“Jika ternyata Aku juga tidak bisa hamil, apa Kakak akan kembali memaksa Bang Burhan menikah untuk ketiga kalinya.” senyum Bella mengembang kala melihat Nana kebingungan menjawab pertanyaannya.
“Entahlah, semoga saja kau cepat hamil.” Nana berdiri dari tempat duduknya.
Meraih minuman dan camilan yang telah disiapkan.
Nana menggelengkan kepalanya mengingat pertanyaan bella. Terbayang olehnya Burhan memiliki banyak istri.
“Apa yang Aku pikirkan, satu ini saja susah payah aku wujudkan,” batin Nana.
Bella terbahak melihatnya sikap Nana yang ngedumel sendiri.
“Lupakan ucapanku barusan, Kak.” Bella menghampiri Nana.
Nana sedikit terlonjak saat Bella menepuk pundaknya. Lamunan yang terlalu dalam membuat Nana lupa saat ini berada dimana.
“Ayo kita kedepan acara akan dimulai,” ajak Nana.
“Kakak jangan terlalu jauh dariku. Aku takut kak,” rengek Bella. Dia merasa jika Nana akan meninggalkannya.
“Aku akan duduk dibelakang pria yang sebentar lagi akan menjadi suami kita.” Mendengar itu Bella sedikit tenang, minimal dia masih bisa mengawasi Nana.
Bella begitu menyayangi Nana baginya Nana adalah peri pelindungnya. Setelah kedua orang tuanya berpulang menghadap sang khalik setahun yang lalu.
Orang tuanya meninggal akibat ditabrak orang yang tidak bertanggung jawab.
Bella tidak dendam pada si pelaku hanya dia ingin tahu saja siapa orang yang telah membuatnya menjadi yatim piatu dalam waktu bersamaan.
Nana dan Burhan yang kebetulan dikenalnya bersedia menampungnya saat semua sanak saudara kompak mengacuhkannya.
Waktu itu Nana dan Burhan menemukannya tengah duduk menekan perutnya. Dia kelaparan uang ongkos untuk kembali ke pesantren telah dia berikan pada anak pemulung yang kelapangan sehari sebelumnya.
Bella sangat peduli pada kesusahan dan penderitaan orang lain sampai lupa jika dia juga butuh bantuan.
Dia selalu yakin bahwa Allah akan selalu memberi pertolongan dan tidak akan membiarkan dia kesusahan seorang diri.
Dengan terpaksa dia memilih ikut bersama Nana dan Burhan. Demi untuk sebungkus nasi kucing mengisi lambungnya sudah sangat perih. Hingga Nana menawarkannya untuk tinggal bersama mereka.
Nana butuh partner dalam mengelola panti asuhan miliknya yang belakang jumlah anak-anak panti meningkat setiap bulannya.
Hingga setahun berlalu, tiba-tiba Nana menginginkan dirinya menjadi adik madu, ibu untuk anak-anak suaminya.
Ambisi Nana yang menginginkan anak dari benih Burhan mengharuskan Bella menerima permintaan Nana sebagai tanda balas Budi.
Bella tidak bisa mengecewakan Nana setelah apa yang telah diperoleh dari Nana.
Nana memberikan kasih sayang seperti seorang kakak pada adiknya. Nana juga membebaskan dia menggunakan semua fasilitas yang dimiliki Nana.
Bella yang merupakan anak tunggal begitu bahagia atas sikap Nana padanya. Bagai menemukan oase ditengah padang pasir.
Bella sama sekali tidak menyukai Burhan. Selama tinggal bersama mereka, Bella selalu menghindari untuk bertemu Burhan. Kecuali Nana yang mengharuskan mereka berkumpul bertiga.
“Kau dimana Kak, mengapa kau tinggalkan aku sendiri. Bukannya kau sudah berjanji padaku untuk tetap bersamaku. Kembalilah kak, aku tidak ingin pernikahan ini. Tapi demi kau aku rela. Demi kebahagiaanmu, aku kuburkan harapan untuk hidup bersama pria yang selalu kusebut dalam doa," lirih Bella tengah terisak dalam toilet.
Dia sudah meminta izin pada Burhan untuk buang air kecil, namun dia belum mengatakan jika Nana menghilang.
Dia masih berharap bisa menemukan sendiri keberadaan Nana.
Bella tidak memperdulikan penampilannya mirip hantu perempuan yang diperankan Suzana. Wajahnya memang ditutupi cadar namun, masih terlihat maskara dan eyeliner yang luntur memberi kesan seram pada manik matanya.
Bella keluar dari toilet menuju Burhan yang sibuk menyalami tamu undangan yang memberi selamat atas pernikahan keduanya.
“Hei, kau ini kenapa mirip miss kunti,” ucap Burhan saat Bella telah duduk mematung di sampingnya.
“Kau punya telinga ‘kan? Aku bertanya padamu. Tampilanmu sangat memalukan. Oh, Tuhan mengapa Nana memberi kan aku istri sepertimu,” lanjut Burhan kesal, pertanyaan diabaikan oleh Bella.
Bukannya menjawab justru Bella semakin menangis. Dia sudah tidak dapat membendung sesak di dada.
Bella begitu ketakutan kehilangan Nana. Terdengar bisik-bisik dari tamu undangan.
“Kasian pelakor, paling habis dihajar istri pertama.”
“Tau, udah tau suami orang masih saja mau.”
“Dasar gak tahu malu.”
“Tampilan alim, tapi akhlak nol.”
“Asal banyak uang, suami orang pun di sikat.”
“Hu hu ...”
“Yang lakinya juga punya istri cantik masih ngembat yang model gituan.
“.....”
“.....”
“.....”
Telinga Burhan memanas mendengar hujatan mereka.
Burhan meraih microphon “Kalian tidak berhak menghakimi kami. Kalian semua tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Bijaklah berkomentar agar tidak melukai siapapun.”
Lalu menarik tangan bella, menyeretnya hingga di parkiran. Membuka pintu mobil, dan melemparkan tubuh Bella kebangku belakang.
“Hallo, Kau urus semua. Aku harus pulang. Ada urusan mendadak.” Burhan menelpon asistennya untuk mengurus kekacauan yang ditimbulkannya oleh tingkah Bella.
“Astaga, Nana dimana?”
“Bukan sudah abang ingatkan berkali-kali, pernikahan ini pada akhirnya akan menyakitimu. Kenapa kau sangat keras kepala dan tidak mau mendengar ucapan suamimu ini.” Burhan bermonolog menyesali sikap keras kepala dan egois Nana dan pada akhirnya menyusahkan semua orang
Burhan memutar balik mobil yang sudah separuh jalan meninggalkan tempat itu. Dengan kecepatan penuh melajukan kendaraan keluaran terbaru yang seharga dua koma lima milyar itu.
Yang dibelinya sebagai kado pernikahan mereka yang ke tujuh tahun. Dan juga membuatnya mengalami kejadian waktu itu.
Burhan harus segera bertemu Nana membawanya pulang bersama.
Bella yang tidak berhenti menangis hanya memperhatikan apa yang dilakukan Burhan.
Bella ingin sekali mengatakan pada Burhan apa yang terjadi, tetapi dia sama sekali tidak mampu untuk sekedar mengangkat bibir lidahnya terasa kelu.
“Kak Nana, tolong aku. Selamatkan aku dari lelaki ini. Dia sepertinya sangat membenciku. Kak, kenapa kakak jahat meninggalkan aku, kakak usah berjanji untuk terus bersamaku. Kak pulang lah, aku sangat membutuhkanmu saat ini.” Bella membatin dengan mata yang terpejam.
Mobil baru saja memasuki halaman parkir tampak para tamu undangan sudah membubarkan diri.Satu persatu meninggalkan tempat itu. Tergesa Burhan masuk kedalam mencari keberadaan istrinya di setiap sudut ruangan.Sosok wanita yang teramat dicintainya itu sudah tidak ada. Burhan menendang apa saja yang ada di hadapannya.Dia sangat frustasi, teringat Bella yang masih bungkam dalam mobil membuat emosinya semakin membuncah.Pintu mobil dibuka kasar, menarik Bella keluar dari mobil.“Katakan padaku apa yang kau lakukan,” pekik Burhan.“Ti- tidakk tahu,” isak Bella.“Jujur,” suara Burhan semakin menggelegar.“A- aku tidak, ta-tahu,” jawab Bella ketakutan.“Ck, tidak tahu tapi kau menangis." Burhan semakin geram pada tingkah Bella.Bella hanya menggeleng tubuh tersungkur tepat dihadapan Burhan.“Hei, kau tak perlu drama. Aku tidak akan peduli padamu.” Burhan berbalik memunggungi Bella.“Maaf, ada apa Pak. Sebaiknya jika ada masalah selesaikan di rumah saja. Kasian istri Bapak,” tegur satpam ya
“Ini semua sudah menjadi ketentuan Tuhan nak. Jangan salahkan dirimu. Bibi sangat tahu kau gadis yang baik,” Bi Siti mengusap punggung Bella penuh kasih.“Terima kasih Bi, sudah percaya padaku. Aku tahu diri, tidak mungkin Aku menyakiti Kak Nana. Walau hanya seujung kuku. Dia telah memberikan Aku semuanya, Bi. Tidak ada yang Aku inginkan selain, selalu bersamanya. Kak Nana pulang lah. Aku takut kak,” racau Bella.“Bersihkan dirimu, jangan berpikir untuk pergi jika kamu menyayangi Nana. Bibi yakin Nana akan kembali." Bi Siti menuntun Bella kekamarnya. Kamar yang terletak di lantai satu. Bersebelahan dengan kamarnya.Rumah besar itu tidak memiliki kamar pembantu. Semua kamar berukuran sama seperti kamar utama dengan fasilitas yang sama.Nana tidak ingin membedakan antara pembantu dan dirinya. Baginya siapapun yang bekerja di rumahnya layak dihargai dan dihormati.Bukankah Dimata Tuhan semua orang sama yang membedakan hanya amal ibadah masing-masing.***Burhan mengitari bagian kamarnya.
Buru-buru Nana meninggalkan tempat itu menuju terminal. Kemarin dia hanya beruntung Burhan tidak menemukan dia.Halte itu terletak tidak begitu jauh dari tempat acara, namun letaknya berlawanan dengan arah rumah.Jika Burhan berpikir melewati jalan yang berlawanan itu sudah dipastikan dia akan menemukan Nana.Dengan menempuh perjalanan selama empat jam sampailah Nana di depan rumah mewah warna abu-abu. Nuansa Arab jelas terasa saat dia memasuki pekarangannya.Beruntung supir travel bersedia mengantar langsung ke alamat yang disebutkan Nana. Suami Zoya mempunyai pengaruh dalam dunia travel. Hampir semua supir mengenal suami Zoya.Pintu terbuka lebar saat setelah Nana menekan bel. Dari dalam rumah muncul wanita muda mengenakan kaftan dan Khimar berwarna navy.“Nana ...”Wanita itu memeluk Nana lalu membawakannya masuk kedalam. Makanan dan minuman sudah tersedia diatas meja. Seperti permintaan Nana dalam pesan semalam, untuk melakukan penyambutan untuknya.Zoya tidak banyak bicara, tampi
Jangankan mencari keluar kompleks dalam kompleks saja harapan dia tersesat sangat besar.Bella menarik nafas dalam-dalam mempersiapkan mental apa yang akan terjadi. Dia menghampiri pria yang duduk di bibir kolam renang dengan jantung yang berdetak tak karuan.“Ba-bang, aku boleh duduk disini,” tanya Bella ragu.“Hmmm ...” respon Burhan tidak menoleh sama sekali.“Aku ingin menjelaskan,” Bella duduk sedikit menjauh menjaga jarak aman takut Burhan marah dan mengamuk seperti kemarin.Bisa saja Burhan akan menceburkannya ke dalam kolam. Jadi dengan jarak seperti ini dia punya kesempatan untuk melarikan diri.“Langsung saja,” hardik Burhan membuatnya Bella terkejut dan bergeser semakin jauh.“Waktu itu sebelum akad nikah aku sudah memiliki firasat jika kak Nana akan pergi. Maka dari itu aku memintanya duduk tidak jauh dari kita. Sebelum akad aku masih sempat menoleh padanya. Dia mengacungkan jempol bahwa dia tidak apa-apa. Jika saja waktu itu kak Nana bicara bahwa tidak sanggup aku rela pe
Kejadian ini begitu cepat, pernikahan dan menghilangnya Nana. “Kamu dimana, Dik,” gumam Burhan menatap pigura pernikahannya delapan tahun lalu.Pigura yang berukuran dua meter itu sengaja Nana pajang di ruang tengah. Katanya agar selalu ingat momen detik-detik menjadi nyonya Burhan wijaya.Dengan susah payah dia mencuri perhatian dan hati Nana. Hal yang sangat mustahil seorang pegawai rendahan sepertinya bisa mempersunting pewaris tunggal perkebunan tempatnya mengais rezeki.Untuk membiayai hidup sang ibu dan adiknya. Ibunya seorang janda, sang ayah meninggal saat dia duduk dibangku SMA. Memaksanya untuk kerja serabutan demi membantu sang ibu.Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan dan memilih jadi kuli panen perkebunan. Karna kegigihannya dalam enam bulan dia diangkat menjadi mandor lapangan.Itu awal dia melihat Nana, jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika dia harus memberi laporan tiap minggunya ke kantor, yang terletak tidak jauh dari kediaman Nana.
“Jangan gitu Daffa, nanti tantenya jatuh,” tegur Zoya yang melihat putra ketiga menarik paksa tangan Nana.“Biarin Mi, supaya gabung sama kita. Cari keringat dari pada nangis-nangis teriak seperti tadi. Buat ribut aja,” bela Azzam tidak terima sang adik ditegur sang mami.Anak-anak Zoya yang bisa dikatakan nakal tetapi mereka sangat kompak jika ada yang membuat salah satu dari mereka tidak nyaman. Tentunya itu semua tidak lepas dari didikan Zoya dan sang suami yang luar biasa.Nana menyetir kuda, ingin sekali rasanya menghilang dari tempat itu sekarang juga. Tamparan keras baginya mendapat protes dari anak kecil atas tindakan konyol yang tidak bisa dikendalikan.“Yuk, sebentar saja. Dari pada diam saja. Mereka akan terus mengejek mu. Jangan ambil hati ya, Aku katakan padamu. Anak-anakku sangat aktif. Jangan sampai kamu tiba-tiba kabur karena ulah mereka,” ajak Zoya membawa Nana ketengah anak-anak.Nana sangat menikmati permainan hingga tak terasa matahari kian merangkak ke barat men
Bella terus memasukan nastar kedalam mulutnya hingga tinggal setengah toples seolah tidak terjadi apa-apa. Matanya masih fokus menatap layar datar empat puluh dua inci yang menayangkan acara tausiyah ustadz favoritnya.“Heh, berdiri kamu. Kamu tidak budek ‘kan?” Burhan menatap nyalang Bella yang masih terlihat santai, sama sekali tidak terganggu oleh ucapannya.“Woy, wanita aneh. Kamu dengar tidak,” bentak Burhan yang semakin geram.Bi Siti diam mematung tidak tahu harus berkata apa. Kali ini Burhan amat marah. Napasnya memburu, dadanya turun naik menahan amarah yang siap akan meledak.Bella meletakan toples diatas meja. Berdiri lalu jalan menuju kamar sengaja dia menyenggol bahu Burhan. Membuat darah lelaki tampan semakin mendidih.Burhan tidak jadi mengejarnya, tangan Burhan ditahan oleh bi Siti.“Istighfar, Nak. Tidak ada gunanya menyalahkan gadis itu. Bahkan Kamu usir pun dia Nana kita tidak akan kembali. Ini bukan salah dia. Apa kamu tidak bisa melihat luka di matanya? Dia juga t
“Aku belum siap, Zoy. Aku butuh waktu untuk mendamaikan hatiku.”“Maksudnya.” Alis Zoya menaut, bingung arah pembicaraan Nana.“Maaf untuk saat ini aku belum sanggup untuk berbagi cerita dengan siapapun.”“Kenapa? Suamimu menyakiti hatimu, atau dia berkhianat.”“Tidak, dia tidak pernah menyakitiku. Ah, sudah lupakan saja.” Nana mengibaskan tangannya pertanda tak ingin melanjutkan pembicaraannya.“Hmm, baiklah. Tapi, janji sebelum kamu meninggalkan rumahku. Kamu harus cerita sedikit saja ya. Siapa tahu Aku bisa membantumu.”“Aku pasti menceritakan semuanya tapi tidak sekarang. Betewe para jagoanmu kemana? Seharian ini aku tidak melihatnya. Atau aku yang lebih banyak di kamar.”Nana mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru, mencari sosok yang beberapa hari ini membuat hidupnye berwarna.“Weekend seperti ini mereka menginap dirumah ibunya mas Adam. Minggu sore baru diantar kesini.”“Yah, rumah sepi dunk.”“Begitulah, tapi tenang saja. Besok kita jalan-jalan sampai malam. Mau gak? Dari