Jingga melongokan kepala di pintu perpustakaan. “Dave, kita mulai meeting-nya sekarang?”Davin melirik arloji. Menoleh pada Jingga sesaat ketika menjawab, “Tunggu sepuluh menit lagi, hm?”“Ya sudah.” Jingga menghela napas pelan. Ia masuk ke ruangan perpustakaan pribadi itu dan mengambil buku dari rak terdekatnya secara asal.Jingga duduk di single sofa, membuka-buka buku di tangannya sejenak, lalu memperhatikan Davin yang fokus pada beberapa buku yang terbuka di hadapannya, di atas meja. Sesekali pria itu beralih ke laptop, lalu mencatat di sebuah buku. Gelagatnya persis seperti seorang profesor muda yang sedang menyusun materi kuliah.Jingga tidak tahu apa yang sedang Davin tekuni. Namun yang pasti itu bukan pekerjaan. Sebab Davin akan berada di ruangan kerjanya jika yang sedang ia tekuni adalah hal yang menyangkut pekerjaan.Penasaran, Jingga lantas menaruh bukunya di atas meja. Lalu mendekati Davin dan melihat buku-buku yang berserakan di hadapan pria itu. Mata Jingga seketika terb
“Sayang, kamu masih ingat rencana liburan kita? Yang pernah aku bahas bulan lalu?” Davin mencomot potongan buah apel dari piring, yang sedang Jingga kupas. Lalu ia menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana.Jingga mengangguk cepat. “Hm. ingat banget. Aku sempat berpikir kalau liburannya akan batal karena kamu yang lupa ingatan.”“Maaf...,” ucap Davin dengan penuh rasa bersalah. Ia kemudian tersenyum. “Liburannya akan tetap dilaksanakan. Kita akan pergi minggu depan.”Mata Jingga seketika melebar. “Sungguh? Ke Maldives?”“Hm.” Davin mengangguk sambil mengerjap pelan. “Bagaimana?”Jingga menatap Davin dengan mata berbinar-binar. Ia mengangguk berkali-kali sambil tertawa kecil. “Aku mau!” jawabnya, “Maldives... aku sangat ingin ke sana, dan aku rasa ini pasti jadi liburan yang paling menyenangkan!”Davin tersenyum dan mengambil pisau buah dari tangan Jingga yang bergerak-gerak saking antusias. Ia taruh pisau itu di atas piring. “Pisau ini akan melukaiku, Sayang.”“Oops! Maaf.” Jing
Di dalam ruangan kantor sang CEO, Vincent berdiri dengan canggung di hadapan Davin yang sedang menatapnya dengan tajam. Vincent diam, menunggu dengan sabar atasannya itu berbicara.Sementara itu, Davin menatap Vincent dan berkas di hadapannya, bergantian. Ia hanya tinggal membubuhkan tanda tangannya dalam surat keterangan kenaikan gaji Vincent tersebut. Namun, mood Davin sedang buruk, dan perutnya mual-mual.“Bukankah kamu tahu, aku tidak suka ada pria lain yang dekat dengan istriku?” Suara Davin memang rendah, tapi terdengar penuh intimidasi.Vincent mengangguk kalem. “Saya tahu, Pak.”“Lalu apa yang kamu lakukan kemarin?” Rahang Davin mengeras kala mengingat kejadian saat makan malam kemarin, di rumahnya. Jingga banyak berceloteh terhadap Vincent, Jingga juga menunjukkan kekhawatirannya dan berterima kasih terlalu berlebihan, karena Vincent berhasil mengungkap tersangka kasus kecelakaan itu. Dan Davin kesal karena Vincent menanggapi celotehan Jingga. Dan Davin dianggap makhluk tak k
“Dave, ayolah, pasar nggak semenakutkan itu, kok.”“Tapi ini mengerikan. Aku baru pertama kali ke pasar tradisional hari ini.”“Kalau begitu, kamu bisa kembali ke mobil dan tunggu aku di sana. Oke?”“Dan membiarkan kamu pergi tanpa pengawasanku?” Mata Davin terpicing. “Tidak. Aku akan terus mengikutimu.”Jingga menghela napas pelan seraya merotasi matanya. Karena ada Davin, Jingga jadi tidak bisa bergerak bebas.Bagaimana tidak? Sejak memasuki pasar, pria itu selalu berjalan di belakang atau di samping Jingga, sambil merentangkan tangan ke depan untuk melindungi Jingga dari segala sesuatu yang bisa menabraknya. Bahkan, Davin melepas jas hitamnya dan mengenakannya di tubuh Jingga, membuat Jingga merasa kegerahan.Jingga kemudian tersenyum lembut seraya menatap Davin yang sejak tadi tampak tegang itu. “Kamu khawatir sekali padaku ya, Dave. Padahal aku sudah sering pergi ke pasar sendiri, lho. Dari kecil aku sering melakukannya.”Davin menggeleng tegas. “Nggak, aku nggak bisa merelakanmu
“Sayang, baik-baik sama Papa, ya? Orang-orang di dekat Papa itu baik-baik, kok. Main sama Papa pasti sangaaat menyenangkan!”Jingga berkata penuh kelembutan seraya memisahkan kancing kemeja putih yang amat mungil itu. Oliver tertawa dan tampak tak sabar ingin segera mengenakan pakaian yang sama dengan ayahnya.Jingga memakaikan kemeja putih itu di tubuh Oliver. Selanjutnya Oliver mengenakan celana bahan berwarna hitam. Kemudian Oliver dipakaikan jas hitam mungil menggemaskan.Setelan jas mungil itu sengaja dibuat di butik yang membuat pakaian Davin. Dan tentu saja, Davin yang berinisiatif membuatkan setelan formal untuk Oliver yang persis seperti miliknya.Sebagai langkah terakhir, Jingga memasang dasi kupu-kupu dan sepatu pantofel. Ia lalu memandangi putranya itu dengan senyuman penuh kekaguman.“Kamu ganteng banget, sih. Mirip sekali sama Papa kamu,” gumam Jingga sambil terkekeh-kekeh.“Tentu saja dia tampan sepertiku, Sayang. Dia anak kandungku.”Jingga terperanjat begitu mendengar
Oliver duduk di baby car seat, di samping Davin. Dia mengamati ayahnya sambil mengedip pelan. Kakinya ikut menyilang saat Davin menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanan. Saat ayahnya bersedekap dada, Oliver pun mengikutinya.Davin tertawa menyaksikan tingkah menggemaskan putranya itu. Oliver ikut tertawa, tanpa tahu kalau yang ayahnya tertawakan adalah dirinya.Saat Davin menerima kacamata dari Vincent dan mengenakannya, Oliver merengek sambil menunjuk-nunjuk matanya sendiri.“Oh, baiklah, Tuan Muda. Saya juga sudah menyiapkan kacamata untuk Anda,” ucap Vincent sambil menoleh ke belakang dan mengedipkan sebelah matanya, ia mengeluarkan kacamata mungil dari dalam saku jas.Oliver tertawa riang saat Davin memasang kacamata itu di hidungnya.Davin tersenyum puas, mengusap puncak kepala Oliver sambil berkata, “Kamu calon penerus Papa. Kamu akan tumbuh jadi pria yang lebih baik dari Papa.”Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan lobi New Pacific Group. Davin melepas kacamata, meny
Raut muka Davin seketika berubah keruh. “Maksud Mami, Mami mau menjodohkan aku dengan teman anak Mami itu padahal jelas-jelas Mami tahu aku sudah punya istri dan anak?”Lucy menyilangkan kakinya dan menatap Davin dengan serius. “Mami ingin punya menantu yang setara dengan kita, Mas.”“Mami lebih mementingkan obsesi dan harga diri Mami daripada perasaan anak Mami sendiri.” Davin menyeringai miris, ia mengedikkan bahu, lalu berdiri. “Silahkan lanjutkan saja usaha Mami yang sia-sia itu. Aku cuma akan fokus pada istriku, Oliver dan calon anak kedua kami. Oh dan tentu saja pada pekerjaanku juga,” kata Davin sambil berlalu mendekati Oliver.Mata Lucy seketika melebar mendengar pernyataan Davin barusan. “Apa maksudmu calon anak kedua kalian?”“Jingga sedang hamil lagi. Anakku, tentu saja,” jawab Davin tanpa ragu, wajahnya yang mengeras seketika tersenyum pada Oliver yang juga melempar senyum ke arahnya.Jawaban Davin membuat Lucy memijat keningnya sambil mengeluh pusing. “Mia! Mia! Kamu di l
Mungkin, Tuhan sedang memberinya karma?Ya, siapa tahu.Dulu, ia selalu bersikap dingin dan tidak berperasaan kepada Jingga, seolah-olah wanita itu hanyalah seonggok boneka yang tidak memiliki hati.Sekarang, ia justru malah jatuh, sejatuh-jatuhnya, di bawah kaki wanita itu. Mungkin kalimat itu terlalu berlebihan, tapi Davin merasa tidak ada lagi kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa ia mencintai Jingga, selain kalimat itu.Dulu, ia selalu melayangkan tatapan tajam padanya.Kini, ia menatapnya penuh damba, penuh cinta.Setiap inci wajahnya, setiap lekuk tubuhnya, bagai lukisan yang diciptakan dengan penuh rasa, dengan detail yang begitu indah.Davin merasa seperti menemukan keajaiban setiap kali memandang Jingga, seperti menemukan potongan hatinya yang hilang selama ini."Aku mencintaimu," bisik Davin setelah ia melepaskan tautan bibir mereka, menjauhkan wajahnya, menatap sepasang mata wanita itu dengan penuh damba.Tatapan sayu Jingga membuat napas Davin kian memburu, gairahn
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah