuk keningnya. Kenapa ia bisa mempunyai pikiran buruk seperti ini?Wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga selesai semua dan jam menunjukkan pukul dua siang. Bu Latifah meminta ijin pada Bu Sanusi un
Semua warga di sekitar tempat tinggal Kiya menjadi geger, karena wanita itu memutuskan pindah dan mengosongkan rumah kontrakan pada malam hari, setelah isya. Memang sengaja pindah malam hari, karena agar warga tidak banyak berkumpul dan bertanya.Kiya tidak bersama bayinya, hanya menemani duduk di dalam mobil saja. Ada Jaelani yang mengangkut barang bersama dua orang temannya. Cukup satu kali angkut, maka semua barang sudah berpindah tempat ke kontrakan baru yang letaknya tidak jauh dari rumah Jaelani."Pindah, Neng Kiya? Bang Elang mana?""Istri melahirkan bayi lelaki lain, mana mungkin Bang Elang mau kembali lagi. Udah jijik kali.""Gak nyangka, ih ...!""Sudah, sudah, Mbak Kiya semoga betah di tempat baru. Mohon maaf jika selama beberapa tahun tinggal di sini, kami banyak menyusahkan Mbak Kiya," suara Bu RT menengahi. Kiya turun dari mobil tanpa bersuara. Ia hanya tersenyum sambil menga
"Elangnya ke mana, Mbak Kiya?" tanya salah satu dari lima orang tetangga yang menjenguk Kiya dan bayinya hari ini di rumah sakit."Eh, itu ... mungkin di toko. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Kiya dengan sedikit canggung. Kelima ibu itu saling pandang, lalu dengan ekor mata melirik seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Kiya. Tidak ada pasien lagi di dalam ruangan, sudah pasti pemuda itu tengah menunggui Kiya dan bayinya."Oh, harusnya sebagai ayah baru, Elang gak usah masuk aja. Gimana sih ya?""Kejar setoran, Bu. Namanya sekarang jadi punya tiga anak," timpal ibu satunya lagi."Ya sudah, kami pulang dulu Mbak Kiya. Semoga lekas sehat ya. Ini ada titipan dari ibu-ibu RT kita, semoga manfaat. Ada beberapa kado juga yang dititipkan di saya, tapi nanti saat Mbak Kiya sudah di rumah saja.""Terima kasih ibu-ibu atas perhatiannya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Kiya ter