Mungkin, Tuhan sedang memberinya karma?Ya, siapa tahu.Dulu, ia selalu bersikap dingin dan tidak berperasaan kepada Jingga, seolah-olah wanita itu hanyalah seonggok boneka yang tidak memiliki hati.Sekarang, ia justru malah jatuh, sejatuh-jatuhnya, di bawah kaki wanita itu. Mungkin kalimat itu terlalu berlebihan, tapi Davin merasa tidak ada lagi kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa ia mencintai Jingga, selain kalimat itu.Dulu, ia selalu melayangkan tatapan tajam padanya.Kini, ia menatapnya penuh damba, penuh cinta.Setiap inci wajahnya, setiap lekuk tubuhnya, bagai lukisan yang diciptakan dengan penuh rasa, dengan detail yang begitu indah.Davin merasa seperti menemukan keajaiban setiap kali memandang Jingga, seperti menemukan potongan hatinya yang hilang selama ini."Aku mencintaimu," bisik Davin setelah ia melepaskan tautan bibir mereka, menjauhkan wajahnya, menatap sepasang mata wanita itu dengan penuh damba.Tatapan sayu Jingga membuat napas Davin kian memburu, gairahn
“Sepertinya... barusan aku membuat kesalahan.”Jingga semakin tidak mengerti dengan ucapan Davin tersebut. “Kesalahan?” tanyanya seraya menyentuh rahang Davin yang ditumbuhi rambut halus. “Kesalahan apa memangnya?”Davin menelan saliva. Dengan perlahan ia bangkit dan menarik lengannya dari bawah kepala Jingga dengan hati-hati. Lalu, tatapannya tertuju pada perut istrinya yang masih tertutupi selimut. Davin menyentuhnya dengan lembut seolah-olah khawatir sentuhannya akan menyakiti janin di dalam sana.“Aku... tadi aku nggak bisa menahan diri,” gumam Davin dengan tatapan bersalah. Ia menatap mata Jingga, dan ia tak bisa menyembunyikan kecemasan dari sorot matanya. “Aku sudah berusaha bersikap lembut, tapi aku sulit mengendalikan diri. Bagaimana ini? Sepertinya aku sudah menyakiti calon anak kita, Sayang.”Jingga menghela napas lega mendengarnya. Barusan ia sempat mengira bahwa ‘kesalahan’ yang dimaksud Davin adalah sesuatu yang akan jadi masalah besar. Ternyata, hanya kekhawatiran Davin
Jika ada kompetisi pria tergengsi se-ibukota, mungkin Davin akan jadi pemenangnya. Saat ini, jelas-jelas dadanya bergemuruh, pikirannya berisik akan kekhawatiran yang ia alami. Namun, di depan dokter wanita paruh baya itu Davin tetap terlihat tenang, setenang air laut tanpa riak.“Selamat pagi, Bapak Davin, Bu Jingga, ada yang bisa saya bantu?” tanya Dokter Kartika dengan ramah. Ia mengenali wajah Davin yang sering muncul di berbagai media sosial dan website rumah sakit. Davin juga sering muncul di berita sebagai sosok yang aktif dalam memberikan sumbangan untuk bidang kesehatan dan pengembangan infrastruktur rumah sakit.“Selamat pagi, Dokter. Saya memiliki kekhawatiran mengenai kondisi kandungan istri saya,” ujar Davin dengan tenang.Dokter Kartika mengangguk. “Baik. Apa ada keluhan dengan kandungannya, Bu?” Ia menatap ke arah Jingga.Sebelum Jingga menjawab, Davin cepat-cepat berkata, “Begini, Dok, jadi tadi malam....” Davin berdehem canggung. “Saya melakukan hal yang—“Kata-kata D
Davin duduk dengan tegap. Rahangnya berkedut. Sorot matanya menyiratkan kemarahan saat ia melihat seorang wanita mendekatinya digiring petugas. Wanita itu lalu duduk di hadapan Davin, mereka berdua terhalang oleh sebuah meja kayu persegi.Wajah wanita itu tampak menyedihkan. Pipinya lebam. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Area di sebelah matanya tampak biru, seperti habis ditonjok seseorang.Davin menghela napas kasar. Jika itu dulu, ia pasti akan iba melihat kondisi Chelsea yang menyedihkan seperti itu. Namun sekarang, sudah tidak tersisa lagi rasa belas kasih Davin untuk wanita yang telah berniat mencelakakan Jingga.“Ada apa dengan wajahmu? Orang-orang di dalam tahanan melukaimu?” tanya Davin dengan ekspresi datar. Tidak. Ia bukan sedang menunjukkan perhatiannya, ia hanya ingin memastikan bahwa usahanya untuk membuat Chelsea dan Emran tidak dispesialkan di ruang tahanan—alias tidak dipisah dengan tahanan lain, berhasil.Chelsea menunduk, sama sekali tidak berani menunjukkan wajahnya
Jingga sempat menaruh alat penyiram tanaman di meja sebelum ia berbalik badan, menghadap suaminya yang masih tampak rapi dan tampan meski hari sudah menjelang sore.“Tumben?” Jingga tersenyum manis, menampilkan kedua lesung pipinya. “Pulangnya lebih awal satu jam.”Davin menangkup pipi Jingga dengan dua telapak tangannya yang lebar. “Sudah kubilang, aku kangen kamu, Jingga Thania,” bisik Davin, sesaat sebelum ia mendaratkan bibirnya pada bibir Jingga, memagutnya dengan penuh damba, lidahnya melesak masuk saat Jingga memberinya celah.Bibirnya bermanuver, dengan napas memburu, membuat Jingga sempat kewalahan mengimbangi. Jingga merasa limbung dan lemas dengan serangan tiba-tiba itu. Ia nyaris terjatuh ke belakang akibat ciuman yang dalam dan kuat Davin, beruntung Davin sigap memeluk pinggangnya dengan erat untuk memberi wanitanya rasa aman dan nyaman.Napas Jingga ikut memburu. Kepalanya mulai pusing mengimbangi Davin yang tidak sabaran.Dalam satu kali hentakan, Davin berhasil mendudu
Jingga tertegun, matanya berkaca-kaca penuh haru. Davin yang melihat mata wanita itu langsung terkejut. “Sayang, kenapa? Apa ucapanku barusan menyakitimu?” tanya Davin tanpa menyembunyikan kepanikannya. Jingga menggeleng, ia menggenggam tangan Davin yang menyentuh pipinya. “Nggak. Sama sekali nggak,” sanggahnya cepat. “Aku... terharu mendengar rencana kamu buat Oliver, Dave.” Helaan napas Davin terdengar lega. “Aku kira ada yang salah dengan ucapanku,” ujarnya seraya menggenggam balik tangan Jingga. Ia memandangi wanita itu lamat-lamat. “Jadi? Kamu setuju mengenai rencanaku?” “Mm-hm.” Jingga mengangguk. “Aku setuju.” Kedua sudut bibir Davin terangkat tinggi. “Terima kasih,” ucapnya, karena Jingga sudah setuju dengan rencananya. “Ngomong-ngomong, kamu ingin konsep pesta seperti apa?” “Em... untuk saat ini aku belum punya gambaran, sih. Boleh aku cari referensi dulu?” “Tentu.” Davin mengangguk seraya mengerjap pelan. “Kalau sudah ketemu, beritahu aku untuk berdiskusi. Aku
“Dave, aku sudah punya konsep untuk pesta ulang tahun Oliver!” seru Jingga dengan mata berbinar-binar. Davin menaruh gelas kosong di meja, ia berbalik, menatap istrinya yang berjalan cepat menghampiri sambil memeluk iPad. “Pagi-pagi nggak mau menyapaku dulu, gitu?” Davin mendaratkan kedua telapak tangannya di pinggang Jingga yang ramping. Lalu menunduk hendak mencium bibirnya, tapi dengan cepat Jingga meraup wajah Davin dan melirik pada Arum yang sedang mencuci piring. “Lihat-lihat tempat dulu kalau mau melakukan sesuatu,” gumam Jingga dengan bibir sedikit manyun. “Tapi aku nggak bisa melihat hal lain kalau ada kamu. Semuanya jadi buram selain kamu.” Mata Jingga merotasi menanggapi gombalan Davin yang diucapkan dalam ekspresi datar itu. “Aku sudah punya konsep pestanya. Mau dengar atau nggak?” Jingga mengalihkan pembahasan mereka ke topik awal. Davin mengangguk. “Tentu saja. Keinginanmu adalah perintah bagiku, Sayang.” Ia tersenyum dan mengikuti Jingga yang duduk di meja
Pria berpenampilan rapi itu tersenyum manis. “Selamat pagi,” sapanya, “maaf, pagi-pagi membuatmu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.” “Aku memang kaget kedatangan tamu yang nggak disangka-sangka.” Jingga menjawab jujur seraya terkekeh kecil. Ini kunjungan pertama Kalil ke rumah Davin dan itu sangat mengejutkannya. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Kalil bicarakan dengannya. “Em... kalau begitu, ayo masuk.” “Terima kasih.” Kalil mengikuti langkah kaki Jingga menuju ruang tamu. “Tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di luar, tapi aku rasa itu kurang sopan.” “Sejak aku resign dari Madava Studio, sepertinya kamu sama sekali belum mentraktirku makan di luar.” Jingga menoleh, pura-pura cemberut, yang membuat Kalil tersenyum. “Maaf. Aku yakin, suamimu nggak akan menyukai ide itu.” Kalil terkekeh-kekeh."Iya, kamu benar." Jingga mengangguk membenarkan, sambil tertawa kecil.Jingga memang sudah berhenti bekerja dari Madhava Studio sejak akhir bulan Januari lalu
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah