Apartemennya terasa lenggang dan Pascal baru menyadari setelah delapan tahun hidup sendiri. Menatap ke setiap sudut, ia menemukan kebosanan mengintip dari perabotannya yang terkesan kaku dan jauh dari kesan hangat.
Ia melangkah gontai, melemparkan kunci ke meja tinggi marmer yang terdesain menyatu dengan dapur mininya. Kaki menapak tanpa suara, menuju kamar mandi. Pascal mengguyur badan di bawah pancuran, sementara memikirkan obrolan bersama Isac dan Lana.
Seakan enggan meninggalkan benak, apa yang Pascal lihat dan alami sore tadi hingga mengantar ibu tirinya yang masih belia, terus mengisi ruang memori.
Secara logis, kesan yang ada dalam pikiran rasionalnya ada tentang dua hal. Iba sekaligus kesal!
Iba terhadap kemalangan yang menimpa Lana, kesal sebab dirinya dianggap orang asing yang tidak bisa dipercaya. Cewek bertampang memelas tersebut bahkan jelas-jelas menolak untuk dia jaga, dan menerima dengan terpaksa setelah Isac berhasil meyakinkan.
‘Brengsek!’ umpat Pascal dalam hati, menyudahi bilas badannya dan menyambar handuk.
Dia butuh sesuatu untuk mengalihkan kekusutan otak yang kian parah, setidaknya melepaskan adrenalin emosi memuncak saat ini. Mengetik pesan dengan cepat, jari-jari yang terbiasa berlatih memukul benda keras itu mengirim pesan.
[Dateng sekarang, aku butuh!]
Lagi-lagi ia melempar benda itu sembarangan ke sofa, lalu menuju ke dapur mini yang jadi satu ruangan dengan ruang tamu. Apartemen studio yang Pascal pilih memang demi alasan tidak ribet, memiliki tempat kecil asal nyaman sudah lebih dari cukup.
Masih berbalut handuk yang memamerkan bentuk tubuhnya yang laksana pahatan patung dewa Yunani, Pascal membuat minuman di teko kaca bening. Dengan lincah tangannya menuang Bacardi, sedikit gula dan es batu. Ia mengaduk cepat, lalu menuang ke dalam gelat bulat dan jadilah klasik Bacardinya setelah ditambah irisan jeruk.
Tegukan pertama lumayan melelehkan sebagian dari tumpukan beban di kepala. Pascal menyalakan musik santai dengan beats ringan, lalu menghempaskan diri di sofa panjang. Televisi itu ia nyalakan, menjadi selingan ringan sementara menunggu.
Ceklek.
Pintu apartemen dibuka, wanita yang menguarkan parfum lebih cepat dari kedatangannya itu tersenyum saat menemukan pria yang mengirim pesan sedang duduk di sofa.
“Kupikir kamu langsung jagain simpenannya bos,” cetus perempuan itu seraya melepas jaket juga sepatu hak tingginya.
“Besok baru tugas,” sahut Pascal singkat, menyesap isi gelas.
“Cantik nggak dia?” Wanita yang menuang minumannya sendiri itu terdengar penasaran.
“Nggak merhatiin.” Tetap bersikap acuh, Pascal seolah malas membicarakan topik yang dia sendiri ingin mengenyahkan dari isi otaknya.
“Gila, ya? Isac Morino yang kaku dan nggak pernah kegoda cewek, ternyata punya barang bagus di rumah,” komentar wanita dengan tubuh sensual itu dengan kagum.
Pascal terdiam, masih tidak menanggapi dengan antusias. Bukan hanya Melan–nama perempuan yang sekarang bersamanya, saja yang kaget. Dia sendiri masih tidak berhasil menemukan alasan tepat untuk menjawab keputusan Isac memperistri Lana.
Ditilik dari rupa dan bentuk badan, Lana sekilas tidak ada yang istimewa. Masih banyak wanita-wanita setara model Victorian Secret yang rela menjadi teman tidur ayahnya. Anehnya, Isac sama sekali tak pernah tergoda.
“Tujuh tahun aku kerja buat Isac, baru ini nemuin rahasianya dia yang tertutup rapat.” Melan adalah asisten pribadi Isac yang memegang bagian keuangan.
Meski memiliki tampang wanita penggoda, tapi Melan tidak bisa diremehkan. Dia bisa menembak dahi lawan atau seseorang tanpa pertimbangan, selama itu diperintahkan oleh Isac. Semua mengenal Melan sebagai anjing pemburu Isac yang paling patuh.
Usai meneguk minuman hingga habis, Melan berdiri di depan Pascal lalu melepas pakaiannya satu persatu. Payudara yang berukuran besar itu menggantung, menggundang birahi Pascal seketika.
Putingnya yang kecil dengan nuansa pink tampak mulai mengacung, seakan memanggil mulut Pascal untuk segera mengulum. Lipatan mungil yang ada di antara pangkal paha juga tak lepas dari mata nanar pria tersebut.
Jemari lentik itu membelai tengkuk Pascal sementara berdiri, Melan menikmati lidah yang menyapu aerola dan seluruh payudaranya tanpa terlewatkan.
“Aku berharap suatu saat bisa ngajak Isac tidur, aaah …. hmmm, aaaah.” Rintih penuh ekspresi birahi itu benar-benar meningkatkan gairah Pascal. Dia bahkan tidak peduli, ketika Melan menyebut pria lain yang notabene adalah ayahnya sendiri.Hubungan badan yang sekarang mereka lakukan tak lebih sekedar saling memuaskan belaka, tanpa melibatkan perasaan.
Melan menarik handuk itu dalam gerakan cepat, benda tumpul yang telah terprovokasi oleh lekuk tubuh sintalnya berdiri tegak bak tugu monas.
Sembari mengocok lembut, Melan mendekatkan puncak buah dadanya satu lagi pada Pascal. Pria itu menyambar dengan mulutnya, mengisap kuat sementara jari itu bergerak ke arah bawah.
Melan membuka mulut dalam desahan disertai mata terpejam, saat jari tengah Pascal sukses melelehkan cairan asmaranya. Betapa mudah bagi lelaki muda itu membuatnya terangsang. Melan tak lagi sabar, ia naik ke paha Pascal saking nafsunya.
Dengan napas memburu, ia memasukkan batang keras yang berukuran panjang dan gempal ke dalam tubuhnya lewat terowongan surga.
“Aaaah!” Melan mengerang, seiring dia menekan ke bawah dan seluruh rudal Pascal amblas.
Bokongnya mulai bergoyang lihai maju mundur, membentuk gerakan erotis yang sukses membuat Pascal merem melek keenakan. Namun, senikmat apa pun seks yang mereka lakukan, semua sebatas sentuhan fisik semata.
Perasaan Pascal hambar, tidak ada emosi yang terlibat. Kadang dia butuh satu jam untuk menggapai klimaks, sebab seenak apa pun hubungan badan mereka, terasa ada yang kurang.
Racauan dan rintihan Melan kian keras dan goyangannya pun makin cepat. Wanita itu mengakui, di antara sekian laki-laki pemuas nafsunya, hanya kejantanan Pascal sajalah dia bisa keok dalam sekejap.
Selain ukurannya jumbo dan paling unggul, Melan merasa sex appeal Pascal sangat sulit untuk diabaikan.
“OOOOH! Shiiit!” Melan memekik, menggapai puncaknya dalam sepuluh menit pertama.
Memberi jeda untuk wanita itu memulihkan diri, Pascal memintanya ganti posisi. Melan setengah rebah dengan kaki mengangkang lebar, lalu lelaki itu menumpukan lutut di sofa untuk kemudian menghajar tanpa ampun.
Melan hanya bisa menggelengkan kepala, menjerit pasrah dalam balutan nikmat. Dia benar-benar tergila-gila oleh cara Pascal menyetubuhi dirinya. Genjotan brutal itu sukses mengantar gelombang klimaks tanpa henti, sampai Melan gemetar dan tak kuat bersuara.
Satu jam berlalu, Pascal masih bertahan. Ia membalikkan tubuh Melan sesuka hati, lalu kembali melesakkan rudalnya dalam dorongan kasar. Suara berisik penanda nikmat memenuhi apartemen, Melan dibuat bahagia selama satu jam lebih.
Lelah mulai menghampiri, Pascal memusatkan fokus agar bisa meledak dalam waktu dekat. Ia menutup mata, sementara batangnya yang sudah mengkilap keluar masuk cepat. Detik-detik seluruh titik nikmatnya berkumpul, lintasan wajah Lana berkelebat. Entah kenapa, itu justru memicu rasa nikmat tiada tara dan Pascal pun mengejang hebat sambil menghunjamkan dalam-dalam.
“AAAAH!!”
Pekikan Melan menyusul, menjepit benda tumpul yang terbenam hingga menyentuh batas rahim terdalam. Sesekali wanita itu menggerakkan bokong, seolah masih terasa enak di antara kemeriahan orgasme saat ini.
Pascal melepaskan tautan tubuh, lalu duduk di sofa sambil bersandar untuk mengatur napas. Kedua mata itu terpejam, pria muda yang tengah kacau balau tersebut benar-benar tak mengerti akan diri sendiri.
‘Sial, ngapain bayangin Lana sih?!’
Meski dia tak memahami arti dari perasaan yang sedang berkecamuk dalam batinya, tapi Pascal tidak menyangkal sedikit tentang kenikmatan barusan terasa berbeda dari selama ini.
Terdengar sangat menyedihkan, bila dia sedang menghajar kemaluan seseorang sembari membayangkan wajah perempuan lain yang menurut Pascal selalu muram dan menyimpan luka.
Saking kacaunya dia, sebab ini baru kali pertama mengalami hal barusan, Pascal tidak mempedulikan Melan yang pamit pulang.
Selama setengah jam terduduk, raut muka istri ayahnya kian jelas tercipta dalam kepala. Pascal tanpa sadar menyentuh pusakanya yang masih terasa licin oleh sisa lahar yang tadi. Tangannya bergerak naik turun, seiring dia menyebut nama seseorang.
“Lana ….”
Batang itu kembali mengeras, Pascal yang tidak pernah merintih sekarang mengerang juga mendesah. Fantasi liar Pascal tengah membayangkan Lana dalam tindihannya, mendesis lirih sementara dia menghentak cepat dan kuat.
“Oooh, aaaah … aaaah!”
Wajah polos dengan bibir ranum yang selalu basah itu seperti ada dalam lumatannya. Pascal seperti bisa mengecap manis dan kehangatan bibir Lana.
Gerakan tangan yang bergerak cepat itu semakin tak terkendali. Tangan Pascal satu lagi mencengkeram lengan sofa, dan teriakan yang dibarengi tubuh mengejang patah-patah itu menyemprotkan cairan dari ujung rudalnya.
“OOOH, OOOH, LA-NA ….”
Tidak sampai lima belas menit dia tumbang, Pascal sampai gemetar saking merasakan nikmat tiada tandingan. Matanya mengerjap sayu, rasa malu merayapi segenap jiwa juga pikiran. Ia menatap lelehan kental di seluruh jemari, kutukan sumpah serapah terus terlontar dalam hati.
‘FUUUCK! Ngapain jadi bayangin itu cewek sih?! Bangsat!’
Antara rasa sesal dan jengah, Pascal kembali mengakui nikmatnya menggapai puncak sambil membayangkan Lana. Dia berusaha menata logika dan menguasai diri, tapi definisi dari yang sedang Pascal alami tetap tak terjelaskan.
Apa yang telah terjadi pada dirinya?
Pagi hari Lana terbangun dengan kelelahan mendera. Dia baru tertidur selama dua jam dan alarm sudah menjerit di telinga. Tertatih berjalan ke kamar mandi, Lana membasuh badan untuk menyegarkan diri. Ia kembali mengerjakan hal yang hampir jadi rutinitasnya. Sejauh yang Lana ingat, dirinya jarang sekali libur dalam sebulan terakhir sebab Isac nyaris tidak pernah berada di rumah. Perlakukan Mona dan segenap keluarga ini kian menjadi, seakan Lana harus mengerjakan semua tugas sendiri. Kehadiran puluhan pekerja seperti tak lagi diperlukan, mereka lebih menyukai memerintah Lana sebagai wujud dari menunjukkan kekuasaan masing-masing. Hari ini suasana rumah cukup lenggang. Lana tidak tahu di mana Mona dan anak-anaknya berada, termasuk Esther serta Johan. Ia telah merampungkan tugas beres-beres dan baru selesai mencuci lantai di depan garasi. Meski apa yang dia kerjakan menyerupai tugas Cinderella, tapi Lana tidak pernah keberatan. Selama dia melakukan tanpa ada kalimat intimidasi dan caci
Diselamatkan oleh seseorang tidak pernah terbayang dalam benak Lana sebelumnya. Ia pikir semua itu hanya ada di dalam cerita dan mustahil terjadi di kehidupan nyata. Selama ini ia tidak pernah merasa cukup layak untuk mendapat nasib baik, Lana berakhir mengukur segala sesuatu dengan hal yang pasti-pasti dan jauh dari kata muluk-muluk. Akan tetapi, hari ini dia mengalami perubahan drastis dalam hidupnya. Ditolong oleh Pascal dalam kondisi terjepit merupakan pengalaman paling mengharukan. Pemuda itu bahkan membantunya kembali ke kamar dan mengambilkan pakaian ganti untuk Lana.Ia ingin mengatakan sejuta kata terima kasih kepada Pascal, tapi yang keluar hanyalah tangis tersedu. Lana tidak berharap hidupnya sesial ini. Bahkan selama bekerja di kasino saja tidak pernah ada yang sekurang ajar Lukman. Pria biadab itu benar-benar binatang dan jika Lana sanggup, ingin rasanya mencabik tubuh Lukman sampai lumat.“Nyonya, kamu mau menelepon tuan Morino?” tawar Pascal, menatap dengan pandangan i
Pagi itu sangat berbeda. Tidak ada yang mengedor pintu kamar Lana, apa lagi berteriak padanya. Keluarga suaminya bersantap dengan wajah tegang, melirik ke arah Pascal yang tampak tenang menghabiskan sarapan.Lana tidak turut duduk di sana, bahkan ketika Pascal mengajaknya, ia menolak. Pria itu masih bisa menahan diri, memantau semua dan mempelajari satu persatu kejadian. Dia tidak habis pikir, Isac membiarkan istrinya tersiksa di sangkar emas yang ayahnya ciptakan untuk Lana.“Tinggalkan semua itu, Nyonya!” seru Pascal, ketika melihat Lana membereskan meja makan. “Kenapa?” tanya gadis itu, tak paham larangan yang dicetuskan.“Bukannya ada pegawai yang sudah dibayar untuk mengerjakan?” Menatap dengan tajam, Pascal tidak menyukai tindakan Lana yang menempatkan dirinya sebagai pembantu.“Dia terbiasa melakukan itu! Kenapa harus mengubah kalo Lana suka?!” sambar Esther, dengan muka sinis.Pascal berpaling pada wanita tua dengan raut dingin. “Bagaimana jika kamu yang menggantikan dia, Nyo
Wajah bengap Lukman tampak menyedihkan, ternaring di ranjang pasien dengan beberapa plester di muka dan lengan. Mona menatap suaminya sementara melakukan panggilan ke pengacara.“Aku mau menuntut Pascal Maximus, Ren! Kamu tuh tuli atau apa?! Kok dari tadi nanya Pascal siapa sih!” Suaranya mulai meradang, Mona berjalan menuju dinding kaca ruang opname.[Astaga, Mbak! Serius mau nuntut dia? Masalahnya apa?]“Dia udah nonjokin Lukman tanpa sebab! Cuman gara-gara salah paham, si anjing Lana, bininya kakakku, ngaku-ngaku kalo mau diperkosa sama Lukman! Otaknya udah gila atau gimana? Tampang pembantu aja ngarep bisa menarik suamiku!”Lukman tersenyum dengan seringai licik. Betapa mudah memanipulasi Mona, yang terlalu memujanya dalam segala hal.[Duh, tunggu dulu deh! Aku liat jadwal, ntar kukabarin secepatnya]“A-apa? Jadwal apa lagi? Aku butuh pengacara sekarang, bukan …. halo! Halo! Rendi! Sial!” Panggilannya sudah dimatikan dan Mona memekik kesal. Sudah empat pengacara yang dia hubungi,
Ruangan kotak yang dikepung dinding kaca di lantai tujuh itu tampak lenggang. Isac berdiri menghadap ke luar sambil menatap gedung pencakar langit yang ada di sekelilingnya. Dia masih belum menemukan bukti jelas dari penyelewengan uang bisnisnya hingga detik ini. Entah, sampai kapan si ular pengkhinat itu akan menampilkan diri, rasanya sudah tidak sabar untuk merampungkan semua.Mengisap cerutu kecil havana nomor lima, Isac tak menoleh sedikit pun saat seseorang menyeruak masuk ke dalam.“Pagi, Bos.”“Pagi. Ada kabar terbaru?”Pria berjas rapi tersebut mengambil kartu undangan kecil dengan pita bernuansa emas dari kantong, lalu meletakkan di meja.“Benda itu dibawa ke pelelangan malam ini.”Isac akhirnya menoleh, melangkah dua ayunan untuk membaca undangan yang ditujukan untuk kaum terbatas. “Siapkan uang tiga belas miliar, cash. Pastikan aku pemenangnya.”“Siap, Bos. Aku udah ngomong juga sama Linda.”Pemimpin dunia hitam yang saat ini paling ditakuti itu tampak mengeraskan rahang.
Tak ada lagi yang memerintah dia seenaknya seperti dulu. Lana agak canggung, menerima perubahan saat ini. Semua keluarga suaminya tampak mulai mempertimbangkan ancaman Pascal.Sebenarnya Lana tidak keberatan, sebab apa yang dia kerjakan adalah pekerjaan rumah. Membersihkan kediaman milik Isac sama saja merawat dan menjaga agar dalam keadaan baik. Sementara dia sedang membersihkan daun kering dan rumput pada rumpun bunga mawar-mawarnya, seseorang memperhatikan dari balik pembatas taman pada lorong sambung dua bangunan. Dinding kayu yang memiliki celah kecil-kecil berbentuk diagonal itu memang tempat mengintai terbaik. Lana bagaikan peri bunga di antara berbagai keindahan taman. Mengenakan gaun terusan polos berwarna hijau tua, kakinya yang telanjang tampak menawan. Pascal tak mampu mengenyahkan pikiran tentang gadis tersebut. Mengetahui fakta, jika Lana tidak pernah disentuh Isac, menimbulkan rasa penasaran dalam dirinya. Bisa saja Isac hanya melindungi belaka dan tak berminat pada
Membiasakan diri dengan tanggung jawab menjaga Lana memang tidak begitu menyenangkan. Jika saja Pascal punya pilihan, dia memilih untuk tidak menjadi putra dari Isac Morino. Tapi entah kenapa, setiap yang ayahnya katakan tidak pernah bisa ia bantah sedikit pun. Rasa hormat mungkin alasan yang mendasari Pascal melakukan perintah Isac selama ini. Namun, di lubuk hati terdalam, ada selipan tidak nyaman, ketika Pascal menyadari ia begitu rentan sejak mengenal istri muda ayahnya tersebut. Tanpa Pascal bisa jelaskan, ia memikirkan Lana terus menerus. Meski sedemikian rapat menutupi, tapi gejolak yang terjadi dalam batinnya sulit untuk ia singkirkan. Dia tahu, apa yang saat ini ia rasakan adalah salah …. Akan tetapi, tak peduli seberapa kuat Pascal mencoba mengabaikan, Lana selalu menyita waktu dan pikirannya. ‘Aku bahkan mulai berfantasi menikmati tubuhnya!’ Pascal mencemooh diri sendiri. Ia mencoba mengenyahkan, tapi Lana selalu hadir dalam lintasan. Gadis itu mencuri fokus juga meng
Ia melarang siapa pun membawa Lana masuk ke dalam. Pascal membopong sendiri wanita muda tersebut ke kamar. Membaringkan dengan hati-hati, aroma alkohol tercium dan itu membuat dia sangat jengkel. “Apa yang bikin kamu tertarik sama dia, Pas?” Melan muncul di pintu kamar Lana, kehadirannya cukup mengejutkan walau wanita itu terbiasa datang ke rumah tersebut. Pertanyaan itu tidak segera dijawab. Dia membetulkan gaun yang tersingkap, lalu menyelimuti penuh kehati-hatian, seolah-olah tubuh itu terbuat dari porselen. “Begitu banyak perempuan di luar sana yang sama menariknya dengan gadis kecilmu itu. Mau perawan atau pengalaman, tinggal pilih.” Lelaki itu masih mengabaikan, dia justru menyingkirkan rambut yang ada di dahi Lana. Jarinya mengelus wajah yang didandani, pria itu tidak menyukainya. Pascal lebih menyukai raut muka polos yang selama ini dia gilai. “Hapus riasan itu, Mel. Aku ganti baju dulu.” Dia menegakkan tubuh, lalu melenggang dari kamar yang sangat mewah dengan interior p
Meminta Asmi menjaga Lana selama di rumah sakit, Pascal juga menempatkan penjagaan ketat. Peringatan keras pada pihak pengelola juga ia tegaskan, bahwa Lana tidak boleh diliput oleh wartawan mana pun. Ia kembali ke rumah malam itu, untuk menuntaskan urusan yang harus dia selesaikan. Permintaan Isac agar mengendalikan dirinya sempat ingin Pascal tentang, tapi … untuk saat ini dia tidak memiliki kekuatan membantah.Ayahnya menekankan jika Pascal boleh memberikan pelajaran asalkan tidak melebihi batas. Jujur, Pascal tidak tahu sama sekali, jika Isac ternyata masih peduli terhadap kekuarganya walau mereka telah melakukan tindakan anarkis kepada Lana, istrinya. Apa yang Mona dan seluruh keluarganya lakukan bukan hanya melebihi batas, tapi nyaris membunuh Lana seandainya dia terlambat datang. Biarpun pernikahan antara mereka hanya sekedar berdasarkan keterpaksaan belaka, tapi setidaknya Isac bertindak atas nama nuraninya sebagai sorang suami. Laki-laki seperti apa pun sepatutnya mengamb
BUK!BUK!“Biar mampus sekalian! Dasar perempuan nggak tahu diriiii! Mata duitan, pelacur menjijikkan!!” Mona begitu brutal menghajar Lana yang terkapar di lantai, tak berdaya menangkis tendangan dan injakan di tubuhnya.‘Papa … Papa, tolong aku ….’ Lana berharap dia tidak mati, tapi hantaman demi hantaman itu terus menimpa.Ia menjerit lemah, memohon ampun yang terus diabaikan oleh Mona. Wanita itu seperti sudah kerasukan setan, kalap dan lepas kendali. Di ruangan yang sama, Johan juga Esther menyaksikan dengan wajah puas, sakit hati mereka telah dibalaskan.Dari sudut pandang manusia-manusia di rumah ini, kesialan yang dialami sekarang adalah akibat pengaduan Lana. Gadis itulah yang menyebabkan semua orang mengalami kesulitan dalam segala hal.Dari jatah royalti yang tak lagi mereka terima, sampai uang hasil menipu Isac dengan berbagai cara juga dibekukan. Akses ke beberapa fasilitas mewah pun ditutup. Mereka dibatasi untuk melakukan segala sesuatu, termasuk harta kekayaan pribadi j
Menghindar dari Pascal adalah langkah pertama yang Lana lakukan. Dia berusaha menyibukkan diri di kamar dan tidak keluar sejak pagi. Sayang, itu tak menghentikan pria muda itu untuk mendatangi dirinya.Ketukan keras di pintu membuat Lana memucat. Ia menoleh ke arah akses masuk dengan gugup. Lana ingin mengabaikan, tapi ketukan itu terus terdengar. Bayangan akan murka Pascal menyangkut kecerobohannya mabuk semalam, terbayang jelas di benaknya. ‘Selamatkan aku dari manusia itu, ya, Tuhan ….’ Lana membasahi bibirnya yang kering. Saat mengayun kaki, detak jantungnya tak bisa ia hentikan. Tangan itu bahkan gemetar, menarik gagang pintu keemasan dengan untaian doa mengalir.Ceklek!Pascal dengan tampilan rapi dan aroma parfum khasnya, berdiri di depan kamar Lana. Pandangannya memang tajam, tapi ekspresi wajah itu tak menunjukkan kemarahan. “Kamu nggak keluar buat sarapan. Semua baik-baik aja?”Selama sekian detik Lana terpana, tidak menduga jika Pascal akan bersikap seperti biasa. Kekhaw
Ia melarang siapa pun membawa Lana masuk ke dalam. Pascal membopong sendiri wanita muda tersebut ke kamar. Membaringkan dengan hati-hati, aroma alkohol tercium dan itu membuat dia sangat jengkel. “Apa yang bikin kamu tertarik sama dia, Pas?” Melan muncul di pintu kamar Lana, kehadirannya cukup mengejutkan walau wanita itu terbiasa datang ke rumah tersebut. Pertanyaan itu tidak segera dijawab. Dia membetulkan gaun yang tersingkap, lalu menyelimuti penuh kehati-hatian, seolah-olah tubuh itu terbuat dari porselen. “Begitu banyak perempuan di luar sana yang sama menariknya dengan gadis kecilmu itu. Mau perawan atau pengalaman, tinggal pilih.” Lelaki itu masih mengabaikan, dia justru menyingkirkan rambut yang ada di dahi Lana. Jarinya mengelus wajah yang didandani, pria itu tidak menyukainya. Pascal lebih menyukai raut muka polos yang selama ini dia gilai. “Hapus riasan itu, Mel. Aku ganti baju dulu.” Dia menegakkan tubuh, lalu melenggang dari kamar yang sangat mewah dengan interior p
Membiasakan diri dengan tanggung jawab menjaga Lana memang tidak begitu menyenangkan. Jika saja Pascal punya pilihan, dia memilih untuk tidak menjadi putra dari Isac Morino. Tapi entah kenapa, setiap yang ayahnya katakan tidak pernah bisa ia bantah sedikit pun. Rasa hormat mungkin alasan yang mendasari Pascal melakukan perintah Isac selama ini. Namun, di lubuk hati terdalam, ada selipan tidak nyaman, ketika Pascal menyadari ia begitu rentan sejak mengenal istri muda ayahnya tersebut. Tanpa Pascal bisa jelaskan, ia memikirkan Lana terus menerus. Meski sedemikian rapat menutupi, tapi gejolak yang terjadi dalam batinnya sulit untuk ia singkirkan. Dia tahu, apa yang saat ini ia rasakan adalah salah …. Akan tetapi, tak peduli seberapa kuat Pascal mencoba mengabaikan, Lana selalu menyita waktu dan pikirannya. ‘Aku bahkan mulai berfantasi menikmati tubuhnya!’ Pascal mencemooh diri sendiri. Ia mencoba mengenyahkan, tapi Lana selalu hadir dalam lintasan. Gadis itu mencuri fokus juga meng
Tak ada lagi yang memerintah dia seenaknya seperti dulu. Lana agak canggung, menerima perubahan saat ini. Semua keluarga suaminya tampak mulai mempertimbangkan ancaman Pascal.Sebenarnya Lana tidak keberatan, sebab apa yang dia kerjakan adalah pekerjaan rumah. Membersihkan kediaman milik Isac sama saja merawat dan menjaga agar dalam keadaan baik. Sementara dia sedang membersihkan daun kering dan rumput pada rumpun bunga mawar-mawarnya, seseorang memperhatikan dari balik pembatas taman pada lorong sambung dua bangunan. Dinding kayu yang memiliki celah kecil-kecil berbentuk diagonal itu memang tempat mengintai terbaik. Lana bagaikan peri bunga di antara berbagai keindahan taman. Mengenakan gaun terusan polos berwarna hijau tua, kakinya yang telanjang tampak menawan. Pascal tak mampu mengenyahkan pikiran tentang gadis tersebut. Mengetahui fakta, jika Lana tidak pernah disentuh Isac, menimbulkan rasa penasaran dalam dirinya. Bisa saja Isac hanya melindungi belaka dan tak berminat pada
Ruangan kotak yang dikepung dinding kaca di lantai tujuh itu tampak lenggang. Isac berdiri menghadap ke luar sambil menatap gedung pencakar langit yang ada di sekelilingnya. Dia masih belum menemukan bukti jelas dari penyelewengan uang bisnisnya hingga detik ini. Entah, sampai kapan si ular pengkhinat itu akan menampilkan diri, rasanya sudah tidak sabar untuk merampungkan semua.Mengisap cerutu kecil havana nomor lima, Isac tak menoleh sedikit pun saat seseorang menyeruak masuk ke dalam.“Pagi, Bos.”“Pagi. Ada kabar terbaru?”Pria berjas rapi tersebut mengambil kartu undangan kecil dengan pita bernuansa emas dari kantong, lalu meletakkan di meja.“Benda itu dibawa ke pelelangan malam ini.”Isac akhirnya menoleh, melangkah dua ayunan untuk membaca undangan yang ditujukan untuk kaum terbatas. “Siapkan uang tiga belas miliar, cash. Pastikan aku pemenangnya.”“Siap, Bos. Aku udah ngomong juga sama Linda.”Pemimpin dunia hitam yang saat ini paling ditakuti itu tampak mengeraskan rahang.
Wajah bengap Lukman tampak menyedihkan, ternaring di ranjang pasien dengan beberapa plester di muka dan lengan. Mona menatap suaminya sementara melakukan panggilan ke pengacara.“Aku mau menuntut Pascal Maximus, Ren! Kamu tuh tuli atau apa?! Kok dari tadi nanya Pascal siapa sih!” Suaranya mulai meradang, Mona berjalan menuju dinding kaca ruang opname.[Astaga, Mbak! Serius mau nuntut dia? Masalahnya apa?]“Dia udah nonjokin Lukman tanpa sebab! Cuman gara-gara salah paham, si anjing Lana, bininya kakakku, ngaku-ngaku kalo mau diperkosa sama Lukman! Otaknya udah gila atau gimana? Tampang pembantu aja ngarep bisa menarik suamiku!”Lukman tersenyum dengan seringai licik. Betapa mudah memanipulasi Mona, yang terlalu memujanya dalam segala hal.[Duh, tunggu dulu deh! Aku liat jadwal, ntar kukabarin secepatnya]“A-apa? Jadwal apa lagi? Aku butuh pengacara sekarang, bukan …. halo! Halo! Rendi! Sial!” Panggilannya sudah dimatikan dan Mona memekik kesal. Sudah empat pengacara yang dia hubungi,
Pagi itu sangat berbeda. Tidak ada yang mengedor pintu kamar Lana, apa lagi berteriak padanya. Keluarga suaminya bersantap dengan wajah tegang, melirik ke arah Pascal yang tampak tenang menghabiskan sarapan.Lana tidak turut duduk di sana, bahkan ketika Pascal mengajaknya, ia menolak. Pria itu masih bisa menahan diri, memantau semua dan mempelajari satu persatu kejadian. Dia tidak habis pikir, Isac membiarkan istrinya tersiksa di sangkar emas yang ayahnya ciptakan untuk Lana.“Tinggalkan semua itu, Nyonya!” seru Pascal, ketika melihat Lana membereskan meja makan. “Kenapa?” tanya gadis itu, tak paham larangan yang dicetuskan.“Bukannya ada pegawai yang sudah dibayar untuk mengerjakan?” Menatap dengan tajam, Pascal tidak menyukai tindakan Lana yang menempatkan dirinya sebagai pembantu.“Dia terbiasa melakukan itu! Kenapa harus mengubah kalo Lana suka?!” sambar Esther, dengan muka sinis.Pascal berpaling pada wanita tua dengan raut dingin. “Bagaimana jika kamu yang menggantikan dia, Nyo