“Aku belum siap, Zoy. Aku butuh waktu untuk mendamaikan hatiku.”“Maksudnya.” Alis Zoya menaut, bingung arah pembicaraan Nana.“Maaf untuk saat ini aku belum sanggup untuk berbagi cerita dengan siapapun.”“Kenapa? Suamimu menyakiti hatimu, atau dia berkhianat.”“Tidak, dia tidak pernah menyakitiku. Ah, sudah lupakan saja.” Nana mengibaskan tangannya pertanda tak ingin melanjutkan pembicaraannya.“Hmm, baiklah. Tapi, janji sebelum kamu meninggalkan rumahku. Kamu harus cerita sedikit saja ya. Siapa tahu Aku bisa membantumu.”“Aku pasti menceritakan semuanya tapi tidak sekarang. Betewe para jagoanmu kemana? Seharian ini aku tidak melihatnya. Atau aku yang lebih banyak di kamar.”Nana mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru, mencari sosok yang beberapa hari ini membuat hidupnye berwarna.“Weekend seperti ini mereka menginap dirumah ibunya mas Adam. Minggu sore baru diantar kesini.”“Yah, rumah sepi dunk.”“Begitulah, tapi tenang saja. Besok kita jalan-jalan sampai malam. Mau gak? Dari
“Buatkan Aku kopi saja,” pinta Burhan pada Bi Siti yang tengah membuat sarapan.“Kamu tidak tidur semalaman, Nak?” Bi Siti melihat lingkaran hitam disekitar mata Burhan menandakan kurang istirahat.“Iya Bi, aku memeriksa barang-barang Nana. Aku sempat menemukan fotonya bersama temannya. Sayangnya sewaktu aku membersihkan tumpahan air jadi gambarnya semakin pudar dan hilang,” cerita Burhan.“Artinya itu foto sangat lama. Apa kamu menemukan hal lain lagi,” tanya Bi Siti antusias.“Oh, iya. Dibelakangnya ada nama Nana dan Zoya,” terang Burhan.“Tunggu dulu, sepertinya Bibi mengenali nama itu,” Bi Siti berusaha mengingat siapa saja teman masa kecil Nana. Usianya yang tidak muda lagi membuatnya kesulitan mengingat semuanya.“Jangan paksakan, Bi,” tukas Burhan sembari menghisap kopi hitam yang ada di hadapannya.“Apa rencana hari ini. Kamu tidak pergi ke perkebunan,” lanjut Bi Siti yang telah selesai menghidangkan sarapan.Nasi goreng spesial Bi Siti julukan Nana pada nasi goreng buatannya.
“Bersabarlah, Nana akan kembali saat hatinya sudah siap untuk ini semua,” tutur Bi Siti mengusap lembut tangan Bella.“Bibi keluar dulu, tenangkan hati dan pikiranmu nak.” bi Siti menutup pintu dari luar.Bella tak mampu menghentikan tangisnya, meratapi dirinya yang tidak seberuntung yang lain.Sendiri terpaku dalam lara berharap pada sang pemilik kehidupan keadaan ini segera berlalu.Nana dan Zoya benar-benar menghabiskan waktunya seharian diluar. Layaknya gadis remaja yang baru mendapat izin keluar rumah.Melakukan perawatan, memanjakan diri dan berbelanja kebutuhan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.Sesekali menghamburkan uang demi menyenangkan hati. Melupakan sejenak permasalahan yang membawanya pergi jauh dari sang suami terkasih.“Aku memaksa Burhan untuk menikah dengan wanita yang aku yakini rahimnya cocok untuk menjadi tempat benih Burhan akan tumbuh,” celetuk Nana tiba-tiba saat mereka dalam perjalanan menuju rumah.“APA!!!” Zoya mengerem mendadak.Dahi Nana menghantam
“Ceritakan padaku dari awal bagaimana bisa kamu meluncurkan ide yang entahlah itu. Aku saja enggan menyebutkan. Padahal kamu tahu Burhan sangat mencintaimu dan tidak mempermasalahkan soal anak,” tanya Zoya yang tengah asik menikmati bakso ukuran jumbo dengan sambal level sepuluh.Sedang Nana tidak memesan apapun. Perutnya memang lapar tapi selera makannya sama sekali tidak ada.“Semenjak membawa Bella tinggal bersama kami,” jawab Nana singkat.“Oh, jadi gadis itu Bella namanya. Trus,” timpal zoya mulutnya terus melahap pentol yang tinggal separuh.“Sifatnya yang sabar dan penyayang yang lebih utama dia wanita Sholehah. Bukan seperti Aku yang shalat pas kepepet. Pokoknya ciri wanita penghuni surga. Semenjak kehadirannya aku merasa memiliki saudara. Aku yang sangat merindukan tangis malaikat kecil dirumah dan tidak ingin Bella pergi jauh setelah dia bersuami. Membuat aku ingin menjadikan dia adik dan ibu dari anak-anak Burhan. Otomatis akan menjadi anakku juga. Biar tidak terlahir dari
“Iya, Bi. Terima kasih. Bibi masih ingat saja kesukaan jomblo akut yang mendekati karatan,” jawab Burhan yang terang-terangan mengejek laki-laki yang mengenakan kemeja biru terus tersenyum pada Bi Siti.“Alhamdulillah, Bibi selalu ingat kesukaan aden ganteng ini. Sayang Bibi gak punya anak. Kalau tak jadikan mantu. Permisi, saya ke belakang dulu." Bi Siti meninggalkan mereka berdua setelah menyelesaikan ucapannya.Sontak Burhan terpingkal-pingkal mendengar ucapan wanita paruh baya itu.“Puas Lo, seneng ya lihat temannya susah,” cicit Ferdi yang sudah terbiasa menjadi bulan-bulanan Burhan.“Ngapain lo kemari?” tanya Burhan.“Gue pengen nonjok muka lo, biar sadar. Lihat noh tampilan lo yang mirip gorila,” jawab Ferdi sengaja mengarahkan tinjunya ke wajah Burhan.“Gorila!! Mirip sich. Laki-laki aneh itu telah menjelma jadi gorila,” gumam Bella yang yang tidak sengaja mendengar obrolan mereka.Gadis itu ingin menuju dapur untuk membantu Bi Siti masak menu untuk makan malam nanti.Setelah
“Untuk apa Gue bohong. Gak percaya lihat aja ntar pas makan malam.” Burhan menyakinkan Ferdi.“Tapi Gue gak bisa, gue harus pulang. Emak gue minta beliin obat tadi.”“Gue gak mau tau. Pokoknya lo harus makan disini. Gue sudah nyuruh Bi Siti masak banyak. Kalau lo nolak, gue gak mau kenal ama lo lagi. Titik.” ancam Burhan lalu masuk kedalam rumah. Mereka telah selesai berenang.Ferdi masih setia ditempatnya bingung antara segera pulang atau mengikuti keinginannya Burhan.Emaknya sedang sakit dirumah menantinya membawa obat yang harus ditebus. Tadi sebelum kesini dia memanggil dokter untuk memeriksa emaknya.Sedang burhan paling tidak suka penolakan. Burhan akan mendiamkannya dalam beberapa hari. Dia tidak akan bisa menyadarkan suami pemilik perkebunan tempat dia mengais rejeki jika di diamkan.Ferdi mengambil gawai lebih baik mengabarkan pada sang adik bahwa akan pulang malam karena ada jamuan makan malam dirumah bos. Dan memerintahkan sang adik untuk membeli obat emak. Emak harus sege
“Pulang sana, atau lo ingin bantal ini berpindah ke muka lo.” Burhan mengangkat bantal sofa ke udara siap untuk menimpuk Ferdi.“Ya, Allah. Untung lo usir. Emak gue sakit dirumah. Malah enak-enakan duduk disini. Ya udah gue balik dulu.” Ferdi buru-buru berjalan menuju parkiran tempat kendaraan roda empat kesayangannya. Walaupun tidak mewah, namun dia puas. Dibeli secara cash dari jerih keringatnya sendiri.[Coba Lo pikir, dapat istri sebaik itu. Laki-laki manapun akan luluh. Ya, itupun kalau Lo beneran laki.]Ucapan Ferdi terus terngiang di telinga Burhan. Sangat-sangat mengganggu dan meresahkanApa benar seiring berjalannya waktu sosok Bella, wanita yang terpaksa dinikahinya akan bersanding dengan Nana dihati.Dia menatap pintu kamar yang tertutup rapat mencari alasan untuk tidak akan menaruh hati pada si penghuninya.“Dik, pulanglah. Abang kangen. Abang ingin mendengar suaramu dan melihat senyummu. Apa kau tidak rindu pada suamimu yang ganteng. Limited edition,” lirih Burhan yang
Nana kian terisak, andai waktu bisa diputar ulang ingin di perbaiki semuanya. Ambisi yang telah mengacau rumah tangga yang selama ini bahagia.“INGAT YA!!! Sekali lagi aku ingatkan jangan kau salahkan gadis itu atau Burhan. Ini mutlak kesalahanmu. Berhenti menangis, cukup renungi dan pulanglah,” berang Nyonya pemilik travel umroh dan haji itu.“Aku usahakan,” gumam Nana dalam tangisnya.“Na, berhentilah menangis. Sudah cukup selama ini kamu habiskan air matamu. Saatnya untuk bangkit.” Zoya mengguncang bahu wanita yang tengah meratapi nasibnya. Amarahnya mereda melihat betapa terpukulnya Nana.Nana memang salah namun, dia dapat merasakan yang dirasakan Nana saat ini.“Baiklah.” Nana mengusap wajahnya kasar membenarkan perkataan wanita yang dilanda amarah, kesal akan keputusannya.“Maaf aku terlalu memaksa, tapi kamu tidak bisa begini terus menerus. Aku juga tidak bisa membiarkan kamu dalam keterpurukan.” Zoya kian melunak.“Aku tidak marah dan tidak perlu meminta maaf. Kamu emang benar
Hati Maya kembali tersayat entah untuk keberapa kalinya.“Tunggu sebentar Nduk,” sahut Mbah Ipeh yang sedang melayani pasiennya dari dalam gubuknya.Tempat Nana terjatuh memang tidak begitu jauh dari tempat tinggal wanita tua itu.Itu sebabnya Maya membawanya kesana. Untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sebelum nanti dibawa kerumah sakit yang berjarak cukup jauh dari desa.Maya sudah yang sudah beberapa kali kesana. Tentu sangat hapal jalannya yang masih dipenuhi semak belukar.Ya, wanita itu juga salah satu pasien dukun kampung itu. Yang terkenal mempunyai ilmu hitam yang tinggi.Dalam satu kedipan mata bisa membunuh korbannya. Mereka yang datang kesana pasti mempunyai dendam.“Ini siapa Maya,” tanya Mbah Ipeh keluar menemuinya yang duduk diamben menangku Nana.Sesaat pengguna jasanya pergi dari sana. Dari penampilan bisa ditebak wanita itu merupakan bukan wanita yang baik.“Ini anak tiri saya, Mbah. Itu tadi siapa?” tanya Maya penasaran.“Dia itu yang kerja diwarung dekat kebun it
“Sudah Tante, ayo kita pulang. Jangan buat keributan disini,” bisik Tary yang masih mencekal lengan Maya.“Iya bawa Tantemu, pergi dari sini,” celetuk Bella.“Tunggu dulu Tary, urusanku belum selesai. Burhan harus bertanggung jawab pada apa yang terjadi padamu,” tolak Maya.Burhan melirik kearah Tary, benar dipergelangan tangan kirinya ada luka yang masih diperban.Maya tidak bohong, tapi untuk apa gadis itu melukai diri sendiri. Sebesar apa harapan gadis itu yang dia patahkan.Bella mencubit perut Burhan, saat tahu mata Burhan tidak beralih dari gadis baru datang itu.“Sakit tau,” bisik Burhan menggosok bekas cubitan Bella.“Itu akibatnya tidak bisa menjaga mata,” tekan Bella nada sepelan mungkin.Tary menggunakan seluruh tenaganya untuk membawa Maya pergi dari sana. Maya pun yang hampir terpojok pasrah mengikutinya.Nana berbalik dan merangkul Bi Siti. Pertahanannya roboh seiring perginya Maya dan Tary.“Menangislah luapkan semua kesedihanmu saat ini. Esok kau harus berjanji tidak a
“Maya Cahayadiningrat , saya Nayla Rahmawati binti Abdul Razak. Putri tunggal dari ibu Rahayu. Apa anda mengenali saya. Mama Maya yanby terhormat,” sanggah Nana menggeram.Nana sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengangkat suara. Wanita yang dia panggil Mama itu. Semakin mengelunjak tidak berpikir kalimatnya melukai banyak orang.“Nayla Rahmawati, Nanaku sayang Nanaku malang. Kamu mengenali Mama, Nak,” tanya Maya mata mengarah pada wanita yang berusaha tenang.“Apa kurang cukup yang Mama berbuat pada saya dulu, hingga sekarang Mama ingin merampas suami saya.” Nana berdiri mengikis jarak dengan wanita yang dikiranya malaikat.“Baguslah kau sudah tahu, jadi tolong minta suamimu menikahi Tary. Sama yang kau lakukan pada pelakor itu, Mama yakin kalian akan bisa hidup damai. Mama tidak merampas, kau cukup berbagi saja.” Maya menyentuh pipi mulus Nana.“Kembalikan rahim saya,” tekan Nana singkat menepis tangan Maya.“Na, kamu sayang Mama-kan. Bisa kamu mengabulkan permintaan Mama ini,” buju
Tary dari tadi bolak balik dibrankar. Dia SEO diri diruang itu sang Tante sedang mencari makan.“Kita sudah bisa pulangkan, Tante. Aku bosan berada disini,” rutuk Tary saat Maya baru masuk ditangan menenteng kantong plastik. Berisi makanan dan buah yang dibelinya. Pada pedagang yang menjajakan jualannya sekitar rumah sakit.“Harusnya sebelum kau mengiris nadimu. Siapkan mentalmu untuk betah berada disini,” ketus Maya. “Ini makanlah, agar kau punya banyak tenaga untuk menghadapi perceraian orang tuamu.”“Mereka akan berpisah, Tante. Mereka sungguh tidak menganggap keberadaanku,” lirih Tary meraih mangkuk berisi bubur ayam yang sodorkan Maya.“Kamu harus buktikan pada ayah dan ibumu. Kamu bisa sukses tanpa campur tangan mereka,” ungkap Maya membangun semangat dari putri semata wayang kakaknya.“Aku harus membujuk Burhan untuk menyemangati Tary. Tak masalah jika harus memohon asal dia bersedia membantu,” batin Maya.Maya mengatakan pada Tary akan pulang sebentar. Dia harus segera bicara
“Selamat pagi nenek,” sapa Bella mengendong bayinya melintasi dapur.Bayi mungil itu akan berjemur dibawah cahaya matahari pagi.“Eh, cucu nenek sudah wangi,” sahut Bi Siti mendekati Bella.“Yang lain belum bangun, Bi.” Tanya Bella.“Belum, hawa dingin enak buat tidur. Tapi Bibi gak bisa bangun ninggi hari.” Bi Siti mengambil alih baby Zizi.“Aku juga. Makanya kami sudah wangi, Nek.”“Biar Bibi yang jemur cucu sayang ini, Bundanya mamam dulu. Isi bensin yang banyak supaya mik Zizi banyak.” Bi Siti mengecup pipi gembul bayi mungil itu.Bi Siti berjalan kehalaman belakang. Tempat yang lantang terkena sinar matahari.Sedang Bella menikmatinya sarapannya. Yang hambar dilidahnya, seret ditelan.Pikiran tertuju pada Nana, wanita sebaik itu harus mengalami banyak cobaan. Semalam hanya beberapa jam saja dia dapat terlelap.Mandul, kata itu terus mengusiknya. Dia sangat prihatin, andai bisa. Ingin dia donorkan rahimnya untuk Nana.Kakak madunya itu telah memberikan banyak. Namun dia tidak mamp
Nana harus bisa punya anak walau hanya satu orang. Anak itu adalah ahli waris sah atas harta peninggalan mendiang orang tua Kakak madunya ini.Bella sangat paham anaknya tidak ada hak untuk mendapatkan semua ini. Baby Zizi tidak ada hubungan darah dengan sang pemilik harta.“Selain itu dia pesan apa lagi?” tanya Burhan menengahi.“Gak ada hanya itu, dia mengatakan kalau bisa secepatnya. Mengingat umur Nana yang tidak muda lagi. Usia produktifnya tinggal sedikit lagi,” jelas Ferdi.“Menurutmu bagaimana, Dik. Abang rasa sebaiknya kita periksa saja. Kamu mau ya,” ujar Burhan penuh harap.“Aku akan pikirkan lagi, Aku sudah tidak berharap lagi. Toh, sekarang sudah ada Zizi. Dan itu sudah cukup,” timpal Nana berusaha meredam perasaannya.‘MANDUL'Rangkaian lima huruf sangat horor bagi mereka yang dapatkan predikatnya.Tidak terkecuali Nana, nyalinya seketika menciut. Kehadiran anak bagi orang yang telah berumah tangga.Hal yang paling penting, saat bertemu dengan siapa pun yang pertama dita
Maya mulai mengukur dan menghitung. Banyaknya derita hidup yang harus ditanggung Nana. Karna dendam yang tak pernah mendatangkan kepuasan.Maya masih ingin lagi dan lagi menikmati kesengsaraan Nana. Untung untuknya nyatanya juga tidak ada.“Ta-tante.” suara Tary terdengar lemah membuyarkan lamunan Maya.“Kamu sudah sadar,” tanya Maya mengulas senyum.“Aku dimana? Mengapa Tante ada disini. Apa Aku sudah mati.” Tary memindai ruangan ini.“Kamu dirumah sakit. Tadi Tante mendapatkan kamu tergelak dilantai.”“Harusnya Tante biarkan saja Aku mati.” Sudut matanya mengalir cairan bening.“Kalau kau ingin mati jangan dirumahku. Aku tidak ingin disalahkan orang tuamu atas kematianmu,” cecar Maya.“Tidak akan. Mereka saja lupa punya anak. Orang tuaku tidak pernah peduli, Tante,” lirih Tary.“Mereka bukan lupa, hanya sibuk-““Sibuk dengan selingkuhannya masing-masingkan, Tante,” sanggah Tary menghentikan ucapan Maya.“Tary, jangan lakukan hal bodoh. Jangan lukai dirimu sendiri lagi. Tante mohon,”
“Dia diruang kerja. Mau guyur-guyur, nunggu cover boy selesai lama,” sindir Bella menyusui baby Zizi menghadap tembok.“Nak, Mami dan Bundamu jahat. Membiarkan Papi terjebak dengan manusia planet itu,” ucap Burhan yang ingin menyentuh pipi gembul putrinya. Tapi langsung ditepis Nana.“Jangan sentuh anak kita selama masih ada bekas gadis itu. Sana mandi dulu,” sembur Nana.“Iya, sana mandi dulu,” sambung Bella.“Nanti saja, Abang mau tahu ada angin apa gadis itu berani kesini.” Burhan mendaratkan tubuhnya dikarpet. Tulang punggungnya terasa pegal, terlalu lama berdiri.Bella menceritakan semuanya tapi dia tidak serta-merta mengatakan kekesalannya.“Tapi perlu Abang tahu Bundanya Zizi marah sekali, Bang. Dia tidak mau suaminya diambil orang,” ledek Nana.“Siapa yang tidak emosi. Dia dengan yakin mengatakan akan menjadi yang ketiga. Enak saja, gak sudi,” sembur Bella.“Lalu Kakak Nana tercinta apa yang dia lakukan. Oo, Abang tahu, pasti dia diam sambil menahan senyum,” sindir Burhan.“Ko
Botol bekas minumnya dibuangnya asal kelantai. Dia sengaja memancing amarah Nana. Sebatas mana kesabaran wanita yang sangat disanjung Burhan itu.“Lihat tampilanmu yang begitu, lalat saja akan berpikir untuk hinggap.” Bella semakin geram.Bella ingin tahu berasal dari planet mana gadis ini. Tidak ada malu-malunya padahal dia sudah menghinanya.Ini kali pertama seorang Bella yang santun dan lemah lembut bicara kasar. Orang tuanya tak bosan mengingatkannya untuk menjaga nada bicara saat marah sekalipun.“Dalam kamar juga kau melepaskan semua itukan. Kalau tidak, mana bisa bayi itu lahir.” Tary menunjuk pakaian yang dikenakan Bella dan melirik pada baby Zizi berada dalam gendongan Nana.“Kau, cepat pergi dari sini. Atau Aku akan memanggil security menyeretmu keluar,” usir Bella.“Apa hakmu mengusirku, sedang yang punya rumah ini saja tidak terganggu dengan kehadiranku. Dimana-mana memang pelakor itu selalu ingin menguasai,” papar Tary.“Aku nyonya dirumah ini. Dan Aku tidak suka kau mene