"Apa suamimu masih belum pulang juga?" tanya Leah.
Pertanyaan yang sama dengan minggu lalu, hingga Navier muak dibuatnya.
Memang, sejak saat itu Edgar juga belum ada kabar sama sekali.
"Belum. Masih banyak yang harus dia lakukan sebelum pulang," jawab Navier. Dia yang sedang menyiram tanaman, memalingkan muka.
"Sudah sebulan lebih dong, ya, suamimu belum pulang. Apa kau tak kangen?"
Tak perlu diingatkan oleh tetangga, Navier tentu tahu sudah berapa lama suaminya tidak datang. Apalagi jika ditanya tentang rindu.
Semakin sebal jika mengingat yang menyebarkan informasi pada orang-orang itu, adalah tetangganya ini.
Navier ingin memberi pelajaran, tetapi tidak tahu harus bagaimana.
Karena akan lebih mudah jika lawannya adalah mafia atau musuh yang berbahaya. Polisi tidak akan ikut campur, berbeda dengan warga sipil biasa seperti Leah.
"Tidak terlalu karena kami selalu bertukar pesan selama ini. Maaf, ya, tetangga. Aku mengece
"Mama, Ayah belum datang juga. Apa kita benar-benar dibuang?" tanya Henry.Anak itu mendusel ke badan ibunya seperti anak kucing."Ayah pasti akan datang. Kita tunggu saja, ya? Pasti Ayah sedang mempersiapkan semua sebelum ke sini. Bagaimanapun ... Ayah pasti tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Bukankah kau tahu jika Ayah memiliki pekerjaan yang banyak?""Aku tahu.""Nah, kau juga pernha tahu bagaimana Ayah bekerja, kan?"Henry mengangguk.Dia pernah sekali ke kantor ayahnya dan menunggui Edgar yang sedang bekerja. Saat itu, Navier sedang sibuk dan menitipkan di sana.Setelah satu hari, Henry tidak pernah lagi mau ikut ayahnya."Ayah juga pernah mengatakan pada Mama, kalau ayah akan menyusul setelah semua selesai. Berarti, pekerjaan ayah masih belum selesai, kan?"Henry kembali mengangguk. "Tapi aku merindukkan ayah. Sudah dua bulan aku tidak bertemu. Dan sudah sebulan terakhir kita tidak menelponnya. Bagai
"Ayah!!!" pekik Henry. Saat turun dan membuka mata, dia melihat sosok ayah yang semalam dia tanyakan pada ibunya. "Hai, Jagoan! Apa tidurmu nyenyak?" tanya Edgar. Kemudian, dia membawa tubuh Henry ke pelukannya. "Sangat nyenyk! Mama menceritakan petualangan Lunar lagi. Tak hanya itu, Mama juga menemaniku sampai tertidur," adu Henry. Hal yang sudah lama tidak Edgar dengar, kini terdengar lagi. Henry yang berhenti merengek dan bermanja padanya, juga yang sudak berceloteh tentang apa yang dialaminya, kini kembali seperti dulu. Bukan Edgar tak suka perubahan Henry, hanya saja dia merasa jika putranya tumbuh terlalu cepat. "Sarapan siap, para Jagoan Mama!" Dua prianya bersiap duduk di kursi masing-masing. Karena dulu Navier pernah hidup berkekurangan, dia jadi tidak sulit untuk menyesuaikan diri. Tak pernah menyewa pekerja untuk membersihkan rumah atau memasak. "Ayah tahu, selama di sini
""Na, aku sudah tidak sanggup!" keluh Edgar."Salah sendiri! Bukankah kau yang meminta sendiri!"Hampir saja Navier terbahak saat melihat Edgar yang payah. Suaminya itu terlihat kacau, dengan wajah kusut dan pucat.Bagaimana tidak? Henry dengan aktifnya meminta Edgar untuk menemani, dan hampir keseluruhan wahana dicobanya."Kukira dia akan menjadi anak manis seperti biasanya. Tak kusangka dia punya sisi aktif juga.""Semenjak kami pindah, dia terlihat normal seperti anak seusianya.""Memang sebelumnya anak kita tak normal!? Ck!!!"Edgar berdecak sebal. Perkataan Navier, seolah mengatakan jika selama ini anak mereka termasuk anak berkebutuhan khusus."Bukan begitu," ucap Navier dengan lembut.Henry terlihat senang menaiki kuda-kudaannya.Ingin Henry, Edgar juga ikut. Namun, ayahnya langsung menolak dengan keras. Jadilah hanya dia yang naik, sementara ayah dan ibunya menungg
"Nav!!!" pekik Edgar setelah dia sadar. "Tenanglah dulu!" Henry memindai sekelilingnya. Ruangan serba putih yang berbau obat, dan sosok pria yang sudah dia kenal, Felix. "Bagaimana anak dan istriku!?" cerca Edgar. Dia berusaha bangun, tetapi tubuhnya terasa sakit semua. Luka bekas pertarungan mereka masihlah belum sembuh.Kini, ditambah luka dari kecelakan yang mereka alami. "Tenanglah! Merek sudah mendapatkan perawatan yang maksimal. Aku sudah memastikan mendapatkan ruang paling bagus!" Untuk urusan satu itu, Edgar sudahtidak meragukan lagi kepiawaian Felix. "Kenapa kau bisa tahu aku di sini?" tanya Edgar. "Kau sungguh tidak tahu?" Felix balik bertanya, "kau menelponku dengan suara lirih. Aku langsung melacak posisi di mana kau berada dan menemukanmu masih berada di sana dengan keadaan yang menyedihkan. Telat sedikit saja, kalian sudah tidak tertolong!" "Bagaimana bisa?"
"Aku tak mau tahu! Semua harus terungkap bagaimanapun caranya!" perintah Edgar pada beberapa orang yang dia panggil untuk menangani kasus itu.Sama seperti sebelumnya, kecelakaan mereka terlalu janggal dan jejaknya bersih. Polisi tidak bisa mencari jejak sedikitpun.Yang bisa menemukan jejaknya hnaya detektif swasta yang sudah terkenal kepiawaiannya. Namn, itu tetap tidak bisa mencari tahu siapa orang yang tepat."Lawan kita terlalu licin, Ed," peringat Felix."Siapa pun dia. Dia pasti bukan orang sembarangan. Apalagi untuk membersihkan sisa-sisa kejahatannyya dengan begitu rapi. Kita mungkin tidak bisa melakukan apa-apa, tetapi aku yakin pasti ada celah untuk menemukannya.""Apa pelakunya sama seperti kejadian delapan tahun yang lalu?"Edgar menggeleng. Dia benar-benar tidak tahu apa pun.Petunjuk yang mereka miliki saat itu terlalu sedikit untuk bisa mengungkapkan semuanya. Karena itu, dia memilih untuk melupakan saja. Ditambah deng
"Katakan siapa yang mengirim kalian, atau aku akan memberi kalian sesuatu yang tak akan kalian lupakan!" ancam Edgar. Dalam waktu seminggu saja, Edgar dibantu Felix isa mengumpulkan beberapa orang yang terlibat dengan kecelakaan itu. Sayang, Edgar belum menemukan satu nama yang menjadi akar semuanya. "Kau siksa kami pun tidak akan mengatakan siapa yang telah menyuruh kami." Edgar tersenyum sinis. Dia sudah berulang kali mendengar hal itu dari setiap orang yang disekapnya. Namun, hanya segelintir dari mereka yang benar-benar menjaga ucapannya. Edgar yang membatasi diri, telah hilang bersama kesadaran anaknya. Setelah Navier dipindahkan ke rumah sakit yang dekat dengan kantornya, dan Henry dinyatakan koma, Edgar kembali ke saat dirinya belum bertemu Navier. Dia menjadi pribadi yang tidak kenal belas kasih pada musuhnya. Kepribadian itu dia sembunyikan saat bertemu Navier karena takut wanitanya melihat sisi gelapnya. "Kala
Wanita itu tertawa puas saat Edgar menyetujui permintaannya. Pikirnya, dia layak mendapatkan hal itu karena tubuhnya memang menawan. Semua ucapannya yang berkata dia tahu banyak hal, tentu itu bukan omong kosong belaka. Ia bahkan tahu rencana yang mereka pakai untuk membuat kecelakaan itu. "Aku tidak akan mengingkari janjiku padamu. Jika kau bisa memuaskanku, aku akan memberikan lebih banyak informasi yang tidak akan kau dapatkan dari mereka yang di luar sana." Edgar masih diam mendengarkan. Dia ingin tahu sampai sejauh mana wanita itu membual. "Atau kalau kau mau, jadikan aku pendampingmu, dan kau mendapatkan semuanya. Aku tahu beberapa musuhmu beserta kelemahannya."Edgar masih setengah percaya dengan wanita itu, sambil mengingat kembali di mana kiranya dia pernah bertemu."Aku tidak ingin menyesal nanti, Nona. Aku tidak akan memberikan penawaran yang sia-sia.""Aku berani menj
Edgar mual.Dia ingin sekali muntah untuk mengeluarkan isi perutnya yang terlalu di aduk.Dia terlalu muak melihat bagaimana wanita itu meliuk mendamba sentuhan. Karena dia hanya mengakui Navier sebagai wanitanya, Edgar menyuruh salah satu anak buahnya untuk melakukan bagiannya. Tentu dengan beberapa trik pada wanita itu.Dia memang menyetujui untuk membiarkan wanita itu di sisinya. Namun, itu hanya ungkapan semata. Edgar tidak benar-benar menepati ucapannya."Kau ... kau seperti yang kubayangkan," ucap Karin--wanita yang mendatangi Edgar dan membuat kesepakan dengannya."Jangan berkata lagi atau kita hapuskan kesepakatan ini!" bentak Edgar."Baiklah! Baiklah! Jangan hentikan!"Edgar muak, tetapi tidak bisa pergi dari sana.Dia terpaksa melihat bawahan dan wanita itu saling menyentuh.Karena kalau dia pergi, bisa saja wanita itu bertanya dan membutuhkan jawabannya.Karena muak, Edgar memberi perintah baahanya untu
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur