Share

190. Jadi Suami Siaga

Penulis: Rosa Uchiyamana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah dokter pribadi keluarga Davin—yang telah selesai memeriksa kondisi Jingga, menyarankan agar Jingga segera diperiksa oleh dokter spesialis kandungan, maka sore itu juga Davin membawa Jingga ke rumah sakit dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan.

Selain demam, Jingga juga mengeluh perutnya sakit dan badannya lemas.

“Kandungan Bu Jingga terlihat baik, tapi saya melihat ada sedikit tanda-tanda stres pada janin. Apa belakangan ini Bu Jingga merasa cemas atau stres berlebihan?" tanya Dokter Kartika sesaat setelah ia selesai memeriksa kondisi kandungan Jingga.

"Stres?" Jingga terkejut mendengar dokter kandungan itu dapat menebak bahwa akhir-akhir ini ia merasa cemas dan mungkin bisa dibilang stres berlebih. Tak bisa dipungkiri, kata-kata ibu mertuanya tempo hari membuat pikiran Jingga semrawut.

Namun, Jingga tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa ia stres di depan Dokter Kartika dan Davin.

Jingga lalu menoleh pada suaminya, yang tampak cemas dan khawatir.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (5)
goodnovel comment avatar
kak rose
ini mah spek luar biasah...gak perlu stres lg. Mau seisi dunia gak suka jg yg penting mah mas Davin mencintai secara ugal"an, qiqiqii
goodnovel comment avatar
Shafi27
Kelakuan Davin macam apotek tutup: gak ada obat wkwk
goodnovel comment avatar
Nia
Kapan nih Davin tau kelakuan mamanya sama Jingga. Biar tau rasa mamanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Manis sang Pewaris   191. Pecel Satria

    Davin benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Jingga bed rest, ia memperlakukan Jingga dengan penuh perhatian. Selain cuti dari pekerjaannya, Davin juga benar-benar membiarkan Jingga istirahat sepenuhnya, ia juga mengurus Oliver dari pagi hingga malam. Ketika waktu sarapan dan makan siang, Davin membawakan makanan Jingga ke kamar dan menyuapinya, memastikan Jingga makan dengan benar meski terkadang Jingga menolak karena selera makannya masih belum membaik.Lalu siang ini, Davin berhasil menidurkan Oliver. Ternyata tidak sulit membuatnya tertidur, pikir Davin. Sebab anak itu pasti mengantuk jika waktu tidur siangnya sudah tiba. Setelah merebahkan Oliver di atas kasur yang sama dengan Jingga, Davin lantas beralih ke sisi kasur yang lain, duduk bersandar di headboard seraya menarik Jingga ke dalam pelukannya. “Sayang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Davin seraya menyusupkan jari jemarinya di rambut Jingga dan mengusap-usapnya lembut. Jingga menyandarkan pipinya di dada Davin, menga

  • Istri Manis sang Pewaris   192. Usaha Yang Tidak Sia-Sia

    “Maaf, Pak. Saya bukan Satria. Saya Mas Yanto. Bapak nggak lihat tulisan di sana, ya? Ini ‘Pecel Mas Yanto’.”Davin menoleh ke arah spanduk yang menggantung di depan gerobak, yang ditunjuk oleh seorang pria tua keriput yang bernama Yanto itu.Davin menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, kalau begitu. Apa Bapak, maksud saya Mas Yanto tahu di mana pecel yang dijual oleh Satria?” tanya Davin dengan ragu-ragu.Yanto mengerutkan keningnya, ia menelengkan kepala, menatap Davin dengan heran. “Mana saya tahu, Pak. Saya nggak pernah menghapal nama-nama tukang pecel. Coba Bapak cari di perempatan sana.” Yanto menunjuk ke sembarang arah, lalu ia sibuk menyajikan pecel pada pelanggannya.Setelah mengucapkan terima kasih, Davin lantas meninggalkan tempat tersebut dan masuk ke dalam mobilnya.Ia menyugar rambut yang sudah sedikit acak-acakan. Mas Yanto adalah penjual pecel ke tujuh yang Davin temui sore ini. Setelah sebelumnya yang Davin temui adalah Udin, Sultan, Sura, Harja, Ilham, dan D

  • Istri Manis sang Pewaris   193. Iri Pada Bunga

    Lucy menyeruput teh hangatnya, seraya mendengarkan penjelasan dari asisten pribadinya mengenai hukuman untuk Chelsea dan Emran yang sudah diputuskan oleh pihak pengadilan siang ini.“Pak Emran dan Chelsea telah dinyatakan bersalah atas percobaan pembunuhan. Hakim memberikan hukuman yang cukup berat untuk mereka berdua,” ujar seorang wanita berusia 30-an sambil membuka berkas di tangannya.Lucy mengangguk perlahan. “Berapa lama mereka dijatuhi hukuman?”“Chelsea dijatuhi hukuman 15 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Sedangkan Pak Emran, karena perannya yang sedikit lebih kecil, mendapat hukuman 10 tahun penjara, juga tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.”Lucy terdiam mendengarnya. Tangannya mengepal. Ia sudah menganggap Chelsea sebagai anak sendiri, tapi berakhir dikhianati. Meski Lucy yakin bahwa sasaran utama Chelsea adalah Jingga, tapi Lucy tidak bisa memaafkan siapapun yang sudah berusaha melukai putranya.“Tapi... apa ada kemungkinan mereka bisa mengajukan ba

  • Istri Manis sang Pewaris   194. Usaha Untuk Berdamai

    Jingga menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Ia berdiri di depan pintu rumah mertuanya dengan perasaan gugup.Setelah mengumpulkan keberanian, ia melepas tangannya yang semula menggenggam pegangan stroller Oliver, lalu menekan bel. Satu kali. Dua kali.Jingga menahan napas saat pintu di hadapannya terbuka. Ia tak memiliki kesempatan untuk berbalik arah. Tekadnya sudah bulat.“Oh? Non Jingga? Selamat siang,” sapa seorang wanita paruh baya yang membuka pintu sambil tersenyum ramah.Jingga balas tersenyum. “Selamat siang, Bik. Apa... Tante Lucy ada?"“Ada, ada. Mari, silahkan masuk!”Wanita itu membuka pintu lebar-lebar dan beringsut memberi jalan bagi Jingga yang mendorong stroller yang diduduki Oliver.Arum ikut berjalan di belakang Jingga sambil membawa parsel buah kesukaan Lucy—anggur dan kiwi import. Sebelumnya Jingga sempat bertanya pada Davin mengenai buah favorit ibunya itu.Setibanya di ruangan tengah rumah mewah tersebut, Jingga melihat Lucy sedang mengobr

  • Istri Manis sang Pewaris   195. Mulai Luluh?

    Lucy terbangun dari tidurnya dan ia mendapati kain pengompres menempel di dahi. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Dan Lucy penasaran, siapa yang menempelkan kain dingin itu di keningnya? Lucy memaksa tubuhnya untuk duduk, ia merasa lemas, seolah tenaganya perlahan-lahan terserap habis. Tangannya mengepal saat ia tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Dokter Indra siang tadi. Dokter Indra memberinya sebuah kabar buruk. Kabar yang membuat dunia Lucy terasa jungkir balik. "Dokter Indra, tolong katakan yang sebenarnya. Apa yang salah dengan kesehatan saya?" tanya Lucy saat itu kepada Dokter Indra. Dokter Indra menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat, sementara tangannya menggenggam hasil pemeriksaan. "Bu Lucy, saya akan berbicara dengan sejujurnya," kata pria itu dengan nada serius. "Hasil laboratorium Anda menunjukkan bahwa Anda menderita leukemia, atau... kanker darah." Lucy terdiam sejenak, merenungkan kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia menggele

  • Istri Manis sang Pewaris   196. Khawatir Akan Terluka

    Davin bergegas pergi meninggalkan kantor saat ia mendapat kabar dari rumah, bahwa Jingga pergi ke rumah orang tuanya, tanpa dirinya. Bukan apa-apa. Davin hanya merasa sangat khawatir Jingga diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya, seperti yang lalu-lalu. Setibanya di sana, Davin segera memasuki rumah mewah itu dan mencari-cari sosok Jingga di segala penjuru. Rahangnya mengeras kala ia menemukan wanita itu sedang berhadapan dengan ibunya di beranda. “Dave?” gumam Jingga dengan mata sedikit melebar. “Kamu sudah pulang dan tahu aku di sini?” Davin menatap Jingga seraya menghampirinya, lalu merangkul pinggang wanita itu dan berkata tegas, “Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kenapa kamu datang ke rumah ini tanpaku?” “A-aku... cuma ingin... menjenguk Tante Lucy.” Jingga gelagapan. “Tapi kamu jangan khawatir! Aku baik-baik saja!” Ia sedikit berseru sambil tersenyum lebar dan mengibaskan tangannya di udara. Davin menatap sorot mata Jingga lamat-lamat, tapi ia tidak menemukan kesed

  • Istri Manis sang Pewaris   197. Karya Seni Paling Indah

    Davin memandangi Jingga, lalu menghela napas panjang. Ia nyaris lupa bagaimana caranya berkedip saat melihat penampilan istrinya saat ini. “Kenapa menghela napas? Aku terlihat jelek, ya? Atau riasanku aneh?” tanya Jingga seraya menatap Davin dengan tatapan polos. Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling lobi Madhava Studio. Rahangnya mengeras saat ia mendapati beberapa pria yang berlalu lalang menatap ke arah Jingga lebih dari satu kali. “Udara di sini cukup dingin, Sayang.” Davin melepas jas hitam yang ia kenakan. Lalu mengenakannya di bahu Jingga, untuk menutupi tubuhnya yang indah dari pandangan lelaki lain. Jingga mengerjap. “Tapi aku nggak dingin,” sanggahnya, menggeleng. “Tapi aku nggak suka milikku dipandangi orang lain.” Davin merapatkan jas tersebut, menenggelamkan tubuh Jingga yang malam ini mengenakan dress satin berwarna peach, dengan model tali spageti, tinggi di bawah lutut, dan belahan di samping kiri yang memanjang ke atas lutut membuat gaun itu terlihat semakin

  • Istri Manis sang Pewaris   198. Tidak Tertarik Merebut Suami Wanita Lain

    “Aku tahu, Sayang. Dan bagiku, kamu adalah karya seni yang paling indah dalam hidupku.” Jingga terperangah. Pipinya berubah semerah tomat. Ia tak menduga kata-kata manis itu akan keluar dari mulut suaminya. “Kenapa semakin ke sini, kamu semakin pintar menggombal, sih?” gerutu Jingga seraya menangkup pipinya yang terasa panas. Davin memperhatikan wajah Jingga, ia mengulum senyum dan kembali berbisik, “Kurasa, kita nggak perlu lama-lama di sini.” Ia mengecup pelipis Jingga. Jingga menatapnya dengan kening berkerut. “Kenapa memangnya?” “Aku ingin mencium bibirmu.” “Astaga....” Jingga menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan arah pikiran suaminya. Lalu Jingga bergegas meninggalkan Davin menuju kursi mereka. Satu sudut bibir Davin terangkat, tingkah malu-malu istrinya terlihat menggemaskan di matanya. Ia menyusul Jingga, duduk berdampingan dengannya. Saat keduanya sedang mengobrol sambil sesekali menyaksikan pembawa acara yang berbicara di depan, seorang pria tua

Bab terbaru

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 10

    “Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 9

    “Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 8

    Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 7

    Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 6

    Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 5

    “Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 4

    Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 3

    Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men

  • Istri Manis sang Pewaris   Oliver Story 2

    “Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah

DMCA.com Protection Status