Hadyan tidak membalas. Namun, tangannya makin lama makin bergerak ke atas. Kemudian berhenti di salah satu bongkahan milik Helga. Jari-jarinya memainkan benda kenyal nan menggiurkan di balik kain pelindung, sebelum melepas pakaian itu dari tubuh.
Ciumannya tetap berlangsung meskipun masih belum mendapat balasan. Akan tetapi, jemarinya yang lincah dan pandai menciptakan kenikmatan, mampu merangsang pemilik benda kenyal itu. Helga yang terkejut akan remasan di sana, memekik. Lalu disusul dengan desahan kala ibu jari Hadyan memainkan puncaknya.Mulut Helga yang sedikit terbuka itu digunakan Hadyan untuk melancarkan aksinya. Ia makin menyesap dengan lidah yang masuk dan membelit. Menggoda sang istri agar membalas permainan lidah dan mulutnya.Seakan-akan tak ada pilihan, Helga terpaksa membalasnya. Tidak hanya itu, dia semakin dipancing dengan tangan Hadyan sudah berhasil menyentuh bagian bawahnya. Belum lagi ciuman Hadyan yang semakin menuntut, membuat perempBeberapa menit lalu saat Devin mendapat panggilan dari Helga, ia langsung meluncur ke lobby hotel. Memenuhi permintaan Helga dengan senang hati. Memboncengkan Helga di motor besarnya, dan mengantar ke rumah orang tuanya. Rumah atas nama orang tua Devin, tetapi tidak ditinggali oleh kedua orang tuanya. Rumah itu memiliki banyak kamar, karena dipakai untuk tempat kos, dan Devin sengaja mengajak Helga menginap di salah satu kamar. Di sinilah mereka berada, salah satu kamar yang akan ditempati Helga selama beberapa waktu.“Untuk sementara ini kamu tinggal di sini, ya, Hel. Kalau kita sudah menikah baru ea rah kamu tinggal di rumahku,” sambung Devin saat Helga baru ingin berjalan ea rah jendela. Sontak Helga menoleh ke belakang dan melotot. “Devin!” seru Helga yang hendak memukul lengan pria itu. Akan tetapi urung dilakukan, karena Devin mengangkat dua jarinya.“Aku bercanda, hehe. Aku harap kamu betah.” Helga tersenyum tipis. “Makasih, Vin
Sesuai janji, Devin akan mengantar Helga ke toko baju di sekitar tempat tinggalnya. Helga masuk lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih, dan mengira kalau Devin akan segera pergi. Namun, pria itu justru mengikutinya dari belakang.Helga yang tidak sadar, memilih baju dengan leluasa. Bahkan beberapa pakaian dalam diangkut setelah memeriksa ukurannya. Berjalan ke kasir, Helga baru melihat sosok Devin yang berdiri tak terlalu jauh dari posisinya.Helga yang terkejut karena Devin menatapnya sambil tersenyum, lantas mendelik. “Aku kira kamu sudah pergi, Vin,” katanya saat lelaki itu mulai berjalan mendekat.“Belum. Aku temani saja, daripada pulang naik ojek online.”“Bukannya harus ke kafe?”“Bisa nanti, setelah menemanimu belanja, Helga.” Helga mengangguk pasrah. “Lanjutkan saja pilih-pilih bajunya. Aku akan diam memperhatikan,” kata Devin yang membuat Helga geleng-geleng kepala, dan dibalas lelaki itu dengan senyuman lebar.Devin ben
Geleng-geleng kepala dan terus saja meneriaki sang mama tiri. Setiap diajak Sonya untuk turun dari kasur, tetap saja menolak dengan tegas dan menangis kencang.“Mama! MAMA HELGA!” teriak Ivander yang sudah banjir air mata di wajahnya. Bocah itu tidak mau diajak ke kamar mandi.“Ayo mandi, supaya Ivander ganteng,” ajak Sonya yang masih saja berusaha membujuk putra Hadyan itu agar bersedia membersihkan badan. Namun, berkali-kali yang diucapkan hanya kata ‘mama’ dan diakhiri dengan nama Helga. Terlihat sekali bahwa bocah itu sangat merindukan Helga. Sonya yang sering melihat pemandangan ini sungguh tidak tega dan miris. Sebagai pengasuh, ia jelas tahu betul bagaimana perasaan rindu Ivander untuk sang nyonya muda.“Kalau Ivander mau mandi, Mama Helga pasti cepat pulang.”Bocah itu sudah tak percaya, karena sang papa juga berjanji demikian. Akan tetapi, hasilnya tetap sama. Kata itu hanya dilontarkan, tanpa terbukti. Sebag
Helga yang masih tak menyangka kalau Devin memilih diam mengenai keputusan sang suami, lantas bersiap. Helga mengganti pakaian rumahannya menjadi dress merah marun sebetis. Menyambar tasnya, lalu menyalakan ponsel.Pada awalnya Helga ingin membuka aplikasi ojek online. Akan tetapi, banyak sekali pesan dari suaminya yang harusnya sudah dia buka sejak kemarin-kemarin. Bukan cuma itu saja, ribuan panggilan dari sang suami masuk ke dalam ponsel menyambut tatapan mata Helga.Helga yang tidak menyangka kalau Hadyan memilih pernikahan mereka, terduduk di lantai. Air matanya tumpah lagi tanpa bisa ditahan. Semua pesan dari Hadyan seolah-olah memukul dadanya. Terlebih lagi, pria itu mengatakan bahwa Ivander susah makan karena rindu dengannya dan tak sabar menemuinya.Hadyan: Bukan cuma Vander, aku juga sangat merindukanmu. Aku selalu menunggumu, Baby Girl. Aku bersumpah, hanya kamu yang ada di hatiku, Helga. Sungguh, aku mencintaimu. Maaf, aku terlambat memaksa aya
Hadyan makin berjalan ke depan, tepatnya menuju sang istri yang masih diam di tempat. Ia fokus menatap Helga dengan senyum tipis yang tak bisa luntur sejak melihat istrinya itu dari kejauhan. Hadyan meraih pergelangan tangan Helga seraya melirik Devin sekilas kala jaraknya tak sampai setengah meter dari Helga.Devin tak berhenti menatap mantan duda itu, dan membalas tatapan tajam Hadyan dengan sorot mata yang tidak kalah tajam. Tatapan Devin pun jatuh ke tangan Hadyan yang menarik Helga. Dia juga bisa melihat air mata kerinduan yang tiba-tiba menetes di pipi wanita itu.Masih memberikan tatapan tajam seolah-olah menunjukkan peringatan, Hadyan berdeham. “Terima kasih sudah menjaga istriku. Aku akan menjaganya jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.” Seraya tersenyum, Hadyan mengulurkan tangan kanannya yang bebas itu ke Devin. Devin dengan berat hati menyambutnya. Seketika itu juga ia merasakan remasan yang sangat amat kencang dari Hadyan. Saking kerasnya, De
Hadyan tertawa pelan. Ia mengelus-elus tangan Helga yang melingkar di perutnya kala lampu merah membuat motornya terhenti. Senang sekali rasanya ketika berhasil menggoda sang istri yang sudah beberapa hari ini tidak pernah dilakukan.“Kita tidak akan bercerai, ‘kan?” tanya Hadyan. Pria itu ingin memastikan bahwa Helga tidak punya niat lagi untuk berpisah darinya. “Aku sudah pernah gagal, jadi aku tidak ingin gagal membangun rumah tangga untuk kedua kalinya.”“Sebenarnya keputusan itu ada di tangan Bapak sendiri. Kalau Pak Hadyan tidak berulah dengan masa lalu atau perempuan di luaran sana, aku tidak akan kabur lagi.”“Aku bukan bapakmu atau dosenmu. Saat ini aku suamimu, Helga.”“Iya, Hadyan.”“Panggil aku dengan nama khusus. Beri aku panggilan sayang, Helga ... apa kamu tidak bisa memberikan panggilan sayang untuk suamimu sendiri?”“Hubungan kita belum sedekat itu.”“Aku sudah bilang kalau aku mencintaimu. Apa itu belum
Seperti janjinya pada Ivander, Helga membantu putranya itu menggarap pekerjaan rumah. Tentunya bukan Helga yang mengerjakan, tapi cuma mengajari bagaimana caranya menulis angka, menuntun jari Ivander sebentar saja setelah itu membiarkan bocah itu yang menyelesaikan sampai tuntas. Bukan hanya itu, tapi Helga juga menemani Ivander mewarnai dua buah mobil di kertas gambar. Sesekali menyuapi Ivander dengan biskuit dan mendengarkan cerita di sekolah dari mulut mungilnya.“Mama Helga minta maaf, ya, karena sudah lama enggak pernah menemani Ivander.”“Iya, Mama.” Bocah itu mengangguk mantap begitu tatapannya dengan sang mama bertemu. Melihat mata ibu tirinya berkaca-kaca, tanpa ragu Ivander merentangkan tangan lalu memeluk leher Helga. “Terima kasih, Sayang.” Dikecupnya puncak kepala Ivander. Rasa rindu yang masih tersisa itu benar-benar menguap setelah beberapa jam dia menatap Ivander dan berinteraksi dengan putranya itu. Mendengar
“Oleh karena dia anakku, aku ingin dia pergi bersamaku. Papa tidak mungkin menyeretmu, Helga. Papa cuma ingin Hadyan yang pergi berlutut di kaki ayah Ilana. Hanya itu saja, agar bisnis kami diselamatkan, Helga.”“Aku tidak butuh bisnis kita, Pa. Aku sudah cukup dengan pendapatan resto dan gajiku sebagai dosen. Itu semua jauh dari kata cukup,” ujar Hadyan. Helga pun turut bersuara. “Iya, Pa. Papa, coba mengertilah. Harta memang tidak selamanya berada di kehidupan kita, kemewahan bisa hilang kapan saja. Aku dan Hadyan sudah cukup dengan semua yang kami miliki, Pa,” kata wanita muda itu yang memberanikan diri untuk menatap Hans lekat-lekat.“Sudah berapa kali aku tegaskan pada Papa, dan aku mohon ... berhenti meracuniku dengan harta ataupun kemewahan, karena aku tidak ingin kehilangan keluarga kecilku.” “Kenapa Papa jadi begini?” tanya Helga sangat pelan dan menatap Hans dengan tatapan tak percaya.Sungguh, tidak pernah ia kira kalau Hans