Gadis itu berjalan biasa saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan wanita yang telah menjadi mertuanya. Terlihat mulai gelisah tidak sabar menunggu kehadiran putranya. Menjelaskan semua yang mengganjal pikirannya.Marwa hanya melirik sekilas saat gadis bercadar itu melewatinya. Sengaja dia berpura fokus membaca majalah. Sama sekali tidak berniat untuk menyapanya.Gadis itu berhasil melewati gerbang depan dengan alasan ingin membeli pembalut yang memang kebetulan kehabisan pada satpam jaga.Dengan mempercepat langkah dia menuju pos penjaga kompleks. Tangannya menggenggam foto Nana, cukup untuk modal mencari Nana.“Assalamualaikum. Pak,” Bella mengucap salam pada satpam jaga.“Wa’alaikumsalam, Neng,” jawab satpam.“Saya boleh minta tolong gak, Pak? Saya ingin mencoba mencari Nana istrinya Burhan yang hilang. Saya tidak tahu daerah sini. Apa bapak ada kenalan supir taksi yang bisa menemani saya mencarinya seharian ini,” jelas Bella kepada dua satpam yang berada dalam pos sembari menunjuk
“Sepertinya dia sedang keluar. Dari tadi belum ada dia kembali,” ungkap Marwa.“Keluar? Kenapa dia tidak meminta izin kepadaku,” rutuk Burhan.“Emangnya kamu suaminya harus izin segala. Ngapain kamu pedulikan dia. Yang perlu kamu pikirkan itu Nana,” tekan Marwa.“Bukan gitu juga Ma, tapi aku tuan rumah disini. Dia Cuma numpang. Tidak bisa seenaknya keluar masuk, emangnya ini rumah bapak moyangnya,” ujar Burhan.“Mama tidak pernah mengajar kalian untuk mencampuri urusan orang lain. Selama dia nyaman dan tidak menyusahkanmu biar saja dia keluar. Siapa tahu dia bertemu jodohnya. Atau kamu ingin menjadikan dia istri muda? Awas saja kalau itu benar terjadi mama yang akan memangkas pusakamu itu,” ancam Marwa.Sedang burhan meneguk ludah yang seketika terasa pahit. Habislah dia jika wanita yang mengancamnya barusan tahu bahwa dia telah menikahi gadis itu.“Lanjutkan aktivitasmu hari ini. Kita bicarakan lagi setelah kedua saudaramu tiba. Mama sangat lelah,” pinta Marwa.Permintaan sang mama m
“Heh, bocah ilmu dari mana bisa melakukan itu semua,” seru Sopie menatap tajam adik laki-lakinya itu.Namun yang ditanya hanya menundukkan wajah tidak berani menatap salah satu dari tiga wanita yang paling berharga untuknya“Abang, Bangbur. Jawab Bang, apa benar kak Nana pergi dari rumah ini. Kenapa Bang? Apa Abang telah menyakiti hatinya,” cecar Amel tidak terima atas kepergian ipar kesayangannya itu.“Jawablah Nak, kami tidak akan menghukummu. Kita cari solusi bersama,” bujuk Marwa agar Burhan mau buka mulut.“Sejak kapan Nana pergi, mengapa tidak memberi tahu kami,” tanya Sopie geram.Burhan masih bungkam. Bukan dia tak ingin berkata jujur. Ingin sekali dia membagi kesedihan pada tiga wanita yang dihadapannya. Telah menjadikan dia seorang terdakwa.Hanya dia tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya. Semuanya saling berkaitan yang berujung akan tetap dia yang salah.“Bocah, jawab kenapa? Kita cari solusi bersama,” seru Sopie.“Entah rahasia besar apa yang dia sembunyik
“Pelakor, pasti kamukan yang menyebabkan Nana pergi,” cicit Sopie pada gadis yang sibuk membereskan meja makan.Dari pagi semua pekerjaan rumah dialihkan pada Bella. Bi Siti tidak bisa berbuat banyak setiap pekerjaan diawasi.Gadis itu mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Pura-pura tidak mendengar dengan terus melakukan pekerjaannya.“Ditanya itu, harus dijawab,” lanjut Sopie memancing amarahnya.“Kamu dengarkan?” Amel menepuk pundak Bella.“Dengar, tapi maaf nama saya Bella bukan pelakor,” jawab Bella santun.“Saya tahu kamu Bella, tapi kamu itu pelakor. Karena kamu Nana pergi paham,” seru Sopie menarik cadar yang selama ini tidak pernah lepas dari wajah ayu gadis itu.“Amazing, luar biasa cantik, mulus dan ah entahlah.” puji Amel melihat wajah Bella untuk pertama kalinya.“Beginikan enak, dalam rumah kok topengan. Dan ini juga.” Sopie ingin menarik Khimar sedang kain penutup wajah gadis itu telah berlabuh ditempat sampah.“Anda sudah melewati batas, saya diam bukan karena ta
“Setiap waktu aku selalu berdiri disini. Hingga Aku benar-benar lelah dan mengantuk. Berharap kak Nana muncul dari balik saja,” beber Bella menunjuk ke arah gerbang.“Maafkan saudaraku yang telah menyakitimu,” pinta Burhan menangkupkan kedua tangannya di dada sebagai wujud kesungguhan meminta maaf.“Tidak apa-apa, ini bukan salah mereka. Aku juga terbiasa disalahkan selama ini,” sindir Bella pada laki-laki yang ikutan berdiri menghadap jendela.“Kau, ah. Selalu saja mencari masalah denganku,” geram Burhan.“Aku tidak mengatakan itu Abang, tapi jika Abang merasa baguslah,” sahut Bella berjalan menuju ranjang. Kakinya terasa sakit, mungkin tadi sedikit keseleo, namun dia tidak menyadarinya.“Jelaskan padaku apa hubungan kamu dengan bocah laki-laki yang mengantarmu sore kemarin,” celetuk Burhan.“Kan dia sudah katakan, bahwa dia supir taksi. Lagian itu bukan urusan Abang jika memang kami ada hubungannya,” timpal Bella sengaja mencari perkara agar laki-laki itu segera pergi dari kamarnya.
“Kamu sudah kembali, Na,” tanya Sopie yang baru keluar kamar. Rambutnya acak-acakan sepertinya baru bangun tidur.“Hei, ada apa dengan kalian semua. Kemarin kalian menjadikan aku seperti terpidana mati. Tapi, dia kalian tutup mata. Seakan tidak terjadi apa-apa,” racau Burhan yang merasa aneh akan sikap keluarganya.“Tolong bawa kakakmu ke kamar temani dia,” perintah Marwa pada Bella.Dia mengangguk dan membawa Nana menuju kamarnya.“Untuk saat ini jangan ada yang membahas hal yang membuat Nana tidak nyaman. Atau kalian semua ingin dia pergi lagi,” ancam Marwa berlalu meninggalkan ketiga anaknya yang belum mengerti maksudnya.“Apa mereka sudah mengetahui tentang pernikahanmu,” tanya Nana mendaratkan bokongnya di kasur.“Tahu kak, Bang Burhan yang mengatakannya. Sebelum Kakak datang tadi,” jawab Bella.“Apa Kak Sopie menyakitimu?” selidik Nana setelah tanda di wajah Bella sesaat penutupnya dilepas. “Berkatalah sejujurnya Bel, aku sangat paham wataknya. Dia tidak segan melakukan apapun
Serendah itukan dirinya demi uang rela menyewa rahim. Dia masih dapat mentolerir jika disebut pelakor tapi ini lebih menyakitkan.“Mama, dia juga tidak menginginkan hal ini bahkan dia sempat meminta membatalkannya. Dia gadis baik, tidak serendah itu,” sela Nana menggenggam erat tangan gadis yang telah menjadi madunya.“Jadi apa alasan kamu menerimanya. Kamu bisa saja menolak. Atau kabur sekalian. Jangan jadi duri dalam daging,” cerocos Marwa sengaja menyudutkan menantu barunya itu lebih tepatnya menantu yang tidak diinginkan.Jauh dalam hatinya, dia juga ingin cucu dari anak laki-laki semata wayangnya. Tetapi, bukan seperti ini jalannya. Toh, selama ini Nana belum pernah periksa, hanya mendengarkan dari ibu tirinya.“Saya hanya tidak ingin mengecewakan kak Nana,” jawab Bella singkat.“Baiklah, Mama punya satu syarat untuk kalian bertiga.” Marwa menatap Nana, Bella dan Burhan bergantian.“Syarat?” sanggah Burhan yang sedari tadi tidak berniat untuk mendengar pembicaraan. Lebih memilih
“Apa Aku pelakor, Kak,” ungkap Bella mencari pembenaran dalam manik wanita yang telah mengubah nasibnya.Mengambil tas usang miliknya. Tekadnya sudah bulat. Tetap bertahan akan membuat semua orang membencinya.“Aku mohon Bel, jangan. Jangan tinggalkan Aku. Apa kau lupa pada janjimu? Untuk tetap bertahan apapun yang terjadi," Nana memohon dan merebut tas di tangannya.“Maaf kak, aku tidak bisa. Tolong biarkan aku pergi.” Bella memalingkan wajah.“Demi aku, yang telah menjadi saudaramu. Jangan pergi. Aku tidak punya saudara selain kamu. Jika kamu pergi pada siapa lagi Aku akan berbagi. Dari kecil aku hidup sendiri. Orang tuaku telah berpulang. Hanya Bi Siti yang setia menemaniku. Memiliki harta berlimpah bukan berarti Aku tidak kesepian. Apa kau ingin aku mengulang masa itu kembali,” terang Nana.“Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga Kakak. Seperti yang dikatakan Kak Sopie. Aku pelakor. Pelakor, Kak,” imbuh Bella terisak.“Tidak, tidak. Kamu tidak pelakor. Aku yang memintanya. Hub
Hati Maya kembali tersayat entah untuk keberapa kalinya.“Tunggu sebentar Nduk,” sahut Mbah Ipeh yang sedang melayani pasiennya dari dalam gubuknya.Tempat Nana terjatuh memang tidak begitu jauh dari tempat tinggal wanita tua itu.Itu sebabnya Maya membawanya kesana. Untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sebelum nanti dibawa kerumah sakit yang berjarak cukup jauh dari desa.Maya sudah yang sudah beberapa kali kesana. Tentu sangat hapal jalannya yang masih dipenuhi semak belukar.Ya, wanita itu juga salah satu pasien dukun kampung itu. Yang terkenal mempunyai ilmu hitam yang tinggi.Dalam satu kedipan mata bisa membunuh korbannya. Mereka yang datang kesana pasti mempunyai dendam.“Ini siapa Maya,” tanya Mbah Ipeh keluar menemuinya yang duduk diamben menangku Nana.Sesaat pengguna jasanya pergi dari sana. Dari penampilan bisa ditebak wanita itu merupakan bukan wanita yang baik.“Ini anak tiri saya, Mbah. Itu tadi siapa?” tanya Maya penasaran.“Dia itu yang kerja diwarung dekat kebun it
“Sudah Tante, ayo kita pulang. Jangan buat keributan disini,” bisik Tary yang masih mencekal lengan Maya.“Iya bawa Tantemu, pergi dari sini,” celetuk Bella.“Tunggu dulu Tary, urusanku belum selesai. Burhan harus bertanggung jawab pada apa yang terjadi padamu,” tolak Maya.Burhan melirik kearah Tary, benar dipergelangan tangan kirinya ada luka yang masih diperban.Maya tidak bohong, tapi untuk apa gadis itu melukai diri sendiri. Sebesar apa harapan gadis itu yang dia patahkan.Bella mencubit perut Burhan, saat tahu mata Burhan tidak beralih dari gadis baru datang itu.“Sakit tau,” bisik Burhan menggosok bekas cubitan Bella.“Itu akibatnya tidak bisa menjaga mata,” tekan Bella nada sepelan mungkin.Tary menggunakan seluruh tenaganya untuk membawa Maya pergi dari sana. Maya pun yang hampir terpojok pasrah mengikutinya.Nana berbalik dan merangkul Bi Siti. Pertahanannya roboh seiring perginya Maya dan Tary.“Menangislah luapkan semua kesedihanmu saat ini. Esok kau harus berjanji tidak a
“Maya Cahayadiningrat , saya Nayla Rahmawati binti Abdul Razak. Putri tunggal dari ibu Rahayu. Apa anda mengenali saya. Mama Maya yanby terhormat,” sanggah Nana menggeram.Nana sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengangkat suara. Wanita yang dia panggil Mama itu. Semakin mengelunjak tidak berpikir kalimatnya melukai banyak orang.“Nayla Rahmawati, Nanaku sayang Nanaku malang. Kamu mengenali Mama, Nak,” tanya Maya mata mengarah pada wanita yang berusaha tenang.“Apa kurang cukup yang Mama berbuat pada saya dulu, hingga sekarang Mama ingin merampas suami saya.” Nana berdiri mengikis jarak dengan wanita yang dikiranya malaikat.“Baguslah kau sudah tahu, jadi tolong minta suamimu menikahi Tary. Sama yang kau lakukan pada pelakor itu, Mama yakin kalian akan bisa hidup damai. Mama tidak merampas, kau cukup berbagi saja.” Maya menyentuh pipi mulus Nana.“Kembalikan rahim saya,” tekan Nana singkat menepis tangan Maya.“Na, kamu sayang Mama-kan. Bisa kamu mengabulkan permintaan Mama ini,” buju
Tary dari tadi bolak balik dibrankar. Dia SEO diri diruang itu sang Tante sedang mencari makan.“Kita sudah bisa pulangkan, Tante. Aku bosan berada disini,” rutuk Tary saat Maya baru masuk ditangan menenteng kantong plastik. Berisi makanan dan buah yang dibelinya. Pada pedagang yang menjajakan jualannya sekitar rumah sakit.“Harusnya sebelum kau mengiris nadimu. Siapkan mentalmu untuk betah berada disini,” ketus Maya. “Ini makanlah, agar kau punya banyak tenaga untuk menghadapi perceraian orang tuamu.”“Mereka akan berpisah, Tante. Mereka sungguh tidak menganggap keberadaanku,” lirih Tary meraih mangkuk berisi bubur ayam yang sodorkan Maya.“Kamu harus buktikan pada ayah dan ibumu. Kamu bisa sukses tanpa campur tangan mereka,” ungkap Maya membangun semangat dari putri semata wayang kakaknya.“Aku harus membujuk Burhan untuk menyemangati Tary. Tak masalah jika harus memohon asal dia bersedia membantu,” batin Maya.Maya mengatakan pada Tary akan pulang sebentar. Dia harus segera bicara
“Selamat pagi nenek,” sapa Bella mengendong bayinya melintasi dapur.Bayi mungil itu akan berjemur dibawah cahaya matahari pagi.“Eh, cucu nenek sudah wangi,” sahut Bi Siti mendekati Bella.“Yang lain belum bangun, Bi.” Tanya Bella.“Belum, hawa dingin enak buat tidur. Tapi Bibi gak bisa bangun ninggi hari.” Bi Siti mengambil alih baby Zizi.“Aku juga. Makanya kami sudah wangi, Nek.”“Biar Bibi yang jemur cucu sayang ini, Bundanya mamam dulu. Isi bensin yang banyak supaya mik Zizi banyak.” Bi Siti mengecup pipi gembul bayi mungil itu.Bi Siti berjalan kehalaman belakang. Tempat yang lantang terkena sinar matahari.Sedang Bella menikmatinya sarapannya. Yang hambar dilidahnya, seret ditelan.Pikiran tertuju pada Nana, wanita sebaik itu harus mengalami banyak cobaan. Semalam hanya beberapa jam saja dia dapat terlelap.Mandul, kata itu terus mengusiknya. Dia sangat prihatin, andai bisa. Ingin dia donorkan rahimnya untuk Nana.Kakak madunya itu telah memberikan banyak. Namun dia tidak mamp
Nana harus bisa punya anak walau hanya satu orang. Anak itu adalah ahli waris sah atas harta peninggalan mendiang orang tua Kakak madunya ini.Bella sangat paham anaknya tidak ada hak untuk mendapatkan semua ini. Baby Zizi tidak ada hubungan darah dengan sang pemilik harta.“Selain itu dia pesan apa lagi?” tanya Burhan menengahi.“Gak ada hanya itu, dia mengatakan kalau bisa secepatnya. Mengingat umur Nana yang tidak muda lagi. Usia produktifnya tinggal sedikit lagi,” jelas Ferdi.“Menurutmu bagaimana, Dik. Abang rasa sebaiknya kita periksa saja. Kamu mau ya,” ujar Burhan penuh harap.“Aku akan pikirkan lagi, Aku sudah tidak berharap lagi. Toh, sekarang sudah ada Zizi. Dan itu sudah cukup,” timpal Nana berusaha meredam perasaannya.‘MANDUL'Rangkaian lima huruf sangat horor bagi mereka yang dapatkan predikatnya.Tidak terkecuali Nana, nyalinya seketika menciut. Kehadiran anak bagi orang yang telah berumah tangga.Hal yang paling penting, saat bertemu dengan siapa pun yang pertama dita
Maya mulai mengukur dan menghitung. Banyaknya derita hidup yang harus ditanggung Nana. Karna dendam yang tak pernah mendatangkan kepuasan.Maya masih ingin lagi dan lagi menikmati kesengsaraan Nana. Untung untuknya nyatanya juga tidak ada.“Ta-tante.” suara Tary terdengar lemah membuyarkan lamunan Maya.“Kamu sudah sadar,” tanya Maya mengulas senyum.“Aku dimana? Mengapa Tante ada disini. Apa Aku sudah mati.” Tary memindai ruangan ini.“Kamu dirumah sakit. Tadi Tante mendapatkan kamu tergelak dilantai.”“Harusnya Tante biarkan saja Aku mati.” Sudut matanya mengalir cairan bening.“Kalau kau ingin mati jangan dirumahku. Aku tidak ingin disalahkan orang tuamu atas kematianmu,” cecar Maya.“Tidak akan. Mereka saja lupa punya anak. Orang tuaku tidak pernah peduli, Tante,” lirih Tary.“Mereka bukan lupa, hanya sibuk-““Sibuk dengan selingkuhannya masing-masingkan, Tante,” sanggah Tary menghentikan ucapan Maya.“Tary, jangan lakukan hal bodoh. Jangan lukai dirimu sendiri lagi. Tante mohon,”
“Dia diruang kerja. Mau guyur-guyur, nunggu cover boy selesai lama,” sindir Bella menyusui baby Zizi menghadap tembok.“Nak, Mami dan Bundamu jahat. Membiarkan Papi terjebak dengan manusia planet itu,” ucap Burhan yang ingin menyentuh pipi gembul putrinya. Tapi langsung ditepis Nana.“Jangan sentuh anak kita selama masih ada bekas gadis itu. Sana mandi dulu,” sembur Nana.“Iya, sana mandi dulu,” sambung Bella.“Nanti saja, Abang mau tahu ada angin apa gadis itu berani kesini.” Burhan mendaratkan tubuhnya dikarpet. Tulang punggungnya terasa pegal, terlalu lama berdiri.Bella menceritakan semuanya tapi dia tidak serta-merta mengatakan kekesalannya.“Tapi perlu Abang tahu Bundanya Zizi marah sekali, Bang. Dia tidak mau suaminya diambil orang,” ledek Nana.“Siapa yang tidak emosi. Dia dengan yakin mengatakan akan menjadi yang ketiga. Enak saja, gak sudi,” sembur Bella.“Lalu Kakak Nana tercinta apa yang dia lakukan. Oo, Abang tahu, pasti dia diam sambil menahan senyum,” sindir Burhan.“Ko
Botol bekas minumnya dibuangnya asal kelantai. Dia sengaja memancing amarah Nana. Sebatas mana kesabaran wanita yang sangat disanjung Burhan itu.“Lihat tampilanmu yang begitu, lalat saja akan berpikir untuk hinggap.” Bella semakin geram.Bella ingin tahu berasal dari planet mana gadis ini. Tidak ada malu-malunya padahal dia sudah menghinanya.Ini kali pertama seorang Bella yang santun dan lemah lembut bicara kasar. Orang tuanya tak bosan mengingatkannya untuk menjaga nada bicara saat marah sekalipun.“Dalam kamar juga kau melepaskan semua itukan. Kalau tidak, mana bisa bayi itu lahir.” Tary menunjuk pakaian yang dikenakan Bella dan melirik pada baby Zizi berada dalam gendongan Nana.“Kau, cepat pergi dari sini. Atau Aku akan memanggil security menyeretmu keluar,” usir Bella.“Apa hakmu mengusirku, sedang yang punya rumah ini saja tidak terganggu dengan kehadiranku. Dimana-mana memang pelakor itu selalu ingin menguasai,” papar Tary.“Aku nyonya dirumah ini. Dan Aku tidak suka kau mene