Share

Bab 05

“Ini semua sudah menjadi ketentuan Tuhan nak. Jangan salahkan dirimu. Bibi sangat tahu kau gadis yang baik,” Bi Siti mengusap punggung Bella penuh kasih.

“Terima kasih Bi, sudah percaya padaku. Aku tahu diri, tidak mungkin Aku menyakiti Kak Nana. Walau hanya seujung kuku. Dia telah memberikan Aku semuanya, Bi. Tidak ada yang Aku inginkan selain, selalu bersamanya. Kak Nana pulang lah. Aku takut kak,” racau Bella.

“Bersihkan dirimu, jangan berpikir untuk pergi jika kamu menyayangi Nana. Bibi yakin Nana akan kembali." Bi Siti menuntun Bella kekamarnya. Kamar yang terletak di lantai satu. Bersebelahan dengan kamarnya.

Rumah besar itu tidak memiliki kamar pembantu. Semua kamar berukuran sama seperti kamar utama dengan fasilitas yang sama.

Nana tidak ingin membedakan antara pembantu dan dirinya. Baginya siapapun yang bekerja di rumahnya layak dihargai dan dihormati.

Bukankah Dimata Tuhan semua orang sama yang membedakan hanya amal ibadah masing-masing.

***

Burhan mengitari bagian kamarnya. Dia masih mencium aroma tubuh Nana.

Kamar nuansa pink itu ditata sesuai keinginan sang istri. Nana sangat menyukai tokoh kartun hello Kitty.

Hampir semua pernak pernik menyerupai tokoh kucing pink dari Jepang itu.

Burhan merebahkan tubuhnya di bantal milik sang istri. Diusapnya lembut barang yang selalu membuat Nana marah jika dia menggunakannya.

Seandainya waktu yang akan datang bisa diterawangnya. Dia ingin waktu berhenti saja pagi tadi.

Saat dia masih sempat meraih surga dunia bersama belahan jiwanya. Meneguk madu cinta mencapai puncak tertinggi sebelum berangkat ke tempat pernikahan itu.

Tempat yang menjadi alasan atas menghilangnya wanita yang sangat dia kasihi. Kehilangan Nana, bagai raga tanpa jiwa.

“Kau dimana Dik, Abang rindu. Mengapa kau tinggalkan Abang. Padahal pernikahan ini yang kau inginkan. Abang sudah ingatkan padamu, pada akhirnya kau yang akan terluka. Tapi kau keras kepala,” gumam Burhan.

Diraihnya piguranya dan Nana saat liburan ke negeri ginseng dua tahun lalu. Senyum Nana begitu manis saat menggunakan hanbok warna pink khas wanita daerah itu.

Senyum yang selalu menghiasi harinya bahkan ketika dia membuat wanita itu kesal, dia masih akan tetap tersenyum.

“Abang itu hanya membuat kesal hati ini. Bukan bibir ini, tidak ada alasan untuk tidak tersenyum.”  ucap Nana saat ditanya alasan mengapa tetap tersenyum padahal lagi kesal.

Burhan lupa mengecek gawai saat pulang kantor. Sedang nana sudah mengirim pesan ingin dibelikan bakso langganan mereka.

Keheningan menyelimuti bumi mengubah terang menjadi hamparan gelap. Hawa dingin menyelusup setiap raga yang masih bertahan di alam bebas.

Nana duduk di sudut halte menenggelamkan wajah diantara kedua lutut yang ditekuk. Dia kedinginan, enggan untuk pulang terpaksa harus bertahan melawan dingin malam.

“Maafkan Aku, Bang. Aku butuh waktu untuk semua ini. Maaf jika Aku membuatmu cemas. Tunggu Aku bang. Aku akan kembali ke pelukanmu tapi tidak untuk saat ini,” rintih Nana.

Mata indahnya sama sekali tidak bisa dipejamkan. Terus berpikir kemana dia harus menghilang dalam waktu dekat.

Tiba-tiba pikirannya melayang saat dia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.

Zoya, dia teringat sahabat karibnya itu. Cepat dia mengaktifkan gawai mencari kontak Zoya dalam grub sekolah. Nana aktif mengikuti setiap grub sekolah.

Setelah berselancar cukup lama Nana menemukan kontak Zoya. Dia merasa sedikit lega.

Tanpa berpikir panjang dia segera mengirim pesan pada Zoya. Tidak dihiraukan bahwa ini sudah larut malam mendekati dini hari.

[Assalamualaikum, Hanny  Aku belahan jiwamu. Kamu sekarang dimana? Rindu ingin kerumahmu. Kenalan sama anak-anakmu.]

Seketika pesan Nana menjadi centang biru. Tanda pesan sudah dibaca oleh si penerima.

Seketika Nana melompat kegirangan layaknya seorang anak kecil yang dibeli es krim. Dia kembali terdiam mengingat betapa konyol tingkahnya. Untung ini malam hari tidak ada yang melihat.

[Wa'alaikumsalam, yank.. Masya Allah. Ada tsunamikah di tempatmu hingga ingin menemuiku.]

[Boleh apa tidak Aku kesana. Aku ingin menginap beberapa hari.]

[Yakin, rumahku tidak setenteram rumahmu. Ada anak-anak yang akan membuatmu pusing. Anak-anakku semuanya aktif. Aku tidak ingin kamu kabur karena ulah mereka.]

Nana tertawa membaca pesan Zoya. “Aku iri padamu. Aku juga ingin rumahku menjadi taman bermain, tapi Aku tidak bisa memiliki itu semua,” batin Nana. Dia mengusap air yang tak bisa dibendung untuk tidak tumpah dengan punggung tangannya. Hatinya seketika  bersedih jika membahas tentang anak.

[Hei, kamu tidak pingsankan.]

Zoya kembali mengirim pesan. Membuyarkan lamunan Nana.

[Kirim alamatmu, jangan banyak alasan. Aku rindu Hanny lima belas tahun tidak bertemu pasti kamu sudah sangat lebar.]

[Ini alamatnya jln.............]

[Baiklah siapkan penyambutan untukku besok pagi.]

Nana kembali matikan gawai setelah menyalin alamat Zoya pada note yang selalu dia bawa dalam tasnya.

Sejenak Nana lupa akan masalah yang membuatnya terdampar dihalte malam ini.

Sudut bibirnya melengkung kala mengingat akan bertemu sahabat lamanya.

Kisah masa remaja menari dalam ingatannya. Berbagai tingkah nakal remaja seusianya nyaris dia lakukan bersama Zoya.

Zoya berasal dari keluarga sederhana. Orang tua Zoya sangat baik pada Nana. Jika mereka memiliki rezeki lebih selalu membuat makanan lebih banyak untuk diberikan pada Nana.

Kokok ayam saling bersahutan, awan diatas sana sangat cerah. Tumbuhan hijau tampak segar diterpa cahaya matahari. Burung berterbangan dari sarang mencari makan untuk bertahan hidup.

Nana meregangkan tubuh yang terasa pegal-pegal. Semalam dia sempat tertidur sejenak, dalam posisi duduk.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
MOON
aneh bener si nana. dia yg maksa suaminya nikah, dia yg kabur, dia yg merasa itu masalah. gila
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status