"Kamu kenapa, Reina? Mukanya cemberut gitu, ada yang kamu inginkan? Bicara sama Mas, nanti Mas belikan."Reina merentangkan tangannya, bersiap memeluk sang suami. Alex menyambut pelukan tersebut, lalu keduanya berdiam dalam posisi yang sama cukup lama. Alex terkekeh. Istri manjanya itu bersikap seolah mereka tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun saja."Mas, Rendi sama Tara jahat." Reina mengadu."Hm? Jahat kenapa?" Reina mendongakkan kepala, menyuguhkan wajah menggemaskan yang membuat Alex makin larut dalam pesonanya. Tak langsung menjawab, Reina berpikir sejenak. Haruskah dia memberitahu Alex? Bagaimana jika suaminya itu juga menganggapnya berlebihan dan membuat Alex jengah?Tidak! Reina cepat-cepat menggeleng. Dia sadar diri, sejak hamil ini, sifat kekanakannya tumbuh lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Mungkin disebabkan oleh hormon kehamilan, serta didukung oleh sifat mengayomi Alex yang tak pernah luntur. Akhirnya, Reina cuma bergumam seadanya."Aku cuma bilang kalau
Sudah lebih dari dua puluh menit sejak Reina terbangun, wanita itu tak kunjung beranjak. Justru asyik mengamati spasi kosong pada sisi kirinya yang terbiasa ditiduri oleh Alex. Semalam, dia memutuskan untuk kembali ke kamar utama. Terlelap sembari menghirup aroma mint yang senantiasa menyertai sang suami.Reina malas sekali untuk sekadar duduk. Meskipun masih kesal atas sikap Alex yang tak mengabari sama sekali, dia tak bisa mengabaikan kerinduan yang memenuhi dadanya. Lalu, entah mengapa dia ingin sekali disentuh oleh Alex. Masalahnya, Alex pergi tanpa berpamitan. Dia belum sempat bergumul dengan suaminya, yang kini malah menurunkan suasana hatinya lebih dulu.Reina baru beranjak ketika gelombang mual itu datang seperti biasa. Dengan terpaksa, Reina menuju kamar mandi dan memuntahkan seadanya. Terhenti beberapa saat, Reina memandangi pantulan dirinya pada cermin kamar mandi. Tidak ada secercah pun sinar yang menghinggapi wajah cantiknya. Hanya ada mendung yang menggelantung."Mas Ale
Gilang tak memercayai penglihatannya. Baru saja keluar rumah untuk mengeluarkan mobil, tetangga cantiknya yang sedang hamil itu berdiri di seberang jalan dengan senyum merekah dalam pakaian yang lebih rapi. Gilang keluar dari mobil, mendekat dan bertanya-tanya."Ada apa ya, Mbak Reina?" tanyanya.Reina mengerjapkan mata, lalu menyuguhkan seutas senyum yang berhasil menjaring Gilang. "Mas Gilang mau menjemput adiknya kan? Saya boleh ikut? Janji, saya nggak akan merepotkan Mas Gilang. Sebenarnya, saya memang kepengin keluar, tapi nggak tau mau ke mana. Saya boleh ikut ya, Mas Gilang?"Gilang membuka mulut tanpa suara. Dia tidak pernah berhadapan dengan istri orang yang menggemaskan luar biasa seperti ini. Diberi tatapan memelas dengan pipi menggembung saja dia sudah kalah. Tanpa banyak bicara, Gilang mempersilakan Reina untuk memasuki mobilnya sementara dia mengunci rumah dan menutup pagar.Selagi menunggu Gilang selesai, Reina mengecek ponselnya. Belum ada kabar terbaru dari Alex. Rein
"Ha? Kamu ngomong apaan sih, Tara?" Reina berdecak kesal. Dia tidak paham, mengapa sahabatnya sendiri melayangkan tuduhan tak berdasar semacam itu. "Tara, kalau semisalnya aku memang mau balas dendam ke Mas Alex, buat apa gitu lho? Dalam hal apa pula?""Katanya lakimu itu nggak ngabarin kamu, dan kamu udah bosan duluan karena ada di rumah terus. Barangkali aja, kamu sengaja keluar sama tetanggamu itu karena mau membebaskan diri kan?" Terka Tara, lantas mengendikkan bahu. "Terserah kamu lah, Re. Aku nggak mau ikuta-ikutan! Tapi aku mau ingetin satu hal, jangan terlalu senang sama kedekatan yang kamu perbuat sama lawan jenis, Reina. Nggak baik!""Kamu mau ngatain aku punya niat selingkuh gitu?" cetus Reina."Lha? Aku nggak bilang apa-apa soal itu, Re. Aku cuma ingetin kamu, udah gitu aja!" Tara memicingkan mata. "Re, kamu beneran nggak ada niat ke arah situ kan?""Astaga, Tara!" Reina berontak kesal. "Kamu itu kenapa sih selalu ngurusin hidupku? Ya suka-suka aku mau ngapain dong! Dulu
Gilang benar-benar membelikannya martabak manis seperti yang Reina inginkan. Diterimanya uluran dari Gilang dengan mulut terbuka pelan, hendak mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Rasanya Reina baru saja dihipnotis oleh eksistensi Gilang yang mau membantu dan rela merepotkan diri untuk membelikan makanan yang diinginkannya."A-anu, terima kasih, Mas Gilang." Ucap Reina. "Saya nggak tau harus membalas kebaikan Mas Gilang dengan cara apa. Sebagai tetangga, Mas Gilang baik banget lho!"Gilang mengulum senyum. Sebagai tetangga, Reina menganggapnya masih sebagai tetangga depan rumah yang kebetulan bisa dijejaki selagi bosan. Entah mengapa, Gilang tak mempermasalahkan kenyataan tersebut. Dia senang-senang saja bisa membantu Reina yang sedang kesusahan ini."Enggak perlu dibalas pakai cara apa pun, Mbak Reina. Saya ikhlas membantu Mbak Reina kok! Lagian, saya yakin kalau sebenarnya Pak Alex kepengin banget menghubungi Mbak Reina dan menuruti semua keinginannya Mbak Reina saat ini, tapi terhalan
Aneh. Ada yang aneh dari gelagat Gilang pagi ini. Lily menyadarinya, tetapi enggan bertanya selagi Reina masih berada di sekitar mereka dan menghabiskan sarapan. Rencananya wanita itu akan turut mengantar Lily ke stasiun, sementara Gilang sudah mendapat izin untuk datang ke kantor maksimal pukul sembilan.Sarapan mereka pagi itu berlangsung di rumah Reina. Maka dari itu, Lily tak berani bertanya sedikit pun pada abangnya. Baru ketika waktunya pergi, Gilang dan Lily beranjak untuk menaiki mobil. Menunggu Reina keluar, Lily melayangkan tatapan menyelidik pada Gilang."Bang Gilang kenapa deh?"Gilang berpura-pura tak mendengarnya. "Bang? Kenapa sih? Kenapa Bang Gilang kayak lagi banyak pikiran gitu? Bang Gilang nggak mau aku pulang, atau nggak mau Mbak Reina balik ke rumahnya?" Celetuk Lily."Ly! Kamu bicara apa sih? Ngapain juga Abang punya pikiran kayak gitu ke Mbak Reina? Dia kan bersuami." Elak Gilang."Oh, berarti memang benar ya? Bang Gilang lagi mikirin Mbak Reina, tapi aku nggak
"Ha?"Reina menggigit bibir bawahnya, malu setelah melihat reaksi yang diberikan Gilang. Dia baru saja mengutarakan satu ide yang sejak tadi menyambangi pikirannya. Maka terlintaslah satu-satunya cara yang melibatkan Gilang sebagai tetangga sekaligus teman barunya itu. Walaupun meragu, tapi demi kondisi tubuhnya, dia harus memberanikan diri. "Mas Gilang mau nggak?" tanya Reina memastikan. "Saya tau ini memang kelewatan, tapi saya benar-benar nggak tau harus mengatasi mual-mual ini dengan cara apa lagi. Terus, tadi saya mikir kalau selama ini saya nggak pernah mual saat keluar sama Mas Gilang dan Lily. Cuma minta berangkat bareng aja kok, Mas! Sama minta tolong dijemput."Gilang mengerjapkan matanya beberapa kali. Suatu keanehan mendatangi hidupnya secara tak terduga. Pertama mengenai ketertarikan terlarangnya terhadap Reina, lalu kini merupakan pendekatan tak wajar yang memerangkapnya seperti berada di antara jaring laba-laba."Gi-gimana ya, Mbak? Saya takut kalau ada orang yang meli
Kedekatan yang terjalin antara Gilang dan Reina sudah seperti teman lama yang tak bertemu selama beberapa tahun. Bahkan mereka sudah memanggil dengan nama biasa, berbicara begitu akrab. Bi Ijah mengamati Gilang dan Reina yang berada di meja makan, melangsungkan sarapan dengan senyum merekah.Sejujurnya, Bi Ijah bertanya-tanya, apakah pantas baginya untuk mengamati kedua orang tersebut. Namun siapa pun yang melihat keduanya, akan dikira sebagai sepasang suami-istri sungguhan. Katanya, Reina berteman dengan Gilang hanya sebagai hiburan dan menemani dalam sepi saja. Akan tetapi, Bi Ijah menangkap pandangan yang berbeda dari sorot mata Gilang. Tetangga depan yang masih muda dan tampan itu tentunya cocok bila harus bersanding dengan Reina. Namun selama bekerja di rumah ini, Bi Ijah lebih memilih tuannya yang lebih mengayomi dan bijaksana.Masalahnya, hampir genap dua minggu belakangan, tak ada kabar sedikit pun dari Alex. Barangkali saja, tuannya itu akan pulang secara tiba-tiba dan membe
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen