Diselamatkan oleh seseorang tidak pernah terbayang dalam benak Lana sebelumnya. Ia pikir semua itu hanya ada di dalam cerita dan mustahil terjadi di kehidupan nyata. Selama ini ia tidak pernah merasa cukup layak untuk mendapat nasib baik, Lana berakhir mengukur segala sesuatu dengan hal yang pasti-pasti dan jauh dari kata muluk-muluk.
Akan tetapi, hari ini dia mengalami perubahan drastis dalam hidupnya. Ditolong oleh Pascal dalam kondisi terjepit merupakan pengalaman paling mengharukan. Pemuda itu bahkan membantunya kembali ke kamar dan mengambilkan pakaian ganti untuk Lana.
Ia ingin mengatakan sejuta kata terima kasih kepada Pascal, tapi yang keluar hanyalah tangis tersedu. Lana tidak berharap hidupnya sesial ini. Bahkan selama bekerja di kasino saja tidak pernah ada yang sekurang ajar Lukman. Pria biadab itu benar-benar binatang dan jika Lana sanggup, ingin rasanya mencabik tubuh Lukman sampai lumat.
“Nyonya, kamu mau menelepon tuan Morino?” tawar Pascal, menatap dengan pandangan iba pada wanita muda yang masih menggigil dan tersedu lirih.
Lana menggeleng, bibir itu gemetar berikut dengan tubuhnya. Pascal menghela napas, intimidasi yang keluarga ini lakukan sepertinya sudah di luar batas. Dia harus mengambil tindakan, jika tidak … Lana akan menerima perlakuan buruk itu terus menerus.
“Aku akan kembali setelah mastiin di luar baik-baik saja.” Pascal membiarkan Asmi menemani Lana selagi dia keluar untuk menemui keluarga Isac, yang notabene adalah keluarganya sendiri.
Tidak ada yang tahu, jika lelaki yang kini berada di rumah mereka bukan hanya sekedar penjaga pribadi Lana belaka. Keberadaan Pascal memang disembunyikan dari keluarga ini, atas dasar yang dirahasiakan oleh Isac.
Bahkan Pascal sendiri belum paham sepenuhnya, apa tujuan Isac melakukan semua itu. Sejak kecil dia selalu mendengar tentang orang-orang di rumah ini, beserta dengan versi sifat dan karakter masing-masing.
Ayahnya mengatakan, tentang tidak mempercayai siapa pun yang ada di keluarga mereka. Isac bahkan menyebutkan soal keserakahan pamannya, yang selalu meminta uang untuk membeli tanah diam-diam.
Kini, berhadapan langsung manusia yang memiliki ikatan darah dengannya, Pascal mencoba merasakan kedekatan secara emosional. Sayang, dia tidak menemukan sama sekali. Esther dan Johan terlihat paling menunjukkan sikap tak bersahabat.
Sementara Lukman dibawa oleh Mona ke rumah sakit, sisa keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Meraih rokok yang ada di saku, Pascal duduk di sofa dengan sikap santai. Dia tidak peduli, sekalipun pandangan yang tertuju kepadanya begitu menusuk.
“Aku tidak akan membahas tentang perbuatan laknat Lukman.” Pascal mengepulkan asap dari bibir, sambil menatap si kembar yang seakan tidak terpengaruh oleh kondisi ayah mereka. “Tapi, selama aku di sini, pastikan kalian tidak menyentuh nyonya Lana apalagi melakukan tindakan semena-mena seperti sebelum ini.”
“Kamu nggak lebih dari kacung yang Isac bayar, jangan pikir dapet otoritas penuh buat merintah kami!” kecam Johan, seketika meradang.
“Oh, menurutmu begitu?” Pascal tersenyum. “Oke, nggak masalah. Bagaimanapun juga, aku tetap melaksanakan tugas dan kalau kalian nggak setuju atau sepakat, silakan lapor ke tuan Morino. Aku hanya menerima perintah dari dia dan bukan yang lain.”
Tidak ada lagi yang membantah, bahkan Esther mulai terlihat menciut.
“Apa ada pertanyaan?” Pascal memandang satu persatu, menjentikkan rokok di asbak. Semua bungkam termasuk Sola dan Sona. “Baiklah, berhubung nggak ada yang kalian ingin tanyakan, berarti semua jelas, bukan? Aku akan menempati kamar di atas dan mulai sekarang, nggak ada satu pun kegiatan di rumah ini yang terlepas dari pengamatanku. Jadi, jangan bikin hal aneh-aneh!”
Pascal mematikan rokok yang sudah sampai di ujung, berdiri sambil tersenyum sinis. Ia meninggalkan ruang tengah dengan langkah panjang, diikuti sumpah serapah dari keluarga tersebut.
[-]
“Siapa dia, Johan? Aku nggak pernah liat bocah sialan itu! Ada apa dengan Isac? Kenapa kakakmu bertingkah aneh seperti ini?!” teriak Esther, penuh murka dan geram.
Mereka berkumpul secara rahasia, mengambil tempat di paviliun belakang yang selama ini sering dijadikan tempat pesta oleh Sola dan Sona.
“Mana aku tahu? Isac sama sekali nggak pernah ngasih tahu soal dia!” bentak Johan, tidak kalah berang.
“Kalau dia tinggal di rumah ini dalam waktu lama, bisa hancur kita semua diperintah sama si kacung! Aku nggak sudi menuruti dia, Johan! Bisa nggak kamu nelpon Isac? Tanya ke dia, apa maksud kakakmu dengan nempatin bocah keparat itu di rumah?!” pekik Esther, mulai merasa terancam.
“Kamu pikir aku nggak nyoba dari tadi?! Isac nggak nerima panggilanku!” Johan melempar ponsel itu ke meja dengan wajah memerah.
“Aku juga udah nelpon, tapi opa Isac sama aja nggak ngangkat,” cetus Sola. “Sialan, kalo begini kita bisa batal ngadain pesta minggu ini!”
“Padahal aku udah nyebarin ke temen-temen,” keluh Sona. “Bakalan malu deh! Mukaku mau ditaruh di mana coba?”
“Kamu dengar itu, Johan? Cucu-cucumu kena getahnya! Cuman gara-gara Lana anjing itu, Isac jadi nempatin penjaga nggak tahu diri!” tuntut Esther.
Johan mendengus kesal, tapi dia tidak memiliki solusi sedikit pun. Kepalanya berdenyut, memikirkan segala hal yang mendadak berubah di tempat tinggal ternyaman saat ini. Dia mengutuk perbuatan Lukman yang gegabah. Seandainya menantunya itu bisa lebih pintar menggunakan cara halus, mungkin tidak akan seburuk ini.
‘Obat perangsang udah banyak, tinggal ngasih diem-diem ke Lana, beres! Ngapain juga pake acara merkosa! Dasar Lukman goblok!’ Membatin sambil mengeluarkan sumpah serapah, Johan sama sekali tidak tersinggung oleh niat menantunya hendak mengagahi Lana.
Mona adalah keponakan Johan, seharusnya dia murka dan marah jika mengetahui Lukman melakukan tindakan menjijikkan tersebut. Kenyataannya, Johan justru mengecam kebodohan Lukman yang kurang cerdik dalam menuntaskan kebejatan.
“Arrgh! Persetanlah! Adain aja pesta! Apa susahnya? Kenapa harus ngikutin kacung itu sih?”
Mendengar dukungan kakek mereka, wajah si kembar kembali berseri.
“Beneran, ya, Opa?” Sola kembali memastikan.
“Iya, terusin aja! Nggak usah dipeduliin!” tegas Johan.
Sola dan Sona tak lagi memikirkan hal lain, segera hengkang dari paviliun untuk menyiapkan pesta mereka.
[-]
Lana mengusap bekas lebam di lengan, akibat cengkeraman Lukman. Ia tidak mampu mengenyahkan bayangan pemerkosaan tadi, terus terngiang dalam memorinya.
Betapa segala penderitaan yang harus Lana alami, kini dilengkapi dengan peristiwa paling menakutkan dalam hidupnya. Lana masih sanggup melakukan segala pekerjaan yang dibebankan kepada dia selama ini, tapi bukan termasuk melayani nafsu bejat keluarga ini.
Bahkan Isac sendiri tidak pernah menyentuh atau memperlakukan dia secara kurang ajar. Suaminya menempatkan Lana di kamar berbeda, memberikan kehormatan sebagai nyonya utama.
Ketukan halus di pintu kamarnya yang sedikit terbuka, mengalihkan lamunan Lana. Ia menoleh, seiring Pascal masuk dan menyapa lewat senyuman.
“Kamu mau kupanggilin dokter? Biar meriksa kalo semisal ada luka?”
Lana menggeleng, menyembunyikan lebam dengan selimut.
“Aku nggak apa-apa,” sahutnya pelan, menunduk dalam-dalam.
Pascal berdiri dengan kedua tangan di saku, menarik napas berat.
“Apakah ini udah berlangsung lama?”
Bibir mungil itu membisu, Lana tidak memiliki nyali untuk bercerita. Jika ada yang tahu tentang perbuatan keluarga ini kepadanya, Lana takut akan ancaman mereka.
“Bisa kita nggak ngomongin ini lagi?” pintanya pada Pascal, penuh permohonan.
Kening pria itu berkerut. Lana tampak ketakutan sekali dan sepertinya bukan hanya disebabkan kejadian tadi.
“Nyonya, suka atau enggak, kita harus ….”
“Tolong ….” Lana menyambar kalimat itu sebelum selesai. “Lupakan dan aku nggak mau nungkit lagi.”
Pascal benar-benar kaget. Ada yang tidak beres dan dia ingin mencari tahu lebih jauh. Mustahil mengulik dari mulut Lana, sebab gadis itu tidak akan bicara.
“Oke, maaf.” Pascal mengangguk, berusaha menekan rasa penasaran saat ini. “Aku mau minta izin untuk mengambil beberapa dokumen di brankas tuan Morino.”
Lana menghela napas lega, lalu mengiyakan. “Kamu bisa ambil di kamar sebelah.”
Jawaban tersebut menghadirkan kejutan berikutnya. Pascal membasahi bibir, tampak tidak percaya jika ….
“Kalian nggak tidur sekamar?” tanyanya dengan suara kering.
Kepala Lana menggeleng, sementara tangannya mengambil kunci dalam laci, lalu menyorongkan benda tersebut di atas kasur kepada Pascal.
“Dia menerima aku sebagai istri sebagai bayaran atas hutang dari keluargaku. Isac nggak sebejat atau sekotor pikiran orang-orang di luar sana.”
Segala tuduhan keji untuk ayahnya, seketika luntur. Pascal tertegun selama beberapa detik, seiring rasa bersalah menyelimuti batin.
“Ayahmu adalah pria baik yang paling kupercaya, melebihi siapa pun juga, Tuan Maximus.”
Pujian Lana untuk Isac mempertegas fakta, bahwa Pascal tidak pantas melekatkan stigma buruk pada lelaki tersebut. Kesetiaan Isac mungkin bisa dipertanyakan pada Andini, tapi selama bersama Yolanda–ibunya, pria itu tidak pernah menduakan. Sempat mengecam Isac sebagai tukang kawin, Pascal sepertinya harus mengubah pandangan itu.
“Aku akan mengambil berkas itu di sebelah,” pungkas Pascal, tidak ingin membahas lagi mengenai ayahnya.
Lana mengangguk, membiarkan pria itu berlalu dari kamarnya.
[-]
Pascal berjalan menuju ke depan, seiring orang kepercayaan dia di kantor datang.
“Rus, aku mau kamu pasang setiap sudut dengan CCTV! Jangan ada yang lewat, karena ini penting! Paham?”
Ahli IT bernama Rusli itu mengangguk dengan cepat. “Paham, Bos!”Mereka menelusuri setiap titik, sambil Pascal menentukan posisi mana saja.
“Pastikan CCTV itu terhubung ke emailku dan bos Isac. Jangan ada yang bisa mengakses, kecuali kami berdua.”
Rusli mencatat dengan baik, setiap pesan yang Pascal ucapkan.
“Satu lagi!” Sebelum mengakhiri, bos kedua di perusahaan besar Morino tersebut menandaskan perintah berikutnya. “Perbaiki sistem keamanan, aku mau ditingkatkan lebih baik. Ganti nomor pin dan pastikan hanya terhubung dengan dua email kami.”
Segala perintah Pascal hari itu diiyakan dengan patuh. Rusli pun pamit, agar bisa segera bertindak. Pascal menarik napas lega, kembali melanjutkan tugas selanjutnya.
Ia memasuki ruangan yang akan Pascal pergunakan sebagai kantor pribadi. Pengawai rumah sudah selesai merapikan dan dia sangat puas akan hasilnya.
BRAK!
Pintu kantornya dibuka dengan kasar, Johan masuk disertai muka merah padam.
“Kenapa aku nggak bisa ngakses rekening pribadi sendiri?! Petugas bank bilang, kalo kamu membekukan untuk sementara waktu! Apa-apaan ini, hah?!”
Pascal yang belum sempat duduk tersenyum, ia menaik bangku beroda dan menghempaskan pantat santai.
“Bukannya sudah kukatakan sejak awal, Tuan Johan Antares?” Jawaban itu sangat tenang dan penuh penguasaan diri. “Aku diberi kekuasaan penuh oleh tuan Isac Morino, kakakmu, untuk mengelola dan tinggal di rumah ini sementara waktu. Jika ada keberatan, silakan bicara pada beliau. Pembekuan rekeningmu kulakukan, karena aku melihat terlalu banyak dana mengalir ke sana dan Melan sedang menyelidikinya. Kalau semua baik-baik saja, kamu akan mengakses lagi dalam waktu dekat. Jangan khawatir.”
“Bajingan, kau benar-benar bajingaan!!” pekik Johan murka.
“Hei, jangan jadikan ini masalah pribadi. Oke? Kuingatkan satu kali lagi, seperti sebutanmu dan yang lain kepadaku, aku adalah kacung dan pelaksana tugas belaka. Paham?”
Bibir Johan bergerak-gerak diikuti mata mendelik, tapi tidak ada yang bisa dia ucapkan sebagai bantahan. Suka atau tidak, menerima atau menolak, kondisi mereka tidak akan berubah.
Pascal adalah penguasa di rumah untuk sementara waktu dan bencana ini akan menjadi mimpi buruknya!
Pagi itu sangat berbeda. Tidak ada yang mengedor pintu kamar Lana, apa lagi berteriak padanya. Keluarga suaminya bersantap dengan wajah tegang, melirik ke arah Pascal yang tampak tenang menghabiskan sarapan.Lana tidak turut duduk di sana, bahkan ketika Pascal mengajaknya, ia menolak. Pria itu masih bisa menahan diri, memantau semua dan mempelajari satu persatu kejadian. Dia tidak habis pikir, Isac membiarkan istrinya tersiksa di sangkar emas yang ayahnya ciptakan untuk Lana.“Tinggalkan semua itu, Nyonya!” seru Pascal, ketika melihat Lana membereskan meja makan. “Kenapa?” tanya gadis itu, tak paham larangan yang dicetuskan.“Bukannya ada pegawai yang sudah dibayar untuk mengerjakan?” Menatap dengan tajam, Pascal tidak menyukai tindakan Lana yang menempatkan dirinya sebagai pembantu.“Dia terbiasa melakukan itu! Kenapa harus mengubah kalo Lana suka?!” sambar Esther, dengan muka sinis.Pascal berpaling pada wanita tua dengan raut dingin. “Bagaimana jika kamu yang menggantikan dia, Nyo
Wajah bengap Lukman tampak menyedihkan, ternaring di ranjang pasien dengan beberapa plester di muka dan lengan. Mona menatap suaminya sementara melakukan panggilan ke pengacara.“Aku mau menuntut Pascal Maximus, Ren! Kamu tuh tuli atau apa?! Kok dari tadi nanya Pascal siapa sih!” Suaranya mulai meradang, Mona berjalan menuju dinding kaca ruang opname.[Astaga, Mbak! Serius mau nuntut dia? Masalahnya apa?]“Dia udah nonjokin Lukman tanpa sebab! Cuman gara-gara salah paham, si anjing Lana, bininya kakakku, ngaku-ngaku kalo mau diperkosa sama Lukman! Otaknya udah gila atau gimana? Tampang pembantu aja ngarep bisa menarik suamiku!”Lukman tersenyum dengan seringai licik. Betapa mudah memanipulasi Mona, yang terlalu memujanya dalam segala hal.[Duh, tunggu dulu deh! Aku liat jadwal, ntar kukabarin secepatnya]“A-apa? Jadwal apa lagi? Aku butuh pengacara sekarang, bukan …. halo! Halo! Rendi! Sial!” Panggilannya sudah dimatikan dan Mona memekik kesal. Sudah empat pengacara yang dia hubungi,
Ruangan kotak yang dikepung dinding kaca di lantai tujuh itu tampak lenggang. Isac berdiri menghadap ke luar sambil menatap gedung pencakar langit yang ada di sekelilingnya. Dia masih belum menemukan bukti jelas dari penyelewengan uang bisnisnya hingga detik ini. Entah, sampai kapan si ular pengkhinat itu akan menampilkan diri, rasanya sudah tidak sabar untuk merampungkan semua.Mengisap cerutu kecil havana nomor lima, Isac tak menoleh sedikit pun saat seseorang menyeruak masuk ke dalam.“Pagi, Bos.”“Pagi. Ada kabar terbaru?”Pria berjas rapi tersebut mengambil kartu undangan kecil dengan pita bernuansa emas dari kantong, lalu meletakkan di meja.“Benda itu dibawa ke pelelangan malam ini.”Isac akhirnya menoleh, melangkah dua ayunan untuk membaca undangan yang ditujukan untuk kaum terbatas. “Siapkan uang tiga belas miliar, cash. Pastikan aku pemenangnya.”“Siap, Bos. Aku udah ngomong juga sama Linda.”Pemimpin dunia hitam yang saat ini paling ditakuti itu tampak mengeraskan rahang.
Tak ada lagi yang memerintah dia seenaknya seperti dulu. Lana agak canggung, menerima perubahan saat ini. Semua keluarga suaminya tampak mulai mempertimbangkan ancaman Pascal.Sebenarnya Lana tidak keberatan, sebab apa yang dia kerjakan adalah pekerjaan rumah. Membersihkan kediaman milik Isac sama saja merawat dan menjaga agar dalam keadaan baik. Sementara dia sedang membersihkan daun kering dan rumput pada rumpun bunga mawar-mawarnya, seseorang memperhatikan dari balik pembatas taman pada lorong sambung dua bangunan. Dinding kayu yang memiliki celah kecil-kecil berbentuk diagonal itu memang tempat mengintai terbaik. Lana bagaikan peri bunga di antara berbagai keindahan taman. Mengenakan gaun terusan polos berwarna hijau tua, kakinya yang telanjang tampak menawan. Pascal tak mampu mengenyahkan pikiran tentang gadis tersebut. Mengetahui fakta, jika Lana tidak pernah disentuh Isac, menimbulkan rasa penasaran dalam dirinya. Bisa saja Isac hanya melindungi belaka dan tak berminat pada
Membiasakan diri dengan tanggung jawab menjaga Lana memang tidak begitu menyenangkan. Jika saja Pascal punya pilihan, dia memilih untuk tidak menjadi putra dari Isac Morino. Tapi entah kenapa, setiap yang ayahnya katakan tidak pernah bisa ia bantah sedikit pun. Rasa hormat mungkin alasan yang mendasari Pascal melakukan perintah Isac selama ini. Namun, di lubuk hati terdalam, ada selipan tidak nyaman, ketika Pascal menyadari ia begitu rentan sejak mengenal istri muda ayahnya tersebut. Tanpa Pascal bisa jelaskan, ia memikirkan Lana terus menerus. Meski sedemikian rapat menutupi, tapi gejolak yang terjadi dalam batinnya sulit untuk ia singkirkan. Dia tahu, apa yang saat ini ia rasakan adalah salah …. Akan tetapi, tak peduli seberapa kuat Pascal mencoba mengabaikan, Lana selalu menyita waktu dan pikirannya. ‘Aku bahkan mulai berfantasi menikmati tubuhnya!’ Pascal mencemooh diri sendiri. Ia mencoba mengenyahkan, tapi Lana selalu hadir dalam lintasan. Gadis itu mencuri fokus juga meng
Ia melarang siapa pun membawa Lana masuk ke dalam. Pascal membopong sendiri wanita muda tersebut ke kamar. Membaringkan dengan hati-hati, aroma alkohol tercium dan itu membuat dia sangat jengkel. “Apa yang bikin kamu tertarik sama dia, Pas?” Melan muncul di pintu kamar Lana, kehadirannya cukup mengejutkan walau wanita itu terbiasa datang ke rumah tersebut. Pertanyaan itu tidak segera dijawab. Dia membetulkan gaun yang tersingkap, lalu menyelimuti penuh kehati-hatian, seolah-olah tubuh itu terbuat dari porselen. “Begitu banyak perempuan di luar sana yang sama menariknya dengan gadis kecilmu itu. Mau perawan atau pengalaman, tinggal pilih.” Lelaki itu masih mengabaikan, dia justru menyingkirkan rambut yang ada di dahi Lana. Jarinya mengelus wajah yang didandani, pria itu tidak menyukainya. Pascal lebih menyukai raut muka polos yang selama ini dia gilai. “Hapus riasan itu, Mel. Aku ganti baju dulu.” Dia menegakkan tubuh, lalu melenggang dari kamar yang sangat mewah dengan interior p
Menghindar dari Pascal adalah langkah pertama yang Lana lakukan. Dia berusaha menyibukkan diri di kamar dan tidak keluar sejak pagi. Sayang, itu tak menghentikan pria muda itu untuk mendatangi dirinya.Ketukan keras di pintu membuat Lana memucat. Ia menoleh ke arah akses masuk dengan gugup. Lana ingin mengabaikan, tapi ketukan itu terus terdengar. Bayangan akan murka Pascal menyangkut kecerobohannya mabuk semalam, terbayang jelas di benaknya. ‘Selamatkan aku dari manusia itu, ya, Tuhan ….’ Lana membasahi bibirnya yang kering. Saat mengayun kaki, detak jantungnya tak bisa ia hentikan. Tangan itu bahkan gemetar, menarik gagang pintu keemasan dengan untaian doa mengalir.Ceklek!Pascal dengan tampilan rapi dan aroma parfum khasnya, berdiri di depan kamar Lana. Pandangannya memang tajam, tapi ekspresi wajah itu tak menunjukkan kemarahan. “Kamu nggak keluar buat sarapan. Semua baik-baik aja?”Selama sekian detik Lana terpana, tidak menduga jika Pascal akan bersikap seperti biasa. Kekhaw
BUK!BUK!“Biar mampus sekalian! Dasar perempuan nggak tahu diriiii! Mata duitan, pelacur menjijikkan!!” Mona begitu brutal menghajar Lana yang terkapar di lantai, tak berdaya menangkis tendangan dan injakan di tubuhnya.‘Papa … Papa, tolong aku ….’ Lana berharap dia tidak mati, tapi hantaman demi hantaman itu terus menimpa.Ia menjerit lemah, memohon ampun yang terus diabaikan oleh Mona. Wanita itu seperti sudah kerasukan setan, kalap dan lepas kendali. Di ruangan yang sama, Johan juga Esther menyaksikan dengan wajah puas, sakit hati mereka telah dibalaskan.Dari sudut pandang manusia-manusia di rumah ini, kesialan yang dialami sekarang adalah akibat pengaduan Lana. Gadis itulah yang menyebabkan semua orang mengalami kesulitan dalam segala hal.Dari jatah royalti yang tak lagi mereka terima, sampai uang hasil menipu Isac dengan berbagai cara juga dibekukan. Akses ke beberapa fasilitas mewah pun ditutup. Mereka dibatasi untuk melakukan segala sesuatu, termasuk harta kekayaan pribadi j
Meminta Asmi menjaga Lana selama di rumah sakit, Pascal juga menempatkan penjagaan ketat. Peringatan keras pada pihak pengelola juga ia tegaskan, bahwa Lana tidak boleh diliput oleh wartawan mana pun. Ia kembali ke rumah malam itu, untuk menuntaskan urusan yang harus dia selesaikan. Permintaan Isac agar mengendalikan dirinya sempat ingin Pascal tentang, tapi … untuk saat ini dia tidak memiliki kekuatan membantah.Ayahnya menekankan jika Pascal boleh memberikan pelajaran asalkan tidak melebihi batas. Jujur, Pascal tidak tahu sama sekali, jika Isac ternyata masih peduli terhadap kekuarganya walau mereka telah melakukan tindakan anarkis kepada Lana, istrinya. Apa yang Mona dan seluruh keluarganya lakukan bukan hanya melebihi batas, tapi nyaris membunuh Lana seandainya dia terlambat datang. Biarpun pernikahan antara mereka hanya sekedar berdasarkan keterpaksaan belaka, tapi setidaknya Isac bertindak atas nama nuraninya sebagai sorang suami. Laki-laki seperti apa pun sepatutnya mengamb
BUK!BUK!“Biar mampus sekalian! Dasar perempuan nggak tahu diriiii! Mata duitan, pelacur menjijikkan!!” Mona begitu brutal menghajar Lana yang terkapar di lantai, tak berdaya menangkis tendangan dan injakan di tubuhnya.‘Papa … Papa, tolong aku ….’ Lana berharap dia tidak mati, tapi hantaman demi hantaman itu terus menimpa.Ia menjerit lemah, memohon ampun yang terus diabaikan oleh Mona. Wanita itu seperti sudah kerasukan setan, kalap dan lepas kendali. Di ruangan yang sama, Johan juga Esther menyaksikan dengan wajah puas, sakit hati mereka telah dibalaskan.Dari sudut pandang manusia-manusia di rumah ini, kesialan yang dialami sekarang adalah akibat pengaduan Lana. Gadis itulah yang menyebabkan semua orang mengalami kesulitan dalam segala hal.Dari jatah royalti yang tak lagi mereka terima, sampai uang hasil menipu Isac dengan berbagai cara juga dibekukan. Akses ke beberapa fasilitas mewah pun ditutup. Mereka dibatasi untuk melakukan segala sesuatu, termasuk harta kekayaan pribadi j
Menghindar dari Pascal adalah langkah pertama yang Lana lakukan. Dia berusaha menyibukkan diri di kamar dan tidak keluar sejak pagi. Sayang, itu tak menghentikan pria muda itu untuk mendatangi dirinya.Ketukan keras di pintu membuat Lana memucat. Ia menoleh ke arah akses masuk dengan gugup. Lana ingin mengabaikan, tapi ketukan itu terus terdengar. Bayangan akan murka Pascal menyangkut kecerobohannya mabuk semalam, terbayang jelas di benaknya. ‘Selamatkan aku dari manusia itu, ya, Tuhan ….’ Lana membasahi bibirnya yang kering. Saat mengayun kaki, detak jantungnya tak bisa ia hentikan. Tangan itu bahkan gemetar, menarik gagang pintu keemasan dengan untaian doa mengalir.Ceklek!Pascal dengan tampilan rapi dan aroma parfum khasnya, berdiri di depan kamar Lana. Pandangannya memang tajam, tapi ekspresi wajah itu tak menunjukkan kemarahan. “Kamu nggak keluar buat sarapan. Semua baik-baik aja?”Selama sekian detik Lana terpana, tidak menduga jika Pascal akan bersikap seperti biasa. Kekhaw
Ia melarang siapa pun membawa Lana masuk ke dalam. Pascal membopong sendiri wanita muda tersebut ke kamar. Membaringkan dengan hati-hati, aroma alkohol tercium dan itu membuat dia sangat jengkel. “Apa yang bikin kamu tertarik sama dia, Pas?” Melan muncul di pintu kamar Lana, kehadirannya cukup mengejutkan walau wanita itu terbiasa datang ke rumah tersebut. Pertanyaan itu tidak segera dijawab. Dia membetulkan gaun yang tersingkap, lalu menyelimuti penuh kehati-hatian, seolah-olah tubuh itu terbuat dari porselen. “Begitu banyak perempuan di luar sana yang sama menariknya dengan gadis kecilmu itu. Mau perawan atau pengalaman, tinggal pilih.” Lelaki itu masih mengabaikan, dia justru menyingkirkan rambut yang ada di dahi Lana. Jarinya mengelus wajah yang didandani, pria itu tidak menyukainya. Pascal lebih menyukai raut muka polos yang selama ini dia gilai. “Hapus riasan itu, Mel. Aku ganti baju dulu.” Dia menegakkan tubuh, lalu melenggang dari kamar yang sangat mewah dengan interior p
Membiasakan diri dengan tanggung jawab menjaga Lana memang tidak begitu menyenangkan. Jika saja Pascal punya pilihan, dia memilih untuk tidak menjadi putra dari Isac Morino. Tapi entah kenapa, setiap yang ayahnya katakan tidak pernah bisa ia bantah sedikit pun. Rasa hormat mungkin alasan yang mendasari Pascal melakukan perintah Isac selama ini. Namun, di lubuk hati terdalam, ada selipan tidak nyaman, ketika Pascal menyadari ia begitu rentan sejak mengenal istri muda ayahnya tersebut. Tanpa Pascal bisa jelaskan, ia memikirkan Lana terus menerus. Meski sedemikian rapat menutupi, tapi gejolak yang terjadi dalam batinnya sulit untuk ia singkirkan. Dia tahu, apa yang saat ini ia rasakan adalah salah …. Akan tetapi, tak peduli seberapa kuat Pascal mencoba mengabaikan, Lana selalu menyita waktu dan pikirannya. ‘Aku bahkan mulai berfantasi menikmati tubuhnya!’ Pascal mencemooh diri sendiri. Ia mencoba mengenyahkan, tapi Lana selalu hadir dalam lintasan. Gadis itu mencuri fokus juga meng
Tak ada lagi yang memerintah dia seenaknya seperti dulu. Lana agak canggung, menerima perubahan saat ini. Semua keluarga suaminya tampak mulai mempertimbangkan ancaman Pascal.Sebenarnya Lana tidak keberatan, sebab apa yang dia kerjakan adalah pekerjaan rumah. Membersihkan kediaman milik Isac sama saja merawat dan menjaga agar dalam keadaan baik. Sementara dia sedang membersihkan daun kering dan rumput pada rumpun bunga mawar-mawarnya, seseorang memperhatikan dari balik pembatas taman pada lorong sambung dua bangunan. Dinding kayu yang memiliki celah kecil-kecil berbentuk diagonal itu memang tempat mengintai terbaik. Lana bagaikan peri bunga di antara berbagai keindahan taman. Mengenakan gaun terusan polos berwarna hijau tua, kakinya yang telanjang tampak menawan. Pascal tak mampu mengenyahkan pikiran tentang gadis tersebut. Mengetahui fakta, jika Lana tidak pernah disentuh Isac, menimbulkan rasa penasaran dalam dirinya. Bisa saja Isac hanya melindungi belaka dan tak berminat pada
Ruangan kotak yang dikepung dinding kaca di lantai tujuh itu tampak lenggang. Isac berdiri menghadap ke luar sambil menatap gedung pencakar langit yang ada di sekelilingnya. Dia masih belum menemukan bukti jelas dari penyelewengan uang bisnisnya hingga detik ini. Entah, sampai kapan si ular pengkhinat itu akan menampilkan diri, rasanya sudah tidak sabar untuk merampungkan semua.Mengisap cerutu kecil havana nomor lima, Isac tak menoleh sedikit pun saat seseorang menyeruak masuk ke dalam.“Pagi, Bos.”“Pagi. Ada kabar terbaru?”Pria berjas rapi tersebut mengambil kartu undangan kecil dengan pita bernuansa emas dari kantong, lalu meletakkan di meja.“Benda itu dibawa ke pelelangan malam ini.”Isac akhirnya menoleh, melangkah dua ayunan untuk membaca undangan yang ditujukan untuk kaum terbatas. “Siapkan uang tiga belas miliar, cash. Pastikan aku pemenangnya.”“Siap, Bos. Aku udah ngomong juga sama Linda.”Pemimpin dunia hitam yang saat ini paling ditakuti itu tampak mengeraskan rahang.
Wajah bengap Lukman tampak menyedihkan, ternaring di ranjang pasien dengan beberapa plester di muka dan lengan. Mona menatap suaminya sementara melakukan panggilan ke pengacara.“Aku mau menuntut Pascal Maximus, Ren! Kamu tuh tuli atau apa?! Kok dari tadi nanya Pascal siapa sih!” Suaranya mulai meradang, Mona berjalan menuju dinding kaca ruang opname.[Astaga, Mbak! Serius mau nuntut dia? Masalahnya apa?]“Dia udah nonjokin Lukman tanpa sebab! Cuman gara-gara salah paham, si anjing Lana, bininya kakakku, ngaku-ngaku kalo mau diperkosa sama Lukman! Otaknya udah gila atau gimana? Tampang pembantu aja ngarep bisa menarik suamiku!”Lukman tersenyum dengan seringai licik. Betapa mudah memanipulasi Mona, yang terlalu memujanya dalam segala hal.[Duh, tunggu dulu deh! Aku liat jadwal, ntar kukabarin secepatnya]“A-apa? Jadwal apa lagi? Aku butuh pengacara sekarang, bukan …. halo! Halo! Rendi! Sial!” Panggilannya sudah dimatikan dan Mona memekik kesal. Sudah empat pengacara yang dia hubungi,
Pagi itu sangat berbeda. Tidak ada yang mengedor pintu kamar Lana, apa lagi berteriak padanya. Keluarga suaminya bersantap dengan wajah tegang, melirik ke arah Pascal yang tampak tenang menghabiskan sarapan.Lana tidak turut duduk di sana, bahkan ketika Pascal mengajaknya, ia menolak. Pria itu masih bisa menahan diri, memantau semua dan mempelajari satu persatu kejadian. Dia tidak habis pikir, Isac membiarkan istrinya tersiksa di sangkar emas yang ayahnya ciptakan untuk Lana.“Tinggalkan semua itu, Nyonya!” seru Pascal, ketika melihat Lana membereskan meja makan. “Kenapa?” tanya gadis itu, tak paham larangan yang dicetuskan.“Bukannya ada pegawai yang sudah dibayar untuk mengerjakan?” Menatap dengan tajam, Pascal tidak menyukai tindakan Lana yang menempatkan dirinya sebagai pembantu.“Dia terbiasa melakukan itu! Kenapa harus mengubah kalo Lana suka?!” sambar Esther, dengan muka sinis.Pascal berpaling pada wanita tua dengan raut dingin. “Bagaimana jika kamu yang menggantikan dia, Nyo