Sepulangnya dari rumah Sri dan Rahman, Sofia diliputi kesedihan. Wanita itu kini tengah berdiam diri seorang diri di kontrakan kecil yang menjadi saksi bisu pernikahannya bersama sang suami. Sofia mengelus perutnya. Ia merasa sedih karena dirinya belum membelikan apapun untuk calon anaknya. Sofia juga belum mempunyai uang untuk biaya lahiran. Sebenarnya Sofia memiliki jaminan kesehatan yang ia bayar setiap bulan. Akan tetapi, semenjak menikah dengan Eril, pria itu tak membayar asuransi kesehatan yang Sofia miliki. Padahal asuransi kesehatan Sofia kelas tiga dan tidak cukup berat membayarnya. Karena lama tidak dibayar, otomatis asuransi kesehatannya itu sudah tidak aktif. Perhiasan yang Sofia andalkan untuk lahiran pun pupus sudah karena emas itu hanya emas imitasi. Wanita hamil itu teringat akan tabungan kecil-kecilan yang pernah ia sumpan. Sofia kemudian berdiri dan membuka lemari, ia melihat blazer ketika masa gadisnya tergantung begitu saja. Dengan hati-hati Sofia membuka bagian
Bu Laksmi tak percaya Eril akan memilih pergi bersama Sofia. Matanya memanas. Ia teringat ketika ia hamil dan melahirkan Eril. Bu Laksmi teringat ia mati-matian menyekolahkan Eril dan ia tak terima setelah sukses Sofia mencoba menguasai Eril sepenuhnya. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Eril harus lebih berpihak padanya, Apalagi malam ini Lily akan ikut bersama mereka. Lily dan Eril harus dekat dan bersatu kembali. Itulah tekad Bu Laksmi. "Aww!" Bu Laksmi memegang kepalanya. Ia meringis seperti menahan sakit. Aktingnya sangat totalitas, layak diberikan piala Oscar. "Kenapa, Bu?" Mega bertanya dengan panik, ia mendekati sang ibu, lalu membimbingnya duduk di sofa. Daffa yang baru masuk ke dalam keluarga Bu Laksmi pun tampak cemas. Ia memang belum tahu peringai asli Bu Laksmi seperti apa. Rizal dan Delia pun sama. Mereka mendekat ke arah Bu Laksmi dengan cemas. Sementara Eril menghentikan langkahnya. Ia melepaskan genggamannya di tangan Sofia. Eril berbalik dan ikut menghampiri Bu
Dokter Reynard yang baru saja membuka poliklinik berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang IGD. Ketika tirai ia singkap, wajahnya terlihat sangat terkejut ketika melihat Sofia tengah terbaring lemah dengan keadaan yang sangat memilukan. "Sofia?" Gumam Reynard, ia menatap wanita yang pernah menjadi bagian masa lalunya itu dengan iba. Bagaimana tidak, Sofia terlihat menyedihkan dengan baju yang kusam. Tubuhnya pun seperti kurang asupan makanan yang bergizi. Wajahnya pucat dan bibirnya terlihat begitu kering seperti kekurangan minum. Reynard menutup tirai pasien, ia memerintahkan bidan yang bertugas di ruangan IGD untuk mengambil alat cardiotocography atau CTG untuk memantau aktivitas dan denyut jantung janin. Sebelumnya Reynard memasangkan selang oksigen di hidung Sofia. Ia pun mengecek denyut jantung dan tensi darahnya. "90, rendah sekali!" Reynard terkejut. Pasalnya saat dirinya memeriksa Sofia tiga minggu yang lalu tensinya masih normal. Dengan tangan bergetar, Reynard menyi
Ponsel Eril berdering untuk kesekian kalinya, entah ke berapa kali ia mengabaikan panggilan itu. Menurutnya itu hanya orang iseng saja, karena nomor yang tercantum tidak dikenali. Malam ini Eril, Bu Laksmi, Lily sedang makan malam di sebuah restoran berbintang lima. Tak lupa ia mengajak Mega, Dafa, Intan, Delia dan juga Rizal. Dicky tak ikut, karena ia tak mau ikut bersenang-senang diatas penderitaan Sofia. Laki-laki itu cukup peka dengan perasaan adik iparnya. Pria itu memilih untuk menjaga kedua anaknya saja di rumah. "Itu siapa, Ril? Kok diabaikan sih?" Lily yang sedari tadi memperhatikan Eril merasa terusik dengan ponsel milik sang pujaan hati yang terus saja berdering. "Gak tahu nih, Ly. Gak ada nomornya. Biarin ajalah. Engga penting!" Jawab Eril, ia masih asik melahap steak tenderloin miliknya. Tak ada kekhawatiran pada istrinya yang tadi sore pamit untuk berbelanja kebutuhan bayi. "Angkat aja, kak. Siapa tahu itu telepon penting!" Timpal Mega santai. "Iya, Ril. Tak
Setelah hasil laboratorium dan rontgen keluar, dokter spesialis anestesi, dokter spesialis anak, dan para asisten dokter segera melakukan operasi Caesar darurat. Dokter spesialis anestesi menyuntikan suntik bius di tulang ekor Sofia. "Rileks ya, Bu!" Kata Dokter anestesi itu dengan ramah dan berusaha menenangkan. Sofia pun merasa lebih tenang ketika melihat dokter yang kelihatan sudah senior itu bersikap tenang dan hangat.Setelah proses pembiusan, tubuh bagian bawah Sofia merasa kebas. Ia tak merasakan apa-apa lagi setelahnya. Dokter Reynard memulai operasinya dengan menyayat perut Sofia sampai lapisan kulit ke tujuh. Sofia terus berdoa semoga ia dan bayinya bisa melewati persalinan dengan selamat. Untuk mengusir ketegangan, semua para medis di ruangan operasi mengobrol dengan tenang dan asik. Sofia tampak mendengarkan obrolan mereka. Ada yang membahas bagaimana perjalanan menuju Rumah Sakit sembari tertawa kecil. Sofia tentunya lebih tenang dan rileks.Beberapa menit kemudian, Dokt
Flashback.... "Jadi, kamu biayain pakai uang kamu, Ril?" Bu Laksmi bertanya pada putranya yang berjalan lemas dari arah pendaftaran menuju ke arah ruangan operasi. Mertua dari Sofia itu memang tengah menunggu di kursi ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi. "Iya, Bu. Habisnya gimana, Sofia engga punya asuransi kesehatan," jawab Eril dengan lunglai. Seolah ia baru saja kehilangan semua hartanya. Padahal faktanya, uang di rekeningnya masih cukup banyak. "Kenapa engga di bayar aja sih tunggakan asuransi kesehatannya? Engga akan semahal itu kan? Paling banter bayar satu atau dua jutaan," Mega menimpali. Bu Laksmi dan Mega memang menemani Eril menunggui Sofia. Mereka khwatir jika Rahman dan Sri akan memojokan Eril kala mereka tidak ada. Sedangkan anggota keluarga yang lain sudah pulang terlebih dahulu karena hanya beberapa orang yang diizinkan untuk menunggui Sofia di Rumah Sakit. "Kakak engga tahu nomor virtual accoutnya. Engga tahu juga kartunya di mana. Mau bayar gimana?"
Setelah bayi Sofia dan Eril dinyatakan meninggal dunia, Eril dan keluarganya langsung mengurus prosesi pemulangan jenazah. Eril akan menguburkan jasad bayinya itu tanpa Sofia, istrinya. Hatinya sudah sangat kecewa dengan Sofia, karena menurut Eril kematian bayinya disebabkan oleh kelalaian istrinya sendiri. Pria itu tidak meminta pendapat Sofia soal pemakaman bayinya, Baginya perasaan Sofia sudah tidak penting untuknya. Ada atau tidaknya Sofia di pemakaman anaknya, tidak akan memberikan efek apapun padanya. Anak mereka tidak akan hidup kembali. "Eril, apa kau tidak menunggu dulu Sofia pulih? Setidaknya beritahu kabar duka ini melalui mulutmu. Dia belum tahu jika anaknya sudah meninggal," tegur Rahman saat mengetahui Eril ngotot untuk mengambil jenazah anaknya hari itu juga. "Benar, Ril. Setidaknya kamu beri tahu Sofia terlebih dahulu, Nak!" Sri menimpali ucapan suaminya. "Pak, Bu, kenapa kalian terus menahan saya untuk mengambil jenazah bayi ini? Dia anak saya, saya yang lebih be
Sri dan Rahman masuk ke dalam ruang perawatan Sofia. Putrinya terus bertanya mengenai bayinya dan tentu saja mengenai keberadaan Eril. Selang infus dan kateter yang menempel di tubuhnya sudah di lepaskan oleh perawat. "Bapakmu sepertinya lelah. Sekarang istirahatlah, Sofia!" Titah Sri saat Sofia bertanya mengenai tingkah ayahnya yang menyebut jika Eril adalah pria berengs*k. Sofia manut dan berusaha beristirahat kembali. Tapi mata wanita itu tak kunjung terpejam. Ia begitu memikirkan bayinya. Ada perasaan gelisah yang tidak bisa ia jelaskan. "Bu?" Sofia memanggil ibunya yang duduk di sofa yang ada di dalam kamar perawatan dirinya. "Ada apa, Nak? Butuh apa?" Tanya Sri dengan sigap. Rahman pun sudah masuk kembali ke dalam ruang perawatan putrinya setelah emosinya mencair. "Sofia ingin menyusui bayi, Sofia. Bisa ibu bawakan kursi roda?" Pinta Sofia dengan halus. Sri langsung menoleh pada suaminya. "Bu, lebih baik jujur saja! Sofia ibunya dan wajib tahu!" Rahman ingin segera be