Helga menenggak kopi dinginnya. Sambil menatap Devin, pikirannya lagi-lagi terlempar pada sosok Ivander. Ya, ia sangat belum siap kalau harus membuat anak tirinya itu bersedih.
Devin tak bisa menyembunyikan senyum ketika mengamati Helga yang terdiam setelah mendengar jawaban darinya. Pemuda itu yakin, Helga pasti akan setuju dengan sarannya. Sudah beberapa menit mereka tenggelam dalam keheningan, dan Devin tidak bosan menatap Helga dengan senyum lebarnya.Mulut Devin kembali terbuka, dan mulai bersuara lagi. Dengan volume rendah, ia bertanya, “Kenapa melamun? Kurang setuju dengan saranku?”Helga tak langsung menjawab. Ia makin meremas cup berisi kopi dingin yang masih sisa setengah. Dengan ragu, kepalanya mengangguk. “Aku memikirkan Ivander,” katanya sangat amat lirih.“Ivander?”“Ya, anak Hadyan dengan Ilana. Aku takut kalau kepergianku membuatnya sedih, dan yang paling aku takutkan ... membuatnya tumbuh sebagai anak yang kurang kasih sa“Rujuk katamu?” Hadyan tertawa. Cukup keras dia tertawa, sampai Ilana yang semula menatap nyalang, perlahan-lahan menundukkan kepala. “Kembali padaku?!” sentaknya sembari menggebrak meja. Masih dengan sisa-sisa tawa yang menggelegar, mata elang Hadyan tak beralih sedikitpun.Dipandanginya sang mantan dengan tatapan geli. Bukan karena lucu, tapi Hadyan terkejut karena mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Ilana. Rujuk bukanlah hal yang pernah dibayangkan Hadyan, karena pria itu yakin bahwa mantan istrinya tidak bisa berkomitmen pada satu laki-laki.“Aku serius, Honey. Aku masih mencintaimu ...,” lirih Ilana tanpa mendongak. Bahkan kedua tangannya saling tertaut, bukti bahwa dia tengah mengurangi rasa cemas dan takutnya.“Omong kosong!”“Untuk apa berusaha masuk ke dalam keluargamu kalau bukan untuk rujuk?! Aku benar-benar masih mencintaimu, Gavi!”“Kau bisa mengatakan cinta pada siapa pun. Bahkan pada pria asing yang baru kau temui sa
“KAU!” teriak Hadyan yang tak bisa ditahan. Ia pun tak peduli jika Ivander dapat mendengar suara bentakannya. Pria itu syok sekaligus benci dengan satu kata paling keramat yang mampu membuat amarahnya meningkat. “Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Helga!”Tampak Helga sedikit melotot. Sepasang tangan terkepal. Seolah-olah ia benar-benar murka dengan yang terjadi hari ini, dan marah pada pernyataan Hadyan yang tak ingin menceraikannya. Ia kesal betul dengan Hadyan yang selalu egois, tidak ingin melepaskannya dan masih menggenggam Ilana.“Lalu aku harus apa?! Semua orang bahkan menganggapku sebagai simpananmu! Aku istri sahmu, Pak Hadyan! Aku bukan simpanan siapa pun!” Mata merah Helga terlihat mulai mengembun, dan benar saja, perlahan cairan bening itu keluar. Air mata turun dari sana dengan napas yang tersengal-sengal. Tak hanya itu, Helga yang mulai terisak lantas bangun dan membelakangi Hadyan. “Maafkan aku.”“Aku lelah! Kalian sela
“Kenapa kau pulang?!”Sonya yang baru membuka pintu rumah, lantas mendapat serangan tatapan maut dari sang tuan. “Nyonya Helga yang memintaku pulang lebih dulu, Tuan. Nyonya bilang akan menyusul setelah urusannya selesai,” jelas Sonya dengan perasaan sangat ketakutan dan merasa ngeri usai mengamati penampilan Hadyan yang berantakan, sekaligus mendapati ekspresi pria itu yang tampak ganas tertuju padanya.“BAGAIMANA BISA KAU MEMBIARKANNYA PERGI SENDIRI?!” teriak Hadyan yang menatap galak Sonya. Salah satu tangannya menempelkan benda berbentuk pipih ke telinga. Napasnya ngos-ngosan seperti orang sehabis berlarian.Jika saja kesabaran Hadyan setipis bulu matanya, Sonya tidak yakin dia masih diperbolehkan tinggal dan bekerja di sini. Sonya yakin, Hadyan begitu menahan emosi untuk tidak melakukan hal di luar batas wajar. Beruntung sekali, tuannya itu tidak pernah main tangan dengan perempuan.“Kau membiarkannya lolos!”Setelah mendapat pesan p
Menyisakan Helga dan Hans yang kini duduk saling berhadap-hadapan, dengan raut wajah Hans yang masih menyisakan amarah. Setelah melihat ayah mertuanya perlahan-lahan menjadi lebih tenang, barulah Helga menarik napas panjang. Ia dengan perasaan yang cukup santai, menatap Hans dalam.“Kalau tugasku hanya menjadi pendamping Ivander, dengan senang hati akan aku lakukan. Setelah bercerai dengan Hadyan, aku tidak keberatan menjenguk Ivander sesekali.” Helga berdeham singkat. “Aku mempunyai hati dan harga diri. Meskipun aku muda dan tidak kaya, tetap saja ... tidak seharusnya kalian semua bersikap semena-mena. Bagiku hal ini sudah sangat keterlaluan. Ilana dan orang tuanya semakin menjadi-jadi.”Hans tidak langsung menjawab. Cukup lama dia diam, memikirkan balasan sang menantu yang baginya benar. Akan tetapi, dirinya tak bisa melawan mantan besan dan memilih mengecewakan Helga.“Aku yakin, Hadyan sudah mencintaimu. Akan lebih bagus kalau kalian berdua bekerja sam
Hadyan tidak membalas. Namun, tangannya makin lama makin bergerak ke atas. Kemudian berhenti di salah satu bongkahan milik Helga. Jari-jarinya memainkan benda kenyal nan menggiurkan di balik kain pelindung, sebelum melepas pakaian itu dari tubuh.Ciumannya tetap berlangsung meskipun masih belum mendapat balasan. Akan tetapi, jemarinya yang lincah dan pandai menciptakan kenikmatan, mampu merangsang pemilik benda kenyal itu. Helga yang terkejut akan remasan di sana, memekik. Lalu disusul dengan desahan kala ibu jari Hadyan memainkan puncaknya.Mulut Helga yang sedikit terbuka itu digunakan Hadyan untuk melancarkan aksinya. Ia makin menyesap dengan lidah yang masuk dan membelit. Menggoda sang istri agar membalas permainan lidah dan mulutnya.Seakan-akan tak ada pilihan, Helga terpaksa membalasnya. Tidak hanya itu, dia semakin dipancing dengan tangan Hadyan sudah berhasil menyentuh bagian bawahnya. Belum lagi ciuman Hadyan yang semakin menuntut, membuat peremp
Beberapa menit lalu saat Devin mendapat panggilan dari Helga, ia langsung meluncur ke lobby hotel. Memenuhi permintaan Helga dengan senang hati. Memboncengkan Helga di motor besarnya, dan mengantar ke rumah orang tuanya. Rumah atas nama orang tua Devin, tetapi tidak ditinggali oleh kedua orang tuanya. Rumah itu memiliki banyak kamar, karena dipakai untuk tempat kos, dan Devin sengaja mengajak Helga menginap di salah satu kamar. Di sinilah mereka berada, salah satu kamar yang akan ditempati Helga selama beberapa waktu.“Untuk sementara ini kamu tinggal di sini, ya, Hel. Kalau kita sudah menikah baru ea rah kamu tinggal di rumahku,” sambung Devin saat Helga baru ingin berjalan ea rah jendela. Sontak Helga menoleh ke belakang dan melotot. “Devin!” seru Helga yang hendak memukul lengan pria itu. Akan tetapi urung dilakukan, karena Devin mengangkat dua jarinya.“Aku bercanda, hehe. Aku harap kamu betah.” Helga tersenyum tipis. “Makasih, Vin
Sesuai janji, Devin akan mengantar Helga ke toko baju di sekitar tempat tinggalnya. Helga masuk lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih, dan mengira kalau Devin akan segera pergi. Namun, pria itu justru mengikutinya dari belakang.Helga yang tidak sadar, memilih baju dengan leluasa. Bahkan beberapa pakaian dalam diangkut setelah memeriksa ukurannya. Berjalan ke kasir, Helga baru melihat sosok Devin yang berdiri tak terlalu jauh dari posisinya.Helga yang terkejut karena Devin menatapnya sambil tersenyum, lantas mendelik. “Aku kira kamu sudah pergi, Vin,” katanya saat lelaki itu mulai berjalan mendekat.“Belum. Aku temani saja, daripada pulang naik ojek online.”“Bukannya harus ke kafe?”“Bisa nanti, setelah menemanimu belanja, Helga.” Helga mengangguk pasrah. “Lanjutkan saja pilih-pilih bajunya. Aku akan diam memperhatikan,” kata Devin yang membuat Helga geleng-geleng kepala, dan dibalas lelaki itu dengan senyuman lebar.Devin ben
Geleng-geleng kepala dan terus saja meneriaki sang mama tiri. Setiap diajak Sonya untuk turun dari kasur, tetap saja menolak dengan tegas dan menangis kencang.“Mama! MAMA HELGA!” teriak Ivander yang sudah banjir air mata di wajahnya. Bocah itu tidak mau diajak ke kamar mandi.“Ayo mandi, supaya Ivander ganteng,” ajak Sonya yang masih saja berusaha membujuk putra Hadyan itu agar bersedia membersihkan badan. Namun, berkali-kali yang diucapkan hanya kata ‘mama’ dan diakhiri dengan nama Helga. Terlihat sekali bahwa bocah itu sangat merindukan Helga. Sonya yang sering melihat pemandangan ini sungguh tidak tega dan miris. Sebagai pengasuh, ia jelas tahu betul bagaimana perasaan rindu Ivander untuk sang nyonya muda.“Kalau Ivander mau mandi, Mama Helga pasti cepat pulang.”Bocah itu sudah tak percaya, karena sang papa juga berjanji demikian. Akan tetapi, hasilnya tetap sama. Kata itu hanya dilontarkan, tanpa terbukti. Sebag