"Apakah Nona Laura datang hari ini?" tegur Arif, setelah Rania masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana kamu bisa tahu?"Kemudian Arif terdiam, dan memilih segera menyalakan mobilnya. "Tuan Tama memintanya datang untuk menemanimu,""Jangan bohong!" Rania tertawa sarkas. "Laura datang atas perintah ayahnya,""Dia tidak akan datang jika tahu Tuan Tama yang menyuruhnya," sambar Arif cepat.Giliran Rania yang diam. Benar kata Arif. Hubungan Tama dan Laura sudah lama tidak baik, apalagi semenjak Tuan Hadi memberikan seluruh warisan pada Tama. Segalanya menjadi lebih buruk ketika Tama menyarankan sang ayah untuk membawa Laura ke pusat rehabilitasi demi menyembuhkan kecanduannya pada alkohol. Laura berpikir, Tama sengaja ingin menyingkirkannya sejauh mungkin dan menjadi satu-satunya anak dari Tuan Hadi. Maka dari itu, kemunculan Vinko membawa angin segar bagi Laura.Menurut Laura, Vinko bisa menjadi pesaing berat untuk Tama. Membayangkan Tama"Hanya aku yang boleh membunuhmu–" Rania mendadak tersadar telah salah bicara. "Jika memang itu pilihannya," tambah Rania, demi tidak membuat Tama curiga.Awalnya Tama kaget dengan ucapan Rania yang pertama, namun saat istrinya itu bisa dengan cepat menambahi, dia bisa bernafas lega."Semua baik-baik saja, Tuan?" ujar Arif, masuk tergesa-gesa ke dalam ruangan pribadi Tama.Tama mengangguk, lalu melempar pandangan pada Rania yang lemas. "Bawa dia pulang," pintanya.Arif menurut dan dengan cepat membawa Rania pergi dari tempat itu. Namun saat berada di ambang pintu, Rania menghentikan langkahnya."Kamu tidak ikut pulang bersamaku?" tanya Rania pada Tama.Tama melepas paksa dasi yang melilit lehernya. "Aku ingin menghabiskan waktu bersama Dona malam ini," jawab Tama terus terang.Leher Rania serasa dicekik dengan amat kencang hingga dia merasa sesak, saat sang suami itu bisa dengan santainya jujur akan menghabiskan malam be
Regina Darmawan, teman sejurusan sekaligus teman masa kecil Vinko. Gadis yang cantik, pintar dan selalu menjadi nomor dua setelah Vinko sedari masa sekolah. Kini dia berhasil masuk di jurusan paling unggulan, yang mana dia mau tak mau harus kembali berteman dengan Vinko."Aku yakin kamu belum mengerjakan tugas," tebak Regina.Tatapan Vinko masih sedih setelah mendapatkan penolakan ketus dari Rania. Namun meski begitu, nyatanya dia terus berjalan beriringan dengan Regina menuju kelas mereka."Pinjam catatanmu, ya?"Regina memicingkan mata. "Dan harus rela jadi nomor dua lagi? Maaf, tidak bisa!" tolak Regina sigap."Kamu tidak lihat aku sedang patah hati?" Vinko memasang wajah melas ke arah Regina. "Apa kamu tidak kasihan padaku?"Regina mengerjapkan mata. Setelah mengenal Vinko hampir seumur hidupnya, baru kali ini Regina mendengar Vinko membicarakan soal percintaan. Bahkan Regina bisa menjamin, Vinko tidak pernah tampak menjalin
Rasanya Vinko dan Rania saling pandang hingga keduanya sama-sama tidak berkedip. Ucapan Vinko terasa amat meyakinkan, hingga untuk beberapa saat Rania lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan mahasiswanya yang notabene lebih muda. Meskipun posisi Rania hanyalah asisten dosen yang dipilih karena kepintarannya, namun status Rania tetaplah seorang pengajar bagi Vinko."Sebaiknya kamu memikirkan masa depanmu," tandas Rania, memberi kesimpulan. "Aku yakin, kamu akan lupa tentang ini semua, tentangku, setelah kamu sukses nantinya," Ucapan Rania terdengar seperti seorang kakak yang menasehati adiknya.Ada setitik raut kecewa di wajah Vinko, namun dia memilih diam dan tak melakukan pembelaan. Dia cukup sadar, posisinya saat ini tidaklah menguntungkan. Hanya seorang mahasiswa, tanpa pekerjaan dan tanpa uang. Jelas saja Rania tidak bisa mempercayai segala ucapannya."Boleh aku bertanya lagi?" tanya Vinko–setelah lama diam. "Kenapa selalu ada mobil hitam yang mengikut
Karena kondisi sudah mulai tidak kondusif, Rania menyentuh pergelangan tangan Tama untuk diajak pergi dari butik Nita. Namun pria itu tidak peduli. Dia masih berdiri tegap di tempatnya, memandang Nita dengan tatapan menantang. Sementara Nita yang masih syok dengan hujanan perkataan sadis dari Tama, hanya bisa terdiam dengan bola mata bergetar menahan amarah."Mama!" Tiba-tiba suara keras Vinko membuyarkan ketegangan itu.Dia berdiri tepat di tengah pintu butik, dengan mata melotot tak senang saat melihat kehadiran Tama. Kemudian Vinko berjalan sangat cepat, menarik tubuh sang ibu untuk berdiri di belakangnya. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Vinko pada Tama cukup ketus.Tama berlagak tenang. "Aku hanya ingin mengunjungi butik murahan tempat istriku pernah berbelanja,""Sekarang sudah tahu, kan?" sahut Vinko. "Jadi, silahkan pergi dari sini," usirnya tanpa segan."Ayo, Sayang … " bisik Rania, berusaha keras membujuk suaminya
Selain melancarkan aksi licik dengan memasang CCTV di kamar mandi tamu, Rania juga menyiapkan makanan dan minuman khusus yang dapat merangsang keinginan untuk ke kamar kecil. Semuanya sudah berjalan dengan sempurna dan sesuai rencananya."Maafkan aku, Rif. Tapi aku harus melakukan ini agar kamu sadar siapa Tama," gumam Rania pada dirinya sendiri, sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Rania mematut diri agar bisa bersikap senormal mungkin sembari berjalan penuh percaya diri kembali ke ruang tamu rumah besar itu. Disana dia bisa melihat ketiganya sedang mengobrol, dan ketika dia mengamati Tama lebih dalam, tampak jika pria itu sangat tertarik dengan Lea.Rania tersenyum getir. Dia merasa sebagai orang tak normal, karena bisa bahagia melihat suaminya menunjukkan ketertarikan pada wanita lain. Namun demi bertahan hidup dan demi bisa meloloskan diri dari belenggu Tama, Rania akan melakukan apa saja."Maaf sudah lama menunggu," tukas Rania, tersenyum l
Rona muka Rania seketika cerah saat mendengar ucapan Arif. Sebentar lagi dia akan punya sekutu yang mau bekerjasama dengannya dalam menghancurkan Tama. Dan Arif adalah satu-satunya calon sekutu paling potensial menurut Rania, karena Arif adalah orang yang paling dekat dengan Tama. Pasti Arif tahu apapun kelemahan dari tuannya itu."Maaf menunggu lama," tukas Lea, buru-buru duduk di samping Arif. Dia melingkarkan tangannya di lengan pria itu. "Lama ya?" tanyanya penuh sesal.Arif hanya mengangkat bahu. "Pulang sekarang, yuk?""Ayo!" Lea bersemangat menyahut. Tersirat sikap gugup seakan sedang menutupi sesuatu. Dan sebagai sesama wanita, Rania bahkan tahu ada sedikit noda lipstik yang tak beraturan di sudut bibir Lea."Kalian mau pergi?" Tama tiba-tiba datang. Kini dia sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai."Kamu kemana saja, Sayang?" tanya Rania berpura-pura sedikit kesal. "Kita semua menunggumu,""Aku ada urus
Tama melompat menjauhi tubuh Rania. Dengan nafas memburu karena dikuasai amarah, Tama menghampiri Arif. Keduanya melempar pandangan pada Rania yang masih duduk di atas ranjang dengan wajah kebingungan."Kemasi semua barangnya," pinta Tama. "Dia akan pergi dari sini mulai malam ini,"Arif sekali lagi menunduk. Kemudian beranjak pergi untuk melaksanakan tugas dari tuannya. Sementara Rania, seketika dia melompat turun dari ranjang sambil berteriak memanggil Arif. Dia ingin menuntut penjelasan, kenapa Arif masih saja berada di sisi Tama setelah segala pengkhianatan itu."Mau kemana?!" seru Tama, menghadang tubuh Rania yang hendak menyusul Arif."Lepaskan aku!" jerit Rania, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Tama yang kelewat kuat.Tama berdecak geram. Dia lalu memaksa Rania untuk saling berhadapan dengannya. Mata Tama melotot tajam, memberi penegasan pada Rania untuk tenang."Apa yang kamu inginkan dari Arif?" tanya Tama curig
"Apa Ayah bilang?" sahut Dewi, sangat terkejut dengan pernyataan Tuan Hadi. "Tapi Vinko bukan … ""Semua tergantung pada Tama," potong Tuan Hadi cepat. "Jika dia memang ingin menguasai seluruh bisnisku, maka dia dan Rania harus segera punya anak," Tuan Hadi menatap lurus ke arah Tama dengan tatapan mengintimidasi.Tama tidak tahu harus memberikan respon seperti apa, karena segalanya berjalan dengan sangat cepat. Apalagi kini dia baru saja mengusir istrinya sendiri, Rania, ke tempat yang sangat jauh dari jangkauan keluarga Hadi."Kemana sih, Rania?" tanya Laura tak sabar. "Biar aku masuk ya!""Berhenti disitu, atau kupatahkan kakimu," cetus Tama dengan suara berat yang berhasil membuat bulu kuduk Laura berdiri.Wanita itu perlahan mundur, lebih dekat di samping ibunya. Nyali Laura langsung menciut mendapat ancaman dari Tama. Meski begitu, baik Tuan Hadi maupun Dewi tidak ada yang menimpali dan menganggap ancaman Tama–pada Laura terdengar biasa saja."Ayah dan Ibu tidak peduli pada apap
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng