Tiga hari dirawat, selama itupun Eril tak menunjukkan batang hidungnya. Hari ini adalah hari terakhir Sofia di rumah sakit. Tubuhnya sudah fit dan bugar, walaupun ia masih tertatih untuk berjalan. Sofia tak sabar untuk mengunjungi makam anaknya, ia hanya menatap video yang diberikan Rahman saat Rahman menjenguknya di ruang NICU saat itu. "Anakku sayang!" Lirih Sofia seraya mengusap layar ponsel milik sang ayah. "Sabar ya, Sayang. anakmu sudah bahagia di alam sana. Di sana ia minum susu banyak sekali sampai kekenyangan," hibur Rahman yang membuat Sofia semakin menangis tergugu. "Sayang, jangan begini! Hidup kamu harus berjalan, Nak!" Sri mendekati Sofia, ia lalu memeluk putrinya dengan sayang. "Jika memilih, biar aku saja yang pergi dari pada anakku, Bu," isaknya memprihatinkan. "Tidak, Sayang. Jika kamu yang pergi, anak kamu lebih hancur, Nak. Dia sangat membutuhkan ibunya, dan semua itu tak mudah. Sudahlah, Nak! Jangan terus meratapi nasib. Nyebut, Nak. Inii sudah takdir
Sofia menatap hamparan sawah yang luas. Ia tampak menikmati angin yang berhembus menerpa wajahnya dengan pelan. Sejenak ia bisa melupakan segala kemalangan hidupnya. Wanita yang akan berstatus sebagai janda itu memejamkan matanya. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar mampu menghilangkan sesak pada dadanya. "Kamu makan dulu ya, Nak?" Sri menghampiri putrinya dan duduk di sebelahnya. Tak lupa ia membawa nasi hangat dan juga sup ayam yang menjadi menu andalannya saat Sofia sedang sakit. "Ibu, Sofia bukan anak kecil lagi! Nanti Sofia bisa ambil makannya sendiri, Bu," Sofia membuka kedua matanya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan terkena terpaan angin. "Kalau nunggu kamu ambil sendiri, bisa-bisa sore kamu baru ambil nasi. Kamu kan masih dalam tahap pemulihan, Nak. Jadi, asupan kamu harus di jaga ya?" Sri menyendokan nasi dan sup ayam itu ke mulut Sofia. "Sofia bisa makan sendiri, Bu. Ibu jangan terlalu memanjalkan Sofia!" Sofia tersenyum kemudian mengambil piring
Dokter Reynard baru saja melepas jas legitimasi medisnya yang berwarna putih khas dokter. Pria itu mengemudikan mobilnya membelah jalanan kota yang mulai padat karena banyaknya pengendara yang pulang selepas mengais rejeki untuk keluarga. Perdebatan antara keluarga Sofia dan keluarga Eril mengusik pikirannya. Apalagi ketika mendengar suami Sofia mengikrarkan talak. Entah mengapa hatinya merasa bahagia. Entah bahagia karena apa, Reynard pu tak paham. Namun Reynard menduga ia bahagia karena wanita sebaik Sofia akan terlepas dari pria yang tak bertanggung jawab seperti Eril dan keluarganya. Ya, mungkin karena itu, dan tak lebih. Saat keluarga Sofia terkejut dengan nominal biaya operasi, Dokter Reynard sudah berniat untuk membiayai semua perawatan Sofia dan bayinya dengan uang pribadinya. Namun setelah kedatangan suami Sofia, Reynard mengurungkan niatnya. Ia ingin tahu sejauh mana suaminya memperjuangkan Sofia dan buah hati mereka.Namun semua di luar dugaannya, Eril malah menjadikan b
Malam hari keluarga Bu Laksmi sedang membahas mengenai rencana untuk melaporkan Rahman ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Semua anggota keluarga Bu Laksmi sangat setuju dengan ide itu, kecuali Dicky yang menentang."Jangan begitulah, Ril! Pak Rahman mukul kamu kan memang itu semua salah kamu. Kamu engga ingat kata dokter anak yang tanganin almarhum bayi kamu?Bayi kamu itu kekurangan nutrisi. Kamu juga bikin ibunya stres mulu!" Dicky menyauti pembicaraan."Engga bisa gitu, Kak. Kekerasan tidak dibenarkan. Dafa akan menyiapkan lawyer terbaik untuk mendampingi Kak Eril," Dafa berucap, sok-sok menjadi pahlawan kesiangan. "Sayang, makasih," Mega mencium pipi Dafa di hadapan semua orang. Bu Laksmi tak kalah bangganya karena menantunya itu cukup bisa diandalkan."Terima kasih, Dafa. Aku hargai. Aku memang harus memberikan pelajaran pada Pak Rahman. Agar dia tahu berhadapan dengan siapa," balas Eril dengan teganya. "Ingat, Ril! Itu Bapak mertua kamu. Bapak yang besarkan Sofia dari bayi.
Intan pulang dari kantor langsung membanting tas kerjanya ke sofa. Hari ini ia kesal dengan teman-temannya yang terus memuji Vebby karena kerja naik mini Cooper terbaru. Hatinya sangat panas, ia ingin membeli mobil yang sama untuk menyaingi teman kantornya itu. "Ada apa, Ma? Kok pulang-pulang marah-marah?" Dicky yang baru saja pulang dari kantornya pun heran melihat wajah masam sang istri. Ia sudah cukup pusing dengan kelakuan keluarganya akhir-akhir ini, ditambah lagi dengan sikap uring-uringan istrinya. "Itu lho, Pa! Temen kantor Mama beli mini Cooper baru dan tiap hari dipamerin ke kantor. Kaya sengaja banget mau flexing dengan pake tuh mobil tiap hari!" Intan duduk di sofa seraya menyedekapkan tangannya di dada. "Lha, bagus dong! Berarti temen kamu itu udah mapan dan dia memanfaatkan barang yang dia punya biar kepake," jawab Dicky santai, ia duduk di sofa yang bersebrangan dengan Intan. Mereka memang pulang dari rumah Bu Laksmi tadi malam karena Dicky tidak ingin bermalam
Bu Laksmi mengantarkan Eril untuk melakukan visum di kantor kepolisian. Sebenarnya awalnya hati Eril terasa gamang. Akan tetapi, hatinya mantap untuk melaporkan bapak mertuanya atas desakan dari Lily. Lily berkata jika Rahman patut untuk diberikan pelajaran. "Kenapa ya orang orang susah selalu aja menyelesaikan masalah pake kekerasan dari pada pake otak?" Ucap Lily yang saat ini sedang mengompres luka memar di sudut bibir Eril dengan air hangat. Kini mereka sedang ada di rooftop kantor untuk makan siang seperti biasanya. "Ya begitulah," Eril menyusuri wajah mantan kekasihnya itu dengan matanya. Ia menatap bibir berwarna merah itu. Masih ingat jika bibir mereka pernah bertemu saat keduanya berada di dalam mobil. "Padahal kalau masih nyeri, engga usah berangkat kerja dulu, Er," Lily dengan telaten masih mengompres luka di sudut bibir Eril dengan sapu tangan yang ia bawa. Sedangkan air hangatnya ia bawa dari dispenser kantor. "Engga enak kalau kelamaan izin, Ly," jawab Eril seray
Rahman sedang bertatapan dengan ayahnya, Hartanto. Pria itu meneguk salivanya beberapa kali. Berhadapan dengan sang ayah selalu membuat nyalinya menciut. Mata Rahman menelisik keadaan ayahnya. Hatinya begitu lega karena sang ayah sudah cukup pulih dari sakit yang ia derita. Kondisinya kini terlihat bugar dan jauh lebih baik dari pada terakhir Rahman menjenguknya. "Bagaimana? Kamu ke sini akan menerima tawaran Papa bukan?" Tanya Hartanto yang kini terduduk di kursi roda. Sementara bodyguard dan perawat tampak berdiri di belakang salah satu orang terkaya di Indonesia itu. "Papa?" Rahman bergumam pilu. Baru kali ini lagi Hartanto menyebut dirinya dengan sebutan papa. Bibir pria paru baya itu bergetar menahan tangis. Apakah kini Hartanto sudah mau memaafkannya? Hartanto seolah menjaga martabat anaknya. ia tidak ingin ada yang melihat putra semata wayangnya menangis. Kemudian Hartanto menggerakan tangannya ke atas. Semua paham akan kode itu. Gegas mereka keluar dari ruangan kerja peng
Eril membuka matanya. Ia mendapati tubuh polosnya masih terbungkus selimut hotel. Eril menoleh ke arah Lily yang masih tidur setelah percintaan mereka berulang kali tadi malam. "Ly, bangun! Ayo kita sarapan!" Eril membangunkan Lily dengan lembut. Wanita itu menggeliat pelan kemudian membuka kelopak matanya yang masih berat. "Aku masih ngantuk, Yang," jawab Lily dengan suara serak. "Kamu dari semalem belum makan. Ayo kita mandi terus makan!" Ajak Eril lagi. Pria itu menarik tangan Lily agar Lily segera bangun. Dengan terpaksa Lily pun kemudian mendudukan tubuhnya. Tubuhnya cukup lelah setelah pergumulan panas mereka yang tiada henti. "Mandiin ya?" Lily berujar dengan manja. "Kamu mancing-mancing terus? Apa semalam masih kurang?" Eril mengecup pipi Lily. "Iya, masih," jawab Lily dengan menggoda. "Ya udah ayo!" Eril memangku tubuh Lily dan mereka masuk ke dalam kamar mandi bersama-sama. Siang hari kedua insan yang tengah dimabuk kepayang itu baru keluar dari kamar hotel.