“Ini semua sudah menjadi ketentuan Tuhan nak. Jangan salahkan dirimu. Bibi sangat tahu kau gadis yang baik,” Bi Siti mengusap punggung Bella penuh kasih.
“Terima kasih Bi, sudah percaya padaku. Aku tahu diri, tidak mungkin Aku menyakiti Kak Nana. Walau hanya seujung kuku. Dia telah memberikan Aku semuanya, Bi. Tidak ada yang Aku inginkan selain, selalu bersamanya. Kak Nana pulang lah. Aku takut kak,” racau Bella.
“Bersihkan dirimu, jangan berpikir untuk pergi jika kamu menyayangi Nana. Bibi yakin Nana akan kembali." Bi Siti menuntun Bella kekamarnya. Kamar yang terletak di lantai satu. Bersebelahan dengan kamarnya.
Rumah besar itu tidak memiliki kamar pembantu. Semua kamar berukuran sama seperti kamar utama dengan fasilitas yang sama.
Nana tidak ingin membedakan antara pembantu dan dirinya. Baginya siapapun yang bekerja di rumahnya layak dihargai dan dihormati.
Bukankah Dimata Tuhan semua orang sama yang membedakan hanya amal ibadah masing-masing.
***
Burhan mengitari bagian kamarnya. Dia masih mencium aroma tubuh Nana.
Kamar nuansa pink itu ditata sesuai keinginan sang istri. Nana sangat menyukai tokoh kartun hello Kitty.
Hampir semua pernak pernik menyerupai tokoh kucing pink dari Jepang itu.
Burhan merebahkan tubuhnya di bantal milik sang istri. Diusapnya lembut barang yang selalu membuat Nana marah jika dia menggunakannya.
Seandainya waktu yang akan datang bisa diterawangnya. Dia ingin waktu berhenti saja pagi tadi.
Saat dia masih sempat meraih surga dunia bersama belahan jiwanya. Meneguk madu cinta mencapai puncak tertinggi sebelum berangkat ke tempat pernikahan itu.
Tempat yang menjadi alasan atas menghilangnya wanita yang sangat dia kasihi. Kehilangan Nana, bagai raga tanpa jiwa.
“Kau dimana Dik, Abang rindu. Mengapa kau tinggalkan Abang. Padahal pernikahan ini yang kau inginkan. Abang sudah ingatkan padamu, pada akhirnya kau yang akan terluka. Tapi kau keras kepala,” gumam Burhan.
Diraihnya piguranya dan Nana saat liburan ke negeri ginseng dua tahun lalu. Senyum Nana begitu manis saat menggunakan hanbok warna pink khas wanita daerah itu.
Senyum yang selalu menghiasi harinya bahkan ketika dia membuat wanita itu kesal, dia masih akan tetap tersenyum.
“Abang itu hanya membuat kesal hati ini. Bukan bibir ini, tidak ada alasan untuk tidak tersenyum.” ucap Nana saat ditanya alasan mengapa tetap tersenyum padahal lagi kesal.
Burhan lupa mengecek gawai saat pulang kantor. Sedang nana sudah mengirim pesan ingin dibelikan bakso langganan mereka.
Keheningan menyelimuti bumi mengubah terang menjadi hamparan gelap. Hawa dingin menyelusup setiap raga yang masih bertahan di alam bebas.
Nana duduk di sudut halte menenggelamkan wajah diantara kedua lutut yang ditekuk. Dia kedinginan, enggan untuk pulang terpaksa harus bertahan melawan dingin malam.
“Maafkan Aku, Bang. Aku butuh waktu untuk semua ini. Maaf jika Aku membuatmu cemas. Tunggu Aku bang. Aku akan kembali ke pelukanmu tapi tidak untuk saat ini,” rintih Nana.
Mata indahnya sama sekali tidak bisa dipejamkan. Terus berpikir kemana dia harus menghilang dalam waktu dekat.
Tiba-tiba pikirannya melayang saat dia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.
Zoya, dia teringat sahabat karibnya itu. Cepat dia mengaktifkan gawai mencari kontak Zoya dalam grub sekolah. Nana aktif mengikuti setiap grub sekolah.
Setelah berselancar cukup lama Nana menemukan kontak Zoya. Dia merasa sedikit lega.
Tanpa berpikir panjang dia segera mengirim pesan pada Zoya. Tidak dihiraukan bahwa ini sudah larut malam mendekati dini hari.
[Assalamualaikum, Hanny Aku belahan jiwamu. Kamu sekarang dimana? Rindu ingin kerumahmu. Kenalan sama anak-anakmu.]
Seketika pesan Nana menjadi centang biru. Tanda pesan sudah dibaca oleh si penerima.
Seketika Nana melompat kegirangan layaknya seorang anak kecil yang dibeli es krim. Dia kembali terdiam mengingat betapa konyol tingkahnya. Untung ini malam hari tidak ada yang melihat.
[Wa'alaikumsalam, yank.. Masya Allah. Ada tsunamikah di tempatmu hingga ingin menemuiku.]
[Boleh apa tidak Aku kesana. Aku ingin menginap beberapa hari.]
[Yakin, rumahku tidak setenteram rumahmu. Ada anak-anak yang akan membuatmu pusing. Anak-anakku semuanya aktif. Aku tidak ingin kamu kabur karena ulah mereka.]
Nana tertawa membaca pesan Zoya. “Aku iri padamu. Aku juga ingin rumahku menjadi taman bermain, tapi Aku tidak bisa memiliki itu semua,” batin Nana. Dia mengusap air yang tak bisa dibendung untuk tidak tumpah dengan punggung tangannya. Hatinya seketika bersedih jika membahas tentang anak.
[Hei, kamu tidak pingsankan.]
Zoya kembali mengirim pesan. Membuyarkan lamunan Nana.
[Kirim alamatmu, jangan banyak alasan. Aku rindu Hanny lima belas tahun tidak bertemu pasti kamu sudah sangat lebar.]
[Ini alamatnya jln.............]
[Baiklah siapkan penyambutan untukku besok pagi.]
Nana kembali matikan gawai setelah menyalin alamat Zoya pada note yang selalu dia bawa dalam tasnya.
Sejenak Nana lupa akan masalah yang membuatnya terdampar dihalte malam ini.
Sudut bibirnya melengkung kala mengingat akan bertemu sahabat lamanya.
Kisah masa remaja menari dalam ingatannya. Berbagai tingkah nakal remaja seusianya nyaris dia lakukan bersama Zoya.
Zoya berasal dari keluarga sederhana. Orang tua Zoya sangat baik pada Nana. Jika mereka memiliki rezeki lebih selalu membuat makanan lebih banyak untuk diberikan pada Nana.
Kokok ayam saling bersahutan, awan diatas sana sangat cerah. Tumbuhan hijau tampak segar diterpa cahaya matahari. Burung berterbangan dari sarang mencari makan untuk bertahan hidup.
Nana meregangkan tubuh yang terasa pegal-pegal. Semalam dia sempat tertidur sejenak, dalam posisi duduk.
Buru-buru Nana meninggalkan tempat itu menuju terminal. Kemarin dia hanya beruntung Burhan tidak menemukan dia.Halte itu terletak tidak begitu jauh dari tempat acara, namun letaknya berlawanan dengan arah rumah.Jika Burhan berpikir melewati jalan yang berlawanan itu sudah dipastikan dia akan menemukan Nana.Dengan menempuh perjalanan selama empat jam sampailah Nana di depan rumah mewah warna abu-abu. Nuansa Arab jelas terasa saat dia memasuki pekarangannya.Beruntung supir travel bersedia mengantar langsung ke alamat yang disebutkan Nana. Suami Zoya mempunyai pengaruh dalam dunia travel. Hampir semua supir mengenal suami Zoya.Pintu terbuka lebar saat setelah Nana menekan bel. Dari dalam rumah muncul wanita muda mengenakan kaftan dan Khimar berwarna navy.“Nana ...”Wanita itu memeluk Nana lalu membawakannya masuk kedalam. Makanan dan minuman sudah tersedia diatas meja. Seperti permintaan Nana dalam pesan semalam, untuk melakukan penyambutan untuknya.Zoya tidak banyak bicara, tampi
Jangankan mencari keluar kompleks dalam kompleks saja harapan dia tersesat sangat besar.Bella menarik nafas dalam-dalam mempersiapkan mental apa yang akan terjadi. Dia menghampiri pria yang duduk di bibir kolam renang dengan jantung yang berdetak tak karuan.“Ba-bang, aku boleh duduk disini,” tanya Bella ragu.“Hmmm ...” respon Burhan tidak menoleh sama sekali.“Aku ingin menjelaskan,” Bella duduk sedikit menjauh menjaga jarak aman takut Burhan marah dan mengamuk seperti kemarin.Bisa saja Burhan akan menceburkannya ke dalam kolam. Jadi dengan jarak seperti ini dia punya kesempatan untuk melarikan diri.“Langsung saja,” hardik Burhan membuatnya Bella terkejut dan bergeser semakin jauh.“Waktu itu sebelum akad nikah aku sudah memiliki firasat jika kak Nana akan pergi. Maka dari itu aku memintanya duduk tidak jauh dari kita. Sebelum akad aku masih sempat menoleh padanya. Dia mengacungkan jempol bahwa dia tidak apa-apa. Jika saja waktu itu kak Nana bicara bahwa tidak sanggup aku rela pe
Kejadian ini begitu cepat, pernikahan dan menghilangnya Nana. “Kamu dimana, Dik,” gumam Burhan menatap pigura pernikahannya delapan tahun lalu.Pigura yang berukuran dua meter itu sengaja Nana pajang di ruang tengah. Katanya agar selalu ingat momen detik-detik menjadi nyonya Burhan wijaya.Dengan susah payah dia mencuri perhatian dan hati Nana. Hal yang sangat mustahil seorang pegawai rendahan sepertinya bisa mempersunting pewaris tunggal perkebunan tempatnya mengais rezeki.Untuk membiayai hidup sang ibu dan adiknya. Ibunya seorang janda, sang ayah meninggal saat dia duduk dibangku SMA. Memaksanya untuk kerja serabutan demi membantu sang ibu.Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan dan memilih jadi kuli panen perkebunan. Karna kegigihannya dalam enam bulan dia diangkat menjadi mandor lapangan.Itu awal dia melihat Nana, jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika dia harus memberi laporan tiap minggunya ke kantor, yang terletak tidak jauh dari kediaman Nana.
“Jangan gitu Daffa, nanti tantenya jatuh,” tegur Zoya yang melihat putra ketiga menarik paksa tangan Nana.“Biarin Mi, supaya gabung sama kita. Cari keringat dari pada nangis-nangis teriak seperti tadi. Buat ribut aja,” bela Azzam tidak terima sang adik ditegur sang mami.Anak-anak Zoya yang bisa dikatakan nakal tetapi mereka sangat kompak jika ada yang membuat salah satu dari mereka tidak nyaman. Tentunya itu semua tidak lepas dari didikan Zoya dan sang suami yang luar biasa.Nana menyetir kuda, ingin sekali rasanya menghilang dari tempat itu sekarang juga. Tamparan keras baginya mendapat protes dari anak kecil atas tindakan konyol yang tidak bisa dikendalikan.“Yuk, sebentar saja. Dari pada diam saja. Mereka akan terus mengejek mu. Jangan ambil hati ya, Aku katakan padamu. Anak-anakku sangat aktif. Jangan sampai kamu tiba-tiba kabur karena ulah mereka,” ajak Zoya membawa Nana ketengah anak-anak.Nana sangat menikmati permainan hingga tak terasa matahari kian merangkak ke barat men
Bella terus memasukan nastar kedalam mulutnya hingga tinggal setengah toples seolah tidak terjadi apa-apa. Matanya masih fokus menatap layar datar empat puluh dua inci yang menayangkan acara tausiyah ustadz favoritnya.“Heh, berdiri kamu. Kamu tidak budek ‘kan?” Burhan menatap nyalang Bella yang masih terlihat santai, sama sekali tidak terganggu oleh ucapannya.“Woy, wanita aneh. Kamu dengar tidak,” bentak Burhan yang semakin geram.Bi Siti diam mematung tidak tahu harus berkata apa. Kali ini Burhan amat marah. Napasnya memburu, dadanya turun naik menahan amarah yang siap akan meledak.Bella meletakan toples diatas meja. Berdiri lalu jalan menuju kamar sengaja dia menyenggol bahu Burhan. Membuat darah lelaki tampan semakin mendidih.Burhan tidak jadi mengejarnya, tangan Burhan ditahan oleh bi Siti.“Istighfar, Nak. Tidak ada gunanya menyalahkan gadis itu. Bahkan Kamu usir pun dia Nana kita tidak akan kembali. Ini bukan salah dia. Apa kamu tidak bisa melihat luka di matanya? Dia juga t
“Aku belum siap, Zoy. Aku butuh waktu untuk mendamaikan hatiku.”“Maksudnya.” Alis Zoya menaut, bingung arah pembicaraan Nana.“Maaf untuk saat ini aku belum sanggup untuk berbagi cerita dengan siapapun.”“Kenapa? Suamimu menyakiti hatimu, atau dia berkhianat.”“Tidak, dia tidak pernah menyakitiku. Ah, sudah lupakan saja.” Nana mengibaskan tangannya pertanda tak ingin melanjutkan pembicaraannya.“Hmm, baiklah. Tapi, janji sebelum kamu meninggalkan rumahku. Kamu harus cerita sedikit saja ya. Siapa tahu Aku bisa membantumu.”“Aku pasti menceritakan semuanya tapi tidak sekarang. Betewe para jagoanmu kemana? Seharian ini aku tidak melihatnya. Atau aku yang lebih banyak di kamar.”Nana mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru, mencari sosok yang beberapa hari ini membuat hidupnye berwarna.“Weekend seperti ini mereka menginap dirumah ibunya mas Adam. Minggu sore baru diantar kesini.”“Yah, rumah sepi dunk.”“Begitulah, tapi tenang saja. Besok kita jalan-jalan sampai malam. Mau gak? Dari
“Buatkan Aku kopi saja,” pinta Burhan pada Bi Siti yang tengah membuat sarapan.“Kamu tidak tidur semalaman, Nak?” Bi Siti melihat lingkaran hitam disekitar mata Burhan menandakan kurang istirahat.“Iya Bi, aku memeriksa barang-barang Nana. Aku sempat menemukan fotonya bersama temannya. Sayangnya sewaktu aku membersihkan tumpahan air jadi gambarnya semakin pudar dan hilang,” cerita Burhan.“Artinya itu foto sangat lama. Apa kamu menemukan hal lain lagi,” tanya Bi Siti antusias.“Oh, iya. Dibelakangnya ada nama Nana dan Zoya,” terang Burhan.“Tunggu dulu, sepertinya Bibi mengenali nama itu,” Bi Siti berusaha mengingat siapa saja teman masa kecil Nana. Usianya yang tidak muda lagi membuatnya kesulitan mengingat semuanya.“Jangan paksakan, Bi,” tukas Burhan sembari menghisap kopi hitam yang ada di hadapannya.“Apa rencana hari ini. Kamu tidak pergi ke perkebunan,” lanjut Bi Siti yang telah selesai menghidangkan sarapan.Nasi goreng spesial Bi Siti julukan Nana pada nasi goreng buatannya.
“Bersabarlah, Nana akan kembali saat hatinya sudah siap untuk ini semua,” tutur Bi Siti mengusap lembut tangan Bella.“Bibi keluar dulu, tenangkan hati dan pikiranmu nak.” bi Siti menutup pintu dari luar.Bella tak mampu menghentikan tangisnya, meratapi dirinya yang tidak seberuntung yang lain.Sendiri terpaku dalam lara berharap pada sang pemilik kehidupan keadaan ini segera berlalu.Nana dan Zoya benar-benar menghabiskan waktunya seharian diluar. Layaknya gadis remaja yang baru mendapat izin keluar rumah.Melakukan perawatan, memanjakan diri dan berbelanja kebutuhan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.Sesekali menghamburkan uang demi menyenangkan hati. Melupakan sejenak permasalahan yang membawanya pergi jauh dari sang suami terkasih.“Aku memaksa Burhan untuk menikah dengan wanita yang aku yakini rahimnya cocok untuk menjadi tempat benih Burhan akan tumbuh,” celetuk Nana tiba-tiba saat mereka dalam perjalanan menuju rumah.“APA!!!” Zoya mengerem mendadak.Dahi Nana menghantam