Malam hari keluarga Bu Laksmi sedang membahas mengenai rencana untuk melaporkan Rahman ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Semua anggota keluarga Bu Laksmi sangat setuju dengan ide itu, kecuali Dicky yang menentang."Jangan begitulah, Ril! Pak Rahman mukul kamu kan memang itu semua salah kamu. Kamu engga ingat kata dokter anak yang tanganin almarhum bayi kamu?Bayi kamu itu kekurangan nutrisi. Kamu juga bikin ibunya stres mulu!" Dicky menyauti pembicaraan."Engga bisa gitu, Kak. Kekerasan tidak dibenarkan. Dafa akan menyiapkan lawyer terbaik untuk mendampingi Kak Eril," Dafa berucap, sok-sok menjadi pahlawan kesiangan. "Sayang, makasih," Mega mencium pipi Dafa di hadapan semua orang. Bu Laksmi tak kalah bangganya karena menantunya itu cukup bisa diandalkan."Terima kasih, Dafa. Aku hargai. Aku memang harus memberikan pelajaran pada Pak Rahman. Agar dia tahu berhadapan dengan siapa," balas Eril dengan teganya. "Ingat, Ril! Itu Bapak mertua kamu. Bapak yang besarkan Sofia dari bayi.
Intan pulang dari kantor langsung membanting tas kerjanya ke sofa. Hari ini ia kesal dengan teman-temannya yang terus memuji Vebby karena kerja naik mini Cooper terbaru. Hatinya sangat panas, ia ingin membeli mobil yang sama untuk menyaingi teman kantornya itu. "Ada apa, Ma? Kok pulang-pulang marah-marah?" Dicky yang baru saja pulang dari kantornya pun heran melihat wajah masam sang istri. Ia sudah cukup pusing dengan kelakuan keluarganya akhir-akhir ini, ditambah lagi dengan sikap uring-uringan istrinya. "Itu lho, Pa! Temen kantor Mama beli mini Cooper baru dan tiap hari dipamerin ke kantor. Kaya sengaja banget mau flexing dengan pake tuh mobil tiap hari!" Intan duduk di sofa seraya menyedekapkan tangannya di dada. "Lha, bagus dong! Berarti temen kamu itu udah mapan dan dia memanfaatkan barang yang dia punya biar kepake," jawab Dicky santai, ia duduk di sofa yang bersebrangan dengan Intan. Mereka memang pulang dari rumah Bu Laksmi tadi malam karena Dicky tidak ingin bermalam
Bu Laksmi mengantarkan Eril untuk melakukan visum di kantor kepolisian. Sebenarnya awalnya hati Eril terasa gamang. Akan tetapi, hatinya mantap untuk melaporkan bapak mertuanya atas desakan dari Lily. Lily berkata jika Rahman patut untuk diberikan pelajaran. "Kenapa ya orang orang susah selalu aja menyelesaikan masalah pake kekerasan dari pada pake otak?" Ucap Lily yang saat ini sedang mengompres luka memar di sudut bibir Eril dengan air hangat. Kini mereka sedang ada di rooftop kantor untuk makan siang seperti biasanya. "Ya begitulah," Eril menyusuri wajah mantan kekasihnya itu dengan matanya. Ia menatap bibir berwarna merah itu. Masih ingat jika bibir mereka pernah bertemu saat keduanya berada di dalam mobil. "Padahal kalau masih nyeri, engga usah berangkat kerja dulu, Er," Lily dengan telaten masih mengompres luka di sudut bibir Eril dengan sapu tangan yang ia bawa. Sedangkan air hangatnya ia bawa dari dispenser kantor. "Engga enak kalau kelamaan izin, Ly," jawab Eril seray
Rahman sedang bertatapan dengan ayahnya, Hartanto. Pria itu meneguk salivanya beberapa kali. Berhadapan dengan sang ayah selalu membuat nyalinya menciut. Mata Rahman menelisik keadaan ayahnya. Hatinya begitu lega karena sang ayah sudah cukup pulih dari sakit yang ia derita. Kondisinya kini terlihat bugar dan jauh lebih baik dari pada terakhir Rahman menjenguknya. "Bagaimana? Kamu ke sini akan menerima tawaran Papa bukan?" Tanya Hartanto yang kini terduduk di kursi roda. Sementara bodyguard dan perawat tampak berdiri di belakang salah satu orang terkaya di Indonesia itu. "Papa?" Rahman bergumam pilu. Baru kali ini lagi Hartanto menyebut dirinya dengan sebutan papa. Bibir pria paru baya itu bergetar menahan tangis. Apakah kini Hartanto sudah mau memaafkannya? Hartanto seolah menjaga martabat anaknya. ia tidak ingin ada yang melihat putra semata wayangnya menangis. Kemudian Hartanto menggerakan tangannya ke atas. Semua paham akan kode itu. Gegas mereka keluar dari ruangan kerja peng
Eril membuka matanya. Ia mendapati tubuh polosnya masih terbungkus selimut hotel. Eril menoleh ke arah Lily yang masih tidur setelah percintaan mereka berulang kali tadi malam. "Ly, bangun! Ayo kita sarapan!" Eril membangunkan Lily dengan lembut. Wanita itu menggeliat pelan kemudian membuka kelopak matanya yang masih berat. "Aku masih ngantuk, Yang," jawab Lily dengan suara serak. "Kamu dari semalem belum makan. Ayo kita mandi terus makan!" Ajak Eril lagi. Pria itu menarik tangan Lily agar Lily segera bangun. Dengan terpaksa Lily pun kemudian mendudukan tubuhnya. Tubuhnya cukup lelah setelah pergumulan panas mereka yang tiada henti. "Mandiin ya?" Lily berujar dengan manja. "Kamu mancing-mancing terus? Apa semalam masih kurang?" Eril mengecup pipi Lily. "Iya, masih," jawab Lily dengan menggoda. "Ya udah ayo!" Eril memangku tubuh Lily dan mereka masuk ke dalam kamar mandi bersama-sama. Siang hari kedua insan yang tengah dimabuk kepayang itu baru keluar dari kamar hotel.
Setelah acara selesai, Semua keluarga Bu Laksmi berkumpul di ruang keluarga. Mereka masih tak menyangka dengan kejadian tadi sore. Mereka yakin setelah ini, keluarga mereka akan di gosipkan oleh semua tetangga dilingkungan rumah Bu Laksmi. Mereka menyalahkan kehadiran Sofia, wanita itu selalu saja mendatangkan sial untuk keluarga Bu Laksmi. Mereka semakin membenci Sofia. Caci maki semakin getol mereka ucapkan tanpa mereka berkaca kesalahan mereka. Semua anak dan menantu Bu Laksmi duduk di sofa, Bahkan Lily pun berada di sana. Eril membujuk Lily untuk ikut ke rumah ibunya. Walaupun awalnya enggan, Lily akhirnya luluh juga. Ia bersedia datang kerumah Bu Laksmi. "Eril, apa benar apa yang Sofia bilang? Apa kamu check in di hotel dengan Lily?" Tanya Bu Laksmi, ia menatap putra ketiganya itu dengan seksama. Mencoba menelisik kejujuran di mata Eril. "Ya," Eril menunduk pelan, semua anggota keluarga Eril terperangah tak percaya. Mereka tak mengira Eril yang kalem bisa check in ke h
Mega dan Daffa sudah pindah rumah ke perumahan elite yang tak jauh dari rumah Bu Laksmi. Bu Laksmi pun merasa kesepian karena sang putri bungsu sudah tak serumah dengannya."Sudahlah, Bu. Mega kan sudah dewasa. Lagi pula ada Arsha dan Arshi di sini," ucap Rizal sembari melirik kedua keponakannya yang tengah bermain bola. 'Arsha dan Arshi tidak bisa ibu ajak ngobrol. Adikmu pun Eril sudah jarang sekali ada di rumah. Ibu khawatir dia menghamili Lily sebelum menikah," Bu Laksmi berujar dengan lesu."Bagaimana lagi, Bu? Eril sedang di mabuk cinta," jawab Rizal sembari melihat kembali kedua keponakannya."Kamu engga praktek?" Tanya Bu Laksmi pada putra keduanya itu."Aku ambil cuti. Bu, mengapa laporan kita di kantor polisi belum naik ke tingkat penyelidikan ya? Padahal pengaara Dafa sudah memberikan bukti-bukti terkait penganiayaan yang dilakukan pria miskin itu! Aku engga terima Eril dipukuli hingga babak belur oleh orang yang kastanya rendah seperti mereka! Geram Rizal ketika mengingat
Pagi harinya Daffa dan Delia terbangun, mereka mengucek matanya. Tubuh mereka polos, hanya diselimuti oleh selimut hotel saja. Delia menatap Daffa. Ia takut Daffa hanya mabuk saja saat menidurinya, karena entah kenapa bersama Daffa, Delia mampu melupakan Rizal. Pria yang berprofesi sebagai dokter gigi dan bergelar sebagai suaminya itu. "Daf?!" Lirih Delia tercekat, matanya berkaca-kaca. Satu sisi ia begitu takut Daffa akan membocorkan rahasia mereka pada Bu Laksmi dan suaminy. Satu sisi yang lain ia merasa bersalah pada Rizal, karena malam tadi untuk pertama kalinya ia melanggar janji suci pernikahannya. Daffa menyimpan jari telunjuknya di bibir ranum Delia. seakan enggan mendengar penjelasan wanita cantik yang berhasil ia tiduri. Daffa dibuat tergila-gila dengan Delia. Bagaimana tidak, Delia sangat pandai memuaskannya di atas ranjang. Melebihi permainan Mega, bahkan ia dibuat mencapai puncak berkali-kali oleh wanita yang berprofesi sebagai pramugari itu. "Jangan jelaskan, Dell! Ak